Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
The Sword Of Emberflame

The Sword Of Emberflame

NychFrzi | Bersambung
Jumlah kata
81.7K
Popular
100
Subscribe
31
Novel / The Sword Of Emberflame
The Sword Of Emberflame

The Sword Of Emberflame

NychFrzi| Bersambung
Jumlah Kata
81.7K
Popular
100
Subscribe
31
Sinopsis
FantasiIsekaiPedangIsekai
Di dunia yang mengukur kekuatan dari sihir dan elemen, aku terlahir tanpa keduanya. Sebagai anak ketiga dari bangsawan Ardell, aku tumbuh hanya dengan pedang—tanpa sihir, tanpa harapan, tanpa warisan. Bahkan keluargaku sendiri menertawakanku. Tapi semuanya berubah… saat aku nyaris mati. Di ambang kematian, kekuatan yang bahkan dunia ini tak bisa daftarkan muncul dari dalam diriku—api yang membakar jiwa, bukan tubuh. Kini, dengan pedang di tangan dan elemen yang tak bisa diklasifikasikan, aku membentuk guildku sendiri: Ashen Fang—tempat bagi mereka yang ditolak oleh sistem. Monster, bangsawan, bahkan sistem sihir dunia mulai menggertak. Tapi aku takkan berhenti sampai dunia ini mendengar suara kami. Bukan untuk membalas dendam… tapi untuk membakar ulang dunia dari abu yang lama. Karena aku bukan siapa-siapa. Tapi akulah api yang akan menandai zaman baru.
Anak Ketiga Ardell

Angin pagi mengalir lembut di atas tebing Ardell, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan musim luruh. Namun, di dalam aula batu yang megah, aroma itu tertelan oleh wangi logam pedang dan keringat.

Reian berdiri sendirian di tengah arena pelatihan keluarga Ardell, memandangi bayangan dirinya di ujung bilah pedang tua yang mulai kusam. Cahaya matahari menembus kisi-kisi atap, memantulkan kilaunya ke lantai batu.

Keringat menetes dari dagunya, jatuh ke tanah bersama harapan yang entah keberapa kali hancur.

Pedang ini bukan miliknya. Itu milik ayahnya, Lord Elvor Ardell—warisan keluarga, diwariskan dari generasi ke generasi. Namun di tangannya, senjata itu terasa asing. Bukan karena beratnya, melainkan karena makna di baliknya. Itu lambang kehormatan, kekuatan… dan sihir.

Dan Reian tidak punya yang terakhir itu.

“Masih berlatih, Reian?” Suara tajam menyelinap dari ambang pintu arena.

Kaelis, kakak pertamanya, melangkah masuk dengan senyum mengejek. Jubah latihannya berkibar ringan, dan di pinggangnya menggantung dua bilah pendek berhiaskan kristal—senjata khas miliknya yang dibentuk dengan elemen api dan petir.

Di belakangnya, Selvaria, kakak keduanya, hanya berdiri diam. Matanya tajam seperti biasa, namun kali ini tak menyimpan cemoohan. Hanya pengamatan sunyi.

Reian menghela napas, menyarungkan pedangnya.

“Aku sedang menyempurnakan teknik keempat dari gaya Ardell,” katanya singkat.

Kaelis tertawa pendek. “Teknik keempat? Tanpa sihir, itu cuma tarian. Kau bisa menari seharian, tapi satu percikan api dari tanganku akan membuatmu terbakar.”

“Cukup, Kaelis,” kata Selvaria pelan. Tapi tak ada ketegasan. Ia tidak benar-benar membelanya.

Reian tahu—ia selalu tahu—bahwa ia hanyalah bayangan dari dua bintang yang bersinar terlalu terang. Kaelis adalah pewaris sah: kuat, karismatik, dan dicintai oleh para kesatria. Selvaria, meski misterius, punya afiliasi dengan Gereja Elemen dan dikenal sebagai jenius taktis.

Dan dirinya? Ia bahkan belum pernah berhasil memicu satu pun respon dari Grid—sistem sihir dunia yang mendefinisikan segalanya: kelas, status, masa depan.

Reian Ardell. Anak ketiga. Tanpa elemen. Tanpa masa depan.

Di ruang makan utama kastil Ardell malam itu, Lord Elvor duduk di ujung meja panjang. Sorot matanya tajam seperti batu kristal yang belum diasah. Di sisi kirinya duduk Lady Mirena, ibunya, dengan raut dingin seperti biasanya—nyaris seperti patung elf dari zaman kuno.

“Besok, ekspedisi berburu akan dimulai. Para bangsawan muda akan ikut serta sebagai bagian dari tradisi. Kaelis memimpin pasukan timur. Selvaria memimpin unit pengintai,” ucap Elvor datar. Lalu ia menoleh ke arah Reian.

“Kau… akan ikut sebagai pengamat.”

Reian mengangkat kepalanya. “Izinkan aku bergabung sebagai petarung, Ayah. Aku sudah—”

“Kau belum membuktikan apa pun,” potong Elvor tajam. “Kau bahkan tidak tercatat oleh Grid. Kau tahu artinya itu? Dunia tidak mengenalmu.”

“Mungkin… sistemnya yang salah,” Reian berkata lirih, tapi penuh api di dalam dada.

Kaelis tertawa pelan. “Tentu. Dunia yang salah. Bukan kamu.”

Reian mengepalkan tangan di bawah meja. Ia menahan semua yang ingin ia teriakkan. Di keluarga Ardell, kehormatan tak dibentuk dari suara—melainkan dari pembuktian. Dan ia akan membuktikan.

Malam itu, Reian berdiri di atas balkon sayap barat kastil. Langit bertabur bintang, tapi semuanya tampak jauh, tak terjangkau. Di tangannya, pedang tua itu kembali ia genggam. Ia tak tahu mengapa terus bertahan. Mungkin karena jika ia menyerah… maka ia benar-benar menjadi kosong.

“Ibu tidak akan datang ke upacara besok,” terdengar suara lembut.

Ia menoleh. Selvaria berdiri di balik pintu, masih mengenakan jubah hitam bergaris biru gelap.

“Karena aku akan mati di sana?” tanyanya pahit.

“Karena beliau tidak tahu harus berharap apa darimu,” jawab Selvaria tanpa ragu.

Reian menggigit bibir. “Setidaknya kau jujur.”

“Kau tidak lemah, Reian. Tapi dunia ini dibangun untuk mereka yang bisa dilihat oleh sistem. Tanpa sihir, kau seperti bayangan yang tak bisa disentuh.”

“Maka aku akan menjadi api yang membakar bayangan itu,” balas Reian.

Selvaria menatapnya sejenak, lalu pergi tanpa kata. Tapi sebelum menghilang di lorong, ia sempat berkata pelan, “Jangan mati. Bahkan bayangan pun bisa membunuh jika tahu caranya bergerak.”

Esok harinya, ekspedisi dimulai.

Hutan timur Ardell tak pernah bersahabat. Kabut menggantung di antara pepohonan, dan tanahnya dipenuhi akar-akar menjebak. Para ksatria menunggang kuda, mengenakan jubah pelindung elemen. Reian menunggang seekor kuda cokelat tua, tak ada lambang, tak ada perlindungan sihir. Hanya dirinya dan pedang warisan yang bahkan tak diakuinya sendiri.

“Formasi! Selvaria, ke arah selatan!” seru Kaelis.

“Reian, tetap di belakang. Jangan—” tapi sebelum Kaelis selesai, jeritan terdengar dari sisi timur.

Seekor Noxwolf—monster bayangan bertaring panjang—muncul dari balik semak, mencabik dua kesatria sekaligus.

Semua menjadi kekacauan. Formasi hancur. Api dan petir melesat ke segala arah. Tapi Reian tak melihat koordinasi. Hanya ketakutan.

Ia turun dari kudanya. “Fokus ke pusat! Pisahkan monster dari kawan yang terluka!” teriaknya.

Beberapa kesatria mengikuti. Tapi satu demi satu, mereka tetap jatuh.

Reian melompat, mengayunkan pedangnya, menebas satu monster kecil yang mencoba menyerangnya dari belakang. Tanpa sihir, ia hanya mengandalkan insting dan latihan. Dan itu cukup… untuk bertahan.

Namun ketika makhluk terbesar muncul—Ravager Shade, serigala bayangan sebesar kuda perang—semua berubah.

Makhluk itu mengeluarkan raungan yang mengguncang tanah. Reian terpental, dadanya terasa seperti dihantam batu. Ia terbatuk, darah mengalir dari bibirnya.

Ia tahu ia akan mati.

Tapi saat napas terakhir hampir ia ambil, dunia seakan melambat.

Dalam kehampaan itu, ia melihat cahaya. Bukan cahaya sistem, bukan lambang Grid. Tapi bara merah menyala dari dalam dirinya sendiri—seakan api kecil di kedalaman jiwanya baru saja terbangun.

“Aku… tidak akan mati seperti ini…”

Ia merasakan panas membakar dari dadanya, naik ke bahunya, menyebar ke tangan. Pedang di tangannya bergetar—tidak karena ketakutan, tapi karena sesuatu di dalamnya sedang… berubah.

Dan api itu menyala.

Bukan api biasa. Ini bukan sihir terdaftar. Ini bukan elemen dari buku pelatihan. Ini… adalah api jiwa—yang membakar rasa takut, rasa sakit, dan segala hal yang membuatnya manusia.

Dengan raungan tak terkendali, Reian bangkit.

Ravager Shade melompat ke arahnya. Tapi sebelum cakar itu menyentuhnya, Reian mengayunkan pedangnya yang kini bersinar merah membara—dan dengan satu tebasan, monster itu terbelah dua.

Kesunyian. Semua memandangnya.

Termasuk Kaelis, yang wajahnya berubah pucat.

Tapi Grid tidak berbunyi. Tak ada notifikasi. Tak ada pengakuan.

Reian menatap tangannya yang masih membara. Api itu perlahan meredup, masuk kembali ke tubuhnya.

Ia tidak tercatat. Ia tidak dikenali.

Tapi ia hidup. Dan lebih dari itu—ia bangkit.

Malam itu, di tendanya yang sepi, Reian duduk diam. Tak seorang pun berani mendekat sejak kejadian siang tadi. Beberapa menganggapnya monster. Beberapa lainnya… takut.

Ia tidak peduli.

Matanya menatap kosong ke langit. Tapi kali ini, bintang-bintang terasa lebih dekat.

“Aku tahu ini bukan kekuatan yang diizinkan,” gumamnya. “Tapi ini milikku. Ini jiwaku.”

Ia mengepalkan tangan. Api merah samar muncul di telapak tangannya—nyaris tak terlihat.

“Dan aku akan membuat dunia ini mendengarnya.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca