

“Kadang yang paling menakutkan bukanlah ketika hidup berubah... tapi saat kau tahu semuanya hanyalah tenang sebelum badai.”
Namaku Leo Laurent. Seorang siswa biasa di kelas 12 SMA. Setidaknya... begitu dunia melihatku.
Aku duduk di bangku paling belakang, dekat jendela–tempat Favoritku sejak dua tahun lalu. Dari sini aku bisa melihat langsit sore yang perlahan berubah oranye, seolah mencoba menenangkan kepalaku yang mulai penat oleh hidup yang terlalu... tenang.
Tapi diam-diam, aku tahu hidupku bukan hidup yang tenang. Hanya saja... belum dimulai.
“Leo!” Teriak Arsyd sambil memukul pundakku dengan botol minuman. “Lu ngelamun lagi. Besok lulus loh. Masih mikirin UN?”
Aku hanya tersenyum tipis. “Enggak, gue cuma lagi mikirin... hidup.”
“Gaya banget lo, kayak tokoh utama anime!” Sahut Gryn dari kursi sebelah. “Udah ah, ikut kita ke arcade sore ini.”
Aku menolak halus. Entah kenapa, dadaku akhir-akhir ini sering terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang tertahan.
Sesuatu... yang menunggu untuk dilepaskan.
Hari itu berlalu seperti biasa. Namun tanpa aku
sadari... itu adalah hari terakhir kehidupanku yang “Biasa”.
Jam pelajaran selesai, langit tampak menggantung. Angin sore berhembus lembut lewat jendela kelas.
Entah mengapa, saat itu aku memejamkan mata sejenak, hatiku berbisik pelan...
“Leo... waktu normalmu akan segera habis.”
Langit senja menggantung rendah, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diucapkan. Aku berjalan menyusuri trotoar, sendirian. Biasanya aku pulang bareng Gryn atau Arsyd, tapi kali ini aku butuh waktu sendiri.
Entah kenapa, dadaku terasa... aneh. Sesak. Berat. Seperti ada sesuatu yang berputar di dalam tubuhku, mendesak keluar.
“Aaakh...” Aku memegangi dadaku, napas mulai tak beraturan.
Langkahku terhuyung. Jantungku berdetak terlalu cepat, lalu terlalu lambat. Mata kananku mulai kabur. Dunia di sisi kanan menjadi gelap, tak jelas. Pandangan bergoyang seperti kaca yang retak–mengaburkan sisi kota yang biasanya aku kenal dengan baik.
“Apa ini...?” batinku pelan.
Aku tidak punya jawaban. Hanya tubuhku yang seperti tak lagi menjadi milikku. Tapi aku terus berjalan. Memaksa kaki untuk melangkah.
Saat itulah aku menabrak seseorang.
“Maaf!” aku reflex menunduk dan mundur selangkah.
Yang kutabrak adalah pria tinggi berjaket gelap. Di tangannya, ia menggenggam tangan seorang anak kecil laki-laki.
Tapi bukan pria itu yang membuatku berhenti. Melainkan tatapan si anak.
Tatapan itu...
Seolah menusuk jiwaku.
Anak kecil itu menatapku dengan mata yang membeku. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan matanya seperti ingin berteriak, tapi tak bisa. Bukan takut karena aku menabraknya. Tapi... takut karena ia bersama orang itu.
Dia tidak bicara. Tapi sorotan matanya seperti memohon:
“Tolong saya...”
Aku terdiam. Lalu pria itu menarik tangan anak itu dan melanjutkan langkah tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Jantungku menolak diam. Aku tidak bisa membiarkan itu begitu saja.
Tanpa sadar, aku mulai mengikuti mereka dari belakang. Langkahku pelan, mataku menajam. Pria itu berjalan cepat, seolah tahu ada yang mengikutinya. Tapi ia tidak menoleh.
Mereka menyeberang jalan, melewati sebuah gang sempit yang tak pernah kutelusuri sebelumnya.
Gang itu gelap dan lembab, seperti lorong antara dunia nyata dan bayangan. Di ujung berdiri sebuah gedung tua bobrok–bangunannya miring sedikit, catnya terkelupas, dan jendela-jendela pecah terbuka lebar seperti mata kosong.
Dari kejauhan aku melihat pria itu mengetuk pintu logam yang berkarat. Setelah beberapa detik, pintu itu terbuka, dan mereka masuk. Pintu ditutup kembali.
Bunyi gemeretak besi mengunci udara sore.
Aku berdiri diam. Menatap pintu itu, seolah menatap ujung dari diriku yang selama ini aku pikir normal.
Aku tidak tahu siapa mereka. Aku tidak tahu apa yang kulihat barusan.
Tapi satu hal pasti...
Aku tidak akan membiarkan anak itu sendirian di dalam sana.
Aku menunggu beberapa menit di balik tembok rusak, mencoba menenangkan napasku yang masih terasa sesak. Pandangan kananku masih belum normal, tapi cukup untuk melihat arah pria dan anak itu masuk.
Aku menyusup perlahan, mendakati sisi samping gedung bobrok itu.
Tak ada suara...
Hingga langkah kakiku berhenti di balik jendela pecah yang ditutupi tirai sobek.
Mataku menyipit, tubuh menegang. Aku mengintip dari celah sempit.
Dan yang kulihat...
...membekukan darahku.
Pria itu berdiri di tengah ruangan kosong yang lantainya berdebu. Di sampingnya, anak kecil yang tadi... sedang berdiri gemetar tanpa sepatah kata.
“LEPAS!” bentak pria itu dengan nada tinggi.
Anak itu menahan air mata. Tubuhnya kecil dan kurus, dan tangannya menutupi bagian depannya sambil bergidik,
“LEPAS ATAU KAU AKU PUKUL!”
Dengan paksa, pria itu menarik baju anak itu dan merobeknya. Satu per satu... hingga tidak tersisa.
Aku ingin berlari masuk. Aku ingin meneriaki orang itu. Tapi kakiku membeku. Tanganku gemetar. Jantungku berdetak seperti ingin meledak.
Lalu, pria itu mengambil pakaian anak itu yang sudah tercabik dan menyalahkan korek api.
Dalam hitungan detik, pakaian itu terbakar di tengah ruangan. Nyala api kecil menyala, menari di atas potongan kain kotor itu.
Anak itu hanya berdiri... Telanjang... Terdiam... Menahan tangis yang tidak berani keluar.
Aku menggertakkan gigi.
Ini bukan hanya salah. Ini... jahat. Apa pun yang mereka lakukan di dalam sana... bukan sesuatu yang bisa dimaafkan.
Dan aku tahu, ini belum semuanya.
Aku menatap api yang mulai padam... dan untuk pertama kalinya... aku mulai takut terhadap sesuatu yang lebih gelap dari api...
Diri sendiri.
Aku tidak bisa diam. Tidak setelah melihat apa yang pria itu lakukan pada anak kecil itu. Tidak setelah melihat pakaian yang dibakar, seolah-olah mereka membakar... masa kecilnya.
Tanganku mengepal. Tubuhku bergerak sendiri.
Aku menyusup dari sisi gedung, mengendap-endap ke pintu belakang yang setengah terbuka. Bau lembab, busuk, dan alkohol langsung menyerang hidungku.
Tapi aku tahan.
Langkahku pelan. Napasku kuatur. Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, tapi firasatku berkata... neraka ada di balik ruangan ini.
Aku masuk ke lorong gelap. Lantainya retak, dindingnya penuh coretan. Aku melewati satu ruangan kosong, lalu ruangan kedua... dan akhirnya... ruangan ketiga.
Aku berhenti di ambang pintu yang terