Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Cinta Atau Darah

Cinta Atau Darah

Opec Azwar | Bersambung
Jumlah kata
120.2K
Popular
244
Subscribe
42
Novel / Cinta Atau Darah
Cinta Atau Darah

Cinta Atau Darah

Opec Azwar| Bersambung
Jumlah Kata
120.2K
Popular
244
Subscribe
42
Sinopsis
HorrorHorrorTumbal
Cinta atau Darah Salina, seorang wanita biasa, jatuh cinta pada Bayu—lelaki tampan dari keluarga kaya yang memikat namun menyimpan rahasia kelam. Setelah menikah, ia dibawa ke sebuah rumah kayu tua di tengah hutan, tempat di mana keindahan berbalut kegelapan. Di sana, Salina menemukan ruang bawah tanah tersembunyi berisi altar kuno dan foto seorang wanita yang sangat mirip dengannya, bertanggal tahun 1907. Wanita itu adalah Sari Dewi Rahma—korban pertama dari sebuah perjanjian darah yang harus ditepati setiap seratus tahun: seorang wanita harus dikorbankan demi menjaga kekayaan keluarga Bayu. Salina juga menemukan sebuah selendang merah, simbol pengorbanan yang masih menuntut tumbal berikutnya. Perlahan, ia mulai mengalami kesurupan dan kilasan masa lalu—menyaksikan detik-detik kematian Sari yang dibunuh oleh suaminya sendiri. Dan Bayu… Dia bukan manusia biasa. Kini, Salina dihadapkan pada pilihan yang mengerikan: Tetap menjadi istri Bayu, hidup dalam kebahagiaan palsu yang dapat berubah menjadi maut, atau Menjadi penerus Sari, dan mengakhiri kutukan dengan darah. Dalam bayang-bayang cinta dan kematian, Salina harus menjawab satu pertanyaan: Apa yang lebih kuat? Cinta... atau darah?
BAB 1 -Rumah itu Bernafas

Angin membawa aroma tanah basah ketika mobil Bayu berhenti di depan rumah tua itu. Salina menatapnya, hening, sambil menggenggam jemarinya yang mulai dingin. Pohon-pohon menjulang seperti para saksi bisu, melingkari bangunan kayu berlumut yang seolah menghela napas sendiri.

“Ini… rumah kita?” suaranya bergetar.

Bayu hanya tersenyum, senyuman yang selalu mampu mengaburkan logika Salina. Tampan. Jahanam. Membuat lututnya selalu lemas tanpa sebab.

“Ya,” jawab Bayu, membuka pintu mobilnya dengan tenang. “Tempat kita memulai segalanya.”

Segalanya. Kata itu menggantung seperti kabut, menyesakkan.

Langkah pertama Salina di atas papan kayu terasa ganjil. Rumah itu terasa hidup, seperti menyimpan sesuatu yang belum siap dilepaskan. Aroma kayu tua bercampur sesuatu yang lain—logam. Darah?

“Kenapa jauh dari kota?”

Bayu mendekat, jemarinya menyentuh pipi Salina. Lembut, memabukkan, seperti racun yang disamarkan menjadi madu. “Agar kita hanya punya satu sama lain.”

Hanya satu sama lain. Salina ingin percaya. Tapi matanya menangkap sesuatu di ujung lorong rumah itu. Sebuah pintu. Hitam. Berdebu. Seolah memanggil. Berbisik.

Malam itu, setelah bercinta dengan Bayu di ranjang berkelambu putih, Salina bermimpi. Dalam mimpinya, seorang wanita berambut panjang berdiri dengan selendang merah melingkari lehernya. Wajahnya… seperti cermin bagi Salina sendiri.

Dan di belakang wanita itu, ada Bayu.

Tersenyum.

Dengan darah menetes di sudut bibirnya.

Salina mencoba menenangkan dirinya. Nafasnya cepat, matanya memandang ke segala arah, berharap menemukan jalan keluar. Tapi yang ada hanya dinding kayu yang meneteskan air entah dari mana asalnya. Lembap, berlumut, seolah rumah itu perlahan mengembalikan dirinya pada sesuatu yang lebih purba.

Langkah kaki Bayu mendekat. Tapi anehnya, ia tidak tampak terburu-buru. Justru irama langkahnya seperti sengaja dibuat tenang, santai, seolah sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Laki-laki itu berhenti di ujung tangga, siluet tubuhnya samar di balik bias cahaya rembulan.

“Aku tahu kau akan menemukannya,” suara Bayu akhirnya terdengar. Dalam. Tenang. Seperti suara seseorang yang sudah lama mempersiapkan pementasan ini.

“Apa ini semua?” bisik Salina, suaranya pecah oleh emosi yang ditahan.

Bayu turun satu anak tangga, cukup untuk memperlihatkan separuh wajahnya. Tidak ada ketakutan. Tidak ada rasa bersalah. Hanya kekosongan.

“Ini warisan. Beban. Aku tidak pernah memilihnya. Tapi setiap pria dalam keluargaku harus melanjutkan perjanjian ini.”

Salina menelan ludah, rasanya kering seperti pasir.

“Perjanjian apa?”

Bayu menatap selendang merah yang tergeletak di altar. “Tiap seratus tahun, darah perempuan harus menetes di atas altar ini. Agar harta keluarga kami tetap ada. Agar kekuasaan tetap mengalir. Agar generasi selanjutnya tidak hidup miskin seperti nenek moyang kami dulu.”

Matanya kini mengarah langsung pada Salina. “Dan perempuan itu… haruslah istri dari pewaris terakhir.”

Salina menggeleng pelan. “Kau gila...”

“Aku mencintaimu,” kata Bayu cepat, nyaris seperti pertahanan terakhirnya. “Aku benar-benar mencintaimu. Tapi cinta saja tidak cukup melawan darah.”

Suara bisikan Sari semakin jelas di telinga Salina. Kembalikan aku. Akhiri ini. Bebaskan kita semua.

Salina mulai mundur, langkahnya gemetar. Tapi ruang bawah tanah itu seperti jebakan. Di mana pun ia melangkah, dindingnya seakan bergerak, menutup jalan, memaksanya kembali mendekat ke altar.

Bayu turun lebih dalam, kini benar-benar berdiri hanya beberapa langkah darinya. Tangannya terulur, seolah mengajak Salina untuk kembali ke pelukannya.

“Aku akan cari cara lain... Percayalah. Aku hanya butuh waktu. Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu,” ucapnya lembut.

Tapi Salina melihat sesuatu yang lain di mata Bayu. Sesuatu yang jauh lebih tua dari cinta. Yang lebih dekat dengan kelaparan. Kelaparan yang diwariskan turun-temurun, menggerogoti hati manusia menjadi iblis dengan wajah kekasih.

Dan malam itu, Salina tahu:

Rumah itu tidak bernapas.

Rumah itu lapar.

Salina mundur, langkahnya gemetar di atas lantai kayu yang licin oleh lumut dan kelembapan. Tangannya mencari-cari dinding, mencari pegangan apa pun untuk tidak jatuh dalam gelap. Tapi yang ada hanya kayu lapuk, dan bau anyir besi yang menguar dari altar itu semakin menyesakkan dada.

“Kau bohong... Ini gila...” bisiknya, setengah tertawa getir. “Kita baru menikah tiga minggu, Bayu. Tiga minggu... dan kau membawaku untuk...”

Bayu menutup matanya sejenak. Saat membukanya, sepasang mata itu bukan lagi mata laki-laki yang Salina cintai. Itu mata seseorang yang terbiasa menatap korban. Mata yang penuh luka, tapi luka itu telah berubah menjadi kebiasaan.

“Aku tidak pernah ingin seperti ini,” katanya, pelan. “Ayahku... Kakekku... Mereka semua melakukannya. Dan semua istrinya hilang begitu saja. Tapi mereka hidup kaya. Mereka semua hidup bahagia setelah itu. Aku... aku ingin mencoba cara yang lain. Tapi...”

Bayu mengangkat kedua tangannya. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Salina menahan napas. “Kenapa tidak berhenti saja?”

“Kalau aku berhenti, semuanya hancur.” Wajah Bayu mengeras. “Seluruh warisan, perusahaan keluarga, semuanya akan menghilang. Rumah ini akan hancur. Nama keluargaku akan lenyap. Itu harga dari perjanjian yang dibuat leluhurku dengan... sesuatu yang tidak bisa kau bayangkan.”

Di belakang Bayu, samar, sesosok bayangan lain mulai muncul. Bayangan perempuan berambut panjang, kebaya merah, selendang merah melilit lehernya seperti ular yang baru selesai membunuh mangsanya. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan tatapan kosong. Tapi bibirnya tersenyum, senyum penuh luka yang menyeringai seperti bisikan maut.

Itu Sari Dewi Rahma.

Dan senyum itu ditujukan kepada Salina.

“Kau berikutnya...”

Salina menelan ludah. Panas. Dingin. Semua bercampur jadi satu.

“Kenapa aku? Kenapa selalu perempuan?” Suaranya pecah.

Bayu terdiam sejenak. Suaranya nyaris seperti anak kecil yang tersesat. “Karena perempuan adalah sumber hidup. Karena darah perempuan... lebih manis. Lebih kuat.”

Ada suara ketukan dari atas. Pelan, tapi berirama. Suara langkah kaki yang perlahan-lahan mendekat. Tapi Salina tahu, tidak ada siapa-siapa di atas. Mereka hanya berdua di rumah itu. Atau mungkin bertiga?

Tiba-tiba tubuh Salina seperti terhempas mundur oleh kekuatan yang tidak terlihat. Ia terjatuh, punggungnya membentur kayu keras. Rasa sakit menyebar, tapi bukan itu yang membuatnya menjerit. Di sekelilingnya, bisikan mulai terdengar semakin jelas.

Kembalikan aku. Akhiri aku. Jangan biarkan dia mengambil yang berikutnya...

Salina menjerit. Tangannya mencari pegangan, kakinya berusaha berdiri, tetapi lantai terasa seperti lumpur hisap. Tubuhnya tertahan oleh udara itu sendiri, oleh sesuatu yang lebih tua, lebih haus, lebih lapar.

Bayu melangkah maju. Tapi kini raut wajahnya berubah. Bukan sedih. Bukan penuh cinta.

Melainkan... pasrah.

“Aku sudah mencoba, Salina. Tapi darah tetap harus dibayar.” Suaranya dingin, hampa, seolah dia sendiri bukan lagi manusia penuh kehendak. Lebih mirip pion terakhir dalam catur kuno keluarga terkutuknya.

Perlahan, Bayu mengangkat tangan. Di telapak tangannya, ada benda kecil berkilau: sebilah belati pusaka. Ukiran kuno menghiasi gagangnya, penuh simbol aneh yang membuat kepala Salina berdenyut hanya dengan melihatnya.

Sari Dewi Rahma berdiri tepat di belakang Bayu. Matanya berbinar, menikmati pemandangan ini seperti seorang tamu kehormatan di sebuah pertunjukan yang menampilkan tragedi yang sama, berulang kali, selama berabad-abad.

“Aku mencintaimu,” Bayu berkata lagi, nyaris seperti bisikan doa. “Tapi cinta tidak bisa membayar hutang.”

Salina menutup matanya sejenak, mengatur napas yang tersisa, lalu perlahan berdiri. Lututnya bergetar, tapi tubuhnya memaksa untuk tegak. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi. Ini tentang perempuan-perempuan sebelum dirinya. Tentang nama-nama yang mungkin sudah hilang dalam sejarah, yang hanya diingat sebagai pengantin yang menghilang.

“Aku tidak akan mati untukmu,” ucapnya pelan.

Bayu terdiam.

“Kalau memang darah yang kau inginkan... maka kita lihat, siapa yang akan berdarah lebih dulu.”

Dan untuk pertama kalinya, Salina melihat sesuatu dalam diri Bayu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Takut.

Langkah kaki Sari Dewi Rahma melayang pelan mendekati altar. Ia tersenyum, seolah menanti babak berikutnya. Tapi di mata Salina, ia bisa melihat sesuatu di balik senyuman itu. Bukan kemenangan. Tapi penderitaan yang belum pernah selesai. Jiwa yang terperangkap, terus-menerus menyaksikan kekasihnya berubah menjadi algojo, setiap seratus tahun sekali.

Perjanjian itu tidak hanya mengorbankan nyawa perempuan—tapi juga jiwa mereka.

Salina menyadari sesuatu.

Kalau dia mati... bukan hanya tubuhnya yang akan menjadi tumbal. Jiwanya akan terperangkap di altar itu, seperti Sari. Menghantui. Menangis. Memanggil-manggil penyelamat yang tidak pernah datang. Dan Bayu? Bayu akan tetap hidup. Kaya. Menikahi perempuan lain. Mengulangi semuanya.

Tidak.

Tidak malam ini.

Dengan langkah terhuyung, Salina mendekati altar. Selendang merah itu seperti bernyawa, melilit jemarinya dengan dingin logam yang membuat kulitnya merinding. Tapi ia genggam lebih erat, seolah menyatakan perang pada seluruh sejarah rumah itu.

Bayu mundur setengah langkah. Belati di tangannya gemetar.

Salina tersenyum kecil, getir, penuh luka, penuh kemarahan.

“Kau tahu apa bedanya aku dengan istri-istri sebelumnya?”

Bayu mengerutkan kening.

“Aku tidak akan mati dalam diam.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca