Deru mesin motor berwarna hitam membelah pagi.
Seorang remaja berseragam putih abu-abu, dengan jaket motor biru navy membalut tubuhnya, melaju di jalanan yang masih lengang.
Helm full-face hitamnya menyembunyikan sebagian besar wajahnya, namun postur tegapnya menunjukkan aura tertentu. Dia adalah Nico.
Nico Daevan.
Akhirnya, roda depan motornya melambat, berbelok memasuki gerbang megah yang di atasnya terpampang tulisan besar: SMA NUSANTARA.
Nico memarkir motornya di antara jejeran kendaraan lain yang sudah lebih dulu mengisi area parkir.
Tanpa banyak gerakan, Nico melepaskan helmnya.
Wajah yang kini terlihat memancarkan tatapan dingin dan kosong, seolah dunianya hanyalah hamparan abu-abu.
Tidak ada senyum, tidak ada kegembiraan hari pertama sekolah, hanya sepasang mata yang tampak jauh.
Ia membawa tas ransel hitamnya yang terasa ringan karena masih kosong melompong.
Nico melangkahkan kakinya, membiarkan pandangannya menyapu sekeliling.
Bangunan sekolah yang luas dan modern ini benar-benar asing baginya. "Oke, cari 10F," pikirnyanya, memulai pencarian.
Ia berjalan menyusuri koridor, melirik satu per satu papan nama kelas yang terpampang di setiap pintu.
Setelah beberapa saat berkeliling, menyusuri lorong yang ramai dengan bisik-bisik dan tawa siswa-siswi lain, akhirnya ia menemukannya.
"ini dia," desisnya, langkahnya semakin cepat mendekati pintu.
Begitu masuk, suasana kelas 10F sudah ramai, hampir penuh. Beberapa siswa terlihat mengobrol dengan akrab, seolah sudah mengenal satu sama lain sejak lama.
Nico memindai seluruh ruangan dengan cepat. Tatapannya berhenti pada sebuah bangku kosong di baris kedua dari pojok kanan belakang.
Tempat yang sempurna, tidak terlalu mencolok.
Dengan langkah tenang, Nico berjalan menuju bangku tersebut dan meletakkan tasnya.
Ia tidak menyapa siapa pun, atau bahkan melirik teman-teman sekelasnya. Dunia di sekelilingnya seolah tak terpengaruh oleh kehadirannya.
Tepat setelah ia menduduki kursinya, sebuah suara menggelegar dari pengeras suara mengagetkan seluruh siswa.
"Perhatian kepada seluruh siswa baru kelas X, segera berkumpul di lapangan utama! Sekali lagi, seluruh siswa baru kelas X, harap segera berkumpul di lapangan utama!"
Nico menghela napas, pandangannya masih kosong.
Suara riuh rendah memenuhi lapangan SMA Nusantara. Ratusan siswa baru berbaris, mencoba membentuk formasi yang rapi di bawah pengawasan beberapa guru yang hilir mudik, sibuk mengatur barisan.
"Yang di belakang, rapatkan lagi! Jangan ada yang ngobrol!" teriak Pak Johar, guru olahraga yang perawakannya besar, sembari menunjuk-nunjuk.
Di sisi lain lapangan, sebuah banner besar bertuliskan MOSBA (Masa Orientasi Siswa Baru) berkibar pelan tertiup angin pagi.
Setelah perjuangan singkat, barisan akhirnya terlihat cukup rapi. Di depan para murid, Kepala Sekolah berdiri di podium.
Bapak dengan perawakan berwibawa itu mulai berbicara, menjelaskan sejarah sekolah, visi misi, peraturan, dan seabrek hal lain yang sebenarnya tak terlalu menarik perhatian sebagian besar siswa.
"....dan di SMA Nusantara ini, kita menjunjung tinggi nilai-nilai disiplin, integritas, serta semangat juang. Kalian semua adalah bibit unggul masa depan bangsa..." Suara Kepala Sekolah terdengar monoton, mengalun seperti lagu pengantar tidur bagi sebagian besar telinga.
Seperti yang bisa ditebak, bisik-bisik mulai terdengar di sana-sini. Beberapa murid sibuk berinteraksi dengan teman sebangkunya, memanfaatkan momen kebosanan untuk berkenalan atau sekadar berbagi keluh kesah.
"Gila, ngantuk banget," bisik seorang siswa di dekat Nico. "Kapan selesainya, sih?"
Nico tidak mendengar. Pikirannya melayang jauh. Tatapan kosongnya menembus kerumunan, seolah melihat sesuatu yang tidak kasat mata.
Otaknya membawa dia kembali, dua tahun lalu, ke sebuah kejadian yang menghantuinya. Bayangan-bayangan itu mulai berkelebat, memutar adegan kelam yang tak ingin ia ingat.
Secara refleks, Nico menggelengkan kepalanya dengan keras, seolah ingin mengusir paksa bayangan itu.
Dia tidak mau mengingatnya lagi, setidaknya tidak di lingkungan yang baru ini. Ia memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam, berusaha kembali ke masa kini.
Aula yang Mengubah Nico Menjadi Patung
Setelah apel yang terasa sangat panjang itu selesai, para murid digiring masuk ke aula sekolah.
Di sana, mereka harus duduk berdempetan, barisan kursi yang diatur rapat oleh para guru.
"Merapat! Jangan ada celah!" perintah Bu Lastri, guru bahasa Indonesia yang terkenal disiplin, matanya menyorot tajam.
Ruangan aula yang hangat, ditambah posisi duduk yang berhimpitan, membuat suasana menjadi sangat nyaman untuk... tidur.
Satu per satu kepala mulai tertunduk. Banyak murid yang tanpa sadar jatuh tertidur, mengabaikan presentasi tentang ekstrakurikuler atau tata tertib sekolah yang sedang berlangsung.
Termasuk Nico. Setelah perjuangan keras mengusir bayangan traumatisnya, otaknya seolah lelah.
Mata kosong itu perlahan meredup, kelopak matanya semakin berat, hingga akhirnya Nico tertidur lelap.
Ia terlelap begitu pulas, bahkan tidak terusik oleh suara berisik dari speaker atau bisikan teman-temannya. Ia terus tidur hingga seluruh rangkaian acara MOSBA di aula selesai, sekitar pukul 11 siang.
Sebuah sentuhan di bahunya membuatnya tersentak.
"Hei, bangun. Sudah selesai acaranya," kata suara seorang siswa di sampingnya.
Nico membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
Tanpa berkata apa-apa, ia mengikuti arus kerumunan siswa lain yang mulai beranjak dari aula.
Mereka akan kembali ke kelas masing-masing.
Nico melangkah masuk ke dalam kelas 10F, kembali ke bangku yang tadi ia tempati.
Suasana kelas masih riuh, meskipun sebagian siswa terlihat mengantuk setelah apel dan sesi di aula. Ia mendudukkan diri, tas ranselnya tergeletak pasrah di samping kakinya.
Tak lama setelah ia duduk, sebuah suara menyapa dari sampingnya. "Hai, Aku Adam," kata seorang siswa yang duduk tepat di sebelahnya.
Dari penampilannya, Adam adalah tipe anak yang rapi: rambut tersisir ke samping, kemeja putihnya tak ada sedikitpun kerutan, dan tas punggungnya terlihat baru.
Senyumnya ramah, mengundang.
Nico menoleh. Matanya yang dingin menatap Adam sesaat, lalu ia mengangguk tipis.
"Nico," jawabnya singkat, suaranya pelan nyaris tak terdengar. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, nyaris tak terlihat, lalu segera menghilang.
Ia tak melanjutkan percakapan, seolah sudah merasa cukup dengan pertukaran nama itu.
Adam tampaknya mengerti, atau mungkin hanya tak tahu harus berkata apa lagi, ia pun kembali fokus pada ponselnya.
Pandangan Nico bergeser, menyusuri deretan bangku di depannya. Di bangku tengah, agak ke depan, ada seorang gadis.
Rambutnya hitam legam terurai indah, wajahnya simetris dengan hidung mancung dan mata yang besar.
Tanpa ragu, ia adalah gadis yang sangat cantik, mungkin yang paling cantik di kelas ini.
Namun, alih-alih menampilkan ekspresi kekaguman seperti yang mungkin dilakukan kebanyakan remaja laki-laki, Nico justru memasang ekspresi jijik.
Alisnya sedikit berkerut, bibirnya membentuk garis tipis, seolah melihat sesuatu yang menjijikkan.
Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya, mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap pepohonan di halaman sekolah dengan tatapan hampa.