

Atap jerami, balok kayu, dinding kapur putih, dan rumah tua beratap genteng merah…
Saat membuka mata dan melihat pemandangan akrab itu, sebuah senyum pahit terukir di wajah Kenzy.
Ia tengah berada dalam krisis paruh baya. Beberapa waktu terakhir, ia terus bermimpi tentang hal yang sama—seolah jiwanya terlepas dari tubuh, mengalir mundur di sepanjang arus waktu, kembali ke masa kecilnya yang samar.
Dan kini, pemandangan dalam mimpinya menjadi semakin jelas. Tahun itu adalah saat ia akan mendaftar ujian masuk sekolah menengah. Ia tinggal sendirian di asrama tua milik stasiun konservasi air, sedikit di luar kawasan sekolah. Setiap pagi, saat bangun tidur, inilah pemandangan pertama yang ia lihat.
Namun, Kenzy tak lagi merasa terkejut. Ia tahu, semua ini hanyalah mimpi. Sebentar lagi, jika ia memejamkan mata dan menghitung sampai tiga, dunia nyata akan kembali menjemputnya.
Satu... dua... tiga.
Matanya terbuka. Tapi—aneh! Ia belum kembali. Dunia nyata itu... belum juga datang.
Meskipun hidupnya yang sekarang penuh penyesalan, kegagalan, dan beban masa lalu, tetap saja ini tak masuk akal. Tidak ilmiah!
Bingung dan mulai panik, Kenzy menoleh pada kalender robek yang tergantung di dinding. Tertera: 12 Mei 1995.
Ia membeku.
Hari itu... adalah hari pendaftaran ujian masuk sekolah menengah.
Tepat di sinilah segalanya mulai berubah dalam hidupnya. Sebuah titik balik besar—tapi bukan ke arah yang ia harapkan.
Bagi generasi sekarang, mungkin ini sulit dipahami. Namun pada tahun 1995, sebelum sistem pembiayaan publik untuk sekolah dihapus, terutama di daerah terpencil seperti kota kecil tempat Kenzy tumbuh, masuk ke sekolah teknik jauh lebih menjanjikan daripada sekolah menengah umum.
Kenapa? Karena sekolah teknik menjamin pekerjaan, dan yang terpenting: gratis. Itu adalah berkah tak ternilai bagi keluarga miskin. Anak-anak desa belajar untuk bekerja. Bukan untuk mimpi, tapi untuk bertahan hidup.
Kenzy adalah salah satunya.
Namun nasib punya caranya sendiri. Setahun sebelum ia lulus, sistem pembiayaan itu dihapus total. Lulusan sekolah teknik yang dulu diperebutkan, mendadak tak punya daya jual.
Orang bilang dunia berubah cepat. Tapi ketika perubahan itu menghancurkan hidupmu, kata-kata seperti “itu biasa” terasa kejam.
Kenzy sempat beruntung, masih sempat mendapat penempatan kerja. Tapi nasib buruk belum selesai. Ia masuk ke kantor pos dan telekomunikasi—lalu, tak lama kemudian, dua instansi itu dipisah. Ia, yang tanpa relasi dan latar belakang kuat, terdepak.
Kerja keras bertahun-tahun seperti tak berarti.
Sambil menguatkan diri, ia pindah ke kota Sitorus. Sambil kerja serabutan demi keluarga, ia kuliah malam hari. Berat? Sangat. Tapi ia bertahan. Ia sempat mencicipi cahaya keberhasilan... sebelum tragedi keluarga menghantamnya lagi dan menariknya jatuh.
Kini, setelah semua badai itu reda dan usia paruh baya menyapa, satu pertanyaan terus menghantuinya:
"Bagaimana kalau aku memilih SMA saat itu, dan bukan sekolah teknik?"
Saat ia merenung dalam diam, sebuah suara memecah lamunannya.
“Kenzy, kamu sudah bangun?”
Tubuhnya menegang. Ia mengenali suara itu. Dan meski ia tahu ini semua hanya mimpi... mendengar suara itu membuat hatinya bergetar.
Beberapa detik kemudian, di balik jendela tua yang terbuat dari kayu berpernis merah, muncullah sosok yang dulu mengisi hatinya. Bella. Rambut berponi panjang, senyum bersinar, wajahnya bagaikan peluru nostalgia yang menghantam kenangan Kenzy paling dalam.
“Aku bangun, Bella. Tunggu sebentar, aku akan segera keluar.”
Dengan jantung berdebar, ia melangkah turun dari ranjang dan menjejakkan kaki di lantai beton dingin. Udara pagi terasa menusuk, tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: ia akan segera bertemu dengannya—gadis yang selama ini hanya hidup dalam mimpinya.
“Jangan lambat. Kita harus mengisi formulir hari ini. Aku tunggu di luar,” seru Bella dengan nada ceria namun tegas.
