Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Musik Pembawa Tumbal di Sekolah

Musik Pembawa Tumbal di Sekolah

Yuan_bee | Bersambung
Jumlah kata
72.9K
Popular
796
Subscribe
41
Novel / Musik Pembawa Tumbal di Sekolah
Musik Pembawa Tumbal di Sekolah

Musik Pembawa Tumbal di Sekolah

Yuan_bee| Bersambung
Jumlah Kata
72.9K
Popular
796
Subscribe
41
Sinopsis
18+HorrorHorrorMisteriTumbalSistem
Rama tak pernah tahu, bahwa setiap nyawa yang hilang di sekolahnya mengikuti pola seperti notasi lagu. Awalnya, ia mengira, dirinya merupakan korban berikutnya. Hingga pada akhirnya, ia bertemu dengan seorang arwah perempuan yang membisikkan rahasia tentang Chord Kematian. Dia ingin mengakhiri melodi terlarang yang telah lama dimainkan, demi menghentikan misteri yang meneror sekolahnya. Lantas, akankah Rama berhasil?
Bab 1 Chord A

Musik tak hanya untuk dinikmati, tapi bisa membuat orang mati.

Seorang remaja tergeletak di antara gedung sekolah yang sepi. Rintikan air yang jatuh dari langit mengenai tubuhnya, hingga perlahan, ia membuka matanya, melihat sosok serba hitam dari kejauhan menatap tajam ke arahnya.

Suara musik aneh yang entah dari mana pun berbunyi, seakan semakin membuat suasana lebih mencekam. Piano berdenting pelan, memainkan nada gothic yang menakutkan.

Alan segera berdiri, meski tubuhnya sempoyongan, berlari menembus kabut di halaman belakang sekolah.

Langkahnya terasa berat, seakan ada sesuatu yang mengikat di kakinya. Sementara napasnya bercampur dengan udara dingin yang menusuk tulang.

Bayangan hitam itu terus mengikuti, bergerak tanpa suara, tapi terasa sangat dekat.

Ia menoleh sekilas ke belakang, berharap sosok tadi menjauh, tapi saat ia memutar kepalanya, tak disangka, sosok serba hitam tadi tepat berada di depan matanya tanpa wajah, hanya bayang tubuh panjang serba hitam.

“Jangan! Jangan bunuh aku!” ucapnya sambil berlari, memutar arah untuk menyelamatkan nyawanya, meski tak mungkin bisa.

Alan melangkah cepat menuju pintu gerbang, berharap bisa keluar. Namun, suara musik aneh itu masih terdengar. Denting piano yang pelan dan teratur. Nada demi nada membentuk irama yang asing, seperti memanggil namanya sendiri.

Ia menjerit untuk meminta tolong, tapi jeritannya tak lebih keras dari suara musik tersebut.

Tiba-tiba, petir menyambar di kejauhan. Cahaya kilat menyapu lorong sekolah yang sunyi, menciptakan bayangan aneh di dinding penuh coretan vandal. Jam dinding tua berdetak lambat, seolah waktu enggan berjalan di malam itu.

“Alan … Alan ... hidupmu sudah berakhir malam ini.” Suara itu mendesis pelan dan bergema. Namun, tak ada wujudnya.

“Tidak ... aku tak mau mati!”

“Kau akan mati, namamu sudah tertulis di daftar korban.”

“Mana mungkin? Siapa kau?”

Suara tadi tak terdengar lagi. Alan sesekali menoleh ke area sekitar dengan wajah penuh ketakutan. Tubuhnya gemetar tak karuan karena rasa takut bahwa kematiannya sudah di depan mata.

Di kejauhan, samar-samar ia melihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tadi mengejarnya, berdiri di sudut gedung sekolah sedang mencari dirinya. Tubuh itu tinggi, lebih tinggi dari manusia biasa. Wajahnya tak tampak, tertutup kain hitam yang melambai-lambai tertiup angin, seperti kerudung malaikat maut.

Alan menahan napas. Sosok itu mulai mendekat perlahan tapi pasti, ke arahnya dengan kaki yang sepertinya tak menapak tanah.

Saking paniknya, Alan berbalik dan berlari kembali, keluar dari tempat persembunyiannya.

Sampai akhirnya, dia pun berhenti karena kelelahan. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin bercampur hujan malam itu. Rambut dan pakaian yang dikenakannya acak-acakan dan compang-camping.

Alan belum bisa bernapas lega, karena sosok itu bisa muncul kapan saja di depannya. Ia bingung, apa yang harus dilakukan?

Kemudian, ia melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, sembari memeriksa sekitarnya. Kepalanya terus berputar, mengawasi area depan, belakang dan samping demi bisa menjauh dari sosok yang mengejarnya.

Akan tetapi, di saat ia berbelok ke sudut lain gedung, sosok serba hitam itu tiba-tiba muncul, berdiri cukup dekat di depannya. Wajahnya terlihat samar menyeramkan, meskipun tertutup oleh jubahnya.

Alan menjerit, tapi suaranya seolah tersedot oleh kehampaan.

Alan berteriak ketika tangan-tangan gelap mencuat dari balik kabut dan mencengkeram tubuhnya. Sosok berpakaian hitam itu kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Mata Alan membelalak, kakinya mencoba melangkah, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Udara pun menjadi berat, seperti cairan kental yang menyeretnya mundur.

Sosok itu mengangkat satu tangan. Tali hitam tipis seperti benang sutra melesat dari balik jubahnya, melilit pergelangan tangan Alan, lalu kaki, begitu juga leher.

Ia menjerit, tapi tak ada suara. Seakan mulutnya tertutup oleh kain yang tak kasat mata.

Tali itu mencekiknya, bukan hanya di tubuh, tapi juga di dalam pikirannya. Kesadaran Alan tercekik perlahan.

Dengan satu gerakan, sosok itu menarik tali tersebut, dan tubuh Alan melayang tanpa daya, tersedot masuk ke dalam kabut.

Setelah itu, semuanya menjadi gelap, sunyi dan mencekam.

Ketika pagi tiba, yang tersisa hanyalah tubuh tergantung dengan selembar kertas bertuliskan huruf A.

Beberapa saat kemudian, seorang siswa berjalan ke gudang belakang sekolah. Ia akan mengambil biola tua yang akan dipakai klub musik untuk latihan perdana nanti siang. Ia datang ke sekolah lebih awal, di saat siswa lain belum ada yang datang.

“Cuma ambil biola kok rasanya merinding, aku takut,” gumamnya pelan, berusaha menenangkan diri.

Pintu gudang berderit saat ia dorong, berhasil dibuka karena tak terkunci. Di dalam ruangan tampak gelap, tak ada lampu yang menyala, hanya secuil sinar pagi yang menembus celah jendela pecah.

Rama menyalakan senter dari ponselnya dan mulai melangkah masuk. Cahaya kecil itu menembus debu yang berputar seperti kabut. Ia melihat sesuatu berayun pelan di ujung ruangan.

Awalnya, Rama mengira itu kain atau manekin yang sengaja digantung, tapi ketika ia mendekat, napasnya berhenti. Benda yang tergantung itu berputar pelan dan terlihat jelas sesosok siswa dengan wajah membiru dan mata terbuka menatap kosong ke arahnya, dengan kondisi lidah yang menjulur.

Rama yang merupakan anak penakut pun spontan berteriak.

“Tolong!”

Kemudian ia tak sadarkan diri, tubuhnya tergeletak di ruangan tersebut.

Beberapa siswa dan guru yang mendengar teriakan tadi pun panik. Mereka tahu, suaranya berasal dari gudang tua di belakang gedung laboratorium.

Segera, mereka berlarian menuju ke sumber suara tersebut karena penasaran. Di sana, seorang siswa tergantung dengan leher terikat kain kusut berwarna hitam pekat. Bukan tak lain, dialah Alan. Namun, tak jauh dari sana pun ada seseorang yang tergeletak, yaitu Rama.

“Apa? Ada korban lagi?” kata seseorang.

Beberapa orang di sana tak berani menyentuhnya karena takut. Mereka menganggap, jika menyentuhnya, akan menjadi korban selanjutnya. Sebagian mencoba menahan rasa mual melihat mayat yang digantung mengenaskan, sebagian lagi hanya bisa terpaku.

Di antara kerumunan itu, seorang pria muda dengan tatapan serius memeriksa kondisi sekitar.

Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, juga tak terlalu gemuk. Rambut acak berponi dan sorot matanya tajam seperti sedang menganalisis.

Ia maju beberapa langkah untuk mendekat. Namun, lengannya ditahan oleh seorang murid.

“Eh, jangan ke situ. Jangan ikut campur deh, biarkan polisi yang menangani,” bisik siswi itu dengan nada serius.

“Kenapa harus menunggu mereka datang?”

“Sebaiknya jangan sentuh area ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama, siapa pun yang ikut campur, ia bisa jadi korban,” jawabnya pelan, seolah mengungkap sesuatu yang lebih menyeramkan daripada mayat yang tergantung tadi.

Pria itu membeku sejenak, ia bukanlah murid dan juga bukan polisi, tapi seseorang yang diberi misi untuk mengungkap misteri pembunuhan tak masuk akal itu yang sudah merenggut banyak korban - siswa yang bersekolah di sana.

‘Bukan yang pertama?’ gumamnya.

Rama yang tadi pingsan pun terbangun oleh suara-suara yang ada di sekitarnya. Ia perlahan berdiri dan memegangi kepalanya yang masih pusing.

“Heh, kau siapa? Kok berbaring di tempat ini?"

“Kau sendiri siapa? Sepertinya, aku baru mengenalmu?”

“Iya, memang. Aku dari grup Night Vision, datang jauh-jauh ke sekolah ini untuk mengungkap misteri pembunuhan, dan pagi ini, pas banget.”

“Night Vision? Wah hebat?” sahut seseorang siswa yang tampaknya tahu dengan pamor grup tersebut.

“Apa itu, Night Vision?” tanya yang lain yang membuat suasana tegang menjadi ramai karena bergosip.

Sementara itu, Rama hanya melongo, tak tahu grup itu apa, lalu melangkah keluar ruangan tadi karena takut melihat mayat yang digantung. Ia teringat mata yang melotot dan wajahnya membiru membuatnya merinding.

Hingga tiba-tiba, ada yang menepuk pundaknya dari belakang ....

Lanjut membaca
Lanjut membaca