“Siap.”
Ia mengenakan celana panjang dan kemeja kotak-kotak lengan pendek, mengikat sabuk kulit buatan lokal, lalu berjalan ke wastafel logam di depan pintu. Mengambil setengah ember air sumur, ia membasuh wajah, berharap ia tidak terbangun sekarang.
Wajah remajanya muncul di cermin—muda, bersih, dan penuh semangat yang sudah lama ia lupakan.
Ia menatap bayangannya sendiri dan tersenyum kecil.
“Terima kasih... karena memberiku kesempatan ini lagi.”
Kenzy hendak membuka pintu, tapi ragu sejenak. Ia kembali membasahi rambut, membereskan penampilannya, dan memastikan semuanya sempurna.
Pintu dibuka. Bella berdiri di sana, mengenakan gaun biru langit dan sepatu krem. Senyumnya masih seperti dulu—murni dan menenangkan.
“Bella... kamu cantik sekali.”
“Ah, kamu ini. Ayo cepat, nanti kita terlambat!”
Sinar matahari Mei menyambut mereka saat keluar dari bangunan tua itu. Kenzy menatap punggung Bella, berjalan pelan, takut segalanya akan lenyap jika ia melangkah terlalu cepat.
Tapi tidak. Dunia ini tetap nyata.
Mereka keluar dari gerbang Stasiun Konservasi Air Distrik Bedford, dan dunia luar menyambut mereka dengan keramaian khas kota kecil tahun 90-an: suara traktor, teriakan pedagang, derit sepeda, dan aroma jalanan.
Dan saat itulah... Kenzy sadar.
Ini bukan mimpi. Ini nyata.
"Aku dilahirkan kembali?" pikirnya.
Karena hanya itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Meskipun—sama sekali tak ilmiah.
Pada titik itu, Kenzy tiba-tiba menyadari sesuatu yang mengejutkan: mimpi yang terus terulang—di mana seolah jiwanya melayang keluar dari tubuh dan mengembara melewati waktu—bukan sekadar mimpi.
Itu adalah tanda.
Sebuah pertanda kelahiran kembali.
Dan kali ini, untuk pertama kalinya... jiwanya dari masa paruh baya berhasil kembali hidup dalam tubuh mudanya.
Udara sejuk dari lantai beton, percikan air sumur yang mengguyur wajahnya, suara burung gereja di kejauhan—semuanya terasa terlalu nyata.
Ia tidak terbangun.
Bahkan ketika matahari Mei menyilaukan tepat di atas kepala, bahkan ketika Bella tersenyum memanggilnya keluar rumah, bahkan ketika suara ramai pasar pagi menyerbu telinganya—semuanya tetap sama.
Ini bukan mimpi. Ini kenyataan.
Kenzy yang berusia tiga puluh tujuh tahun... kini hidup dalam tubuh remajanya yang berusia lima belas tahun.
Air mata mengalir pelan dari mata jernih bocah itu. Ia ingin berkata sesuatu pada gadis di depannya—tentang cinta sejati, tentang takdir yang ia sesali seumur hidup—tapi ia tahu, jika ia bicara sekarang, Bella pasti akan mengira ia gila.
Dan perutnya yang keroncongan baru saja mengingatkannya akan satu hal: sarapan jauh lebih mendesak daripada drama eksistensial.
“Mau makan apa?” tanya Bella sambil menoleh, rambutnya sedikit berkibar tertiup angin. “Gimana kalau roti isi goreng? Ibuku kasih uang saku hari ini.”
Kenzy tersenyum. Lembut. Hangat.
Ia menyembunyikan segala badai dalam hatinya dan menjawab dengan gaya anak laki-laki yang ceria, “Biar aku saja yang traktir.”
“Bu, roti isi lima puluh sen, ya!”
Wanita paruh baya bertubuh besar di balik gerobak tersenyum ramah. “Lima roti isi, satu bonus! Anak pintar kayak kamu emang pantas dikasih lebih. Gaya rambutmu hari ini juga lumayan rapi—lebih bagus dari biasanya yang mirip kandang ayam!”
“Haha, makasih, Bu!”
Kenzy menerima bungkus roti goreng yang masih panas, wangi, dan berminyak. Di zaman ini—di mana makanan berminyak adalah kemewahan—sebungkus kecil itu bagaikan emas.
“Nih, kamu pilih dulu,” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan ke Bella.
Bella meniup ujung jarinya agar tak terlalu panas, lalu mengambil satu dan tersenyum, “Dua buatku, sisanya buatmu. Aturan lama.”
“Lima dibagi dua aja lah, adil.”
“Aku cukup dua. Kalau kamu makan semuanya, kamu yang bakal gemuk,” candanya sambil tersenyum lebar.
Mereka makan bersama sambil berjalan santai menuju sekolah: Bedford Junior High School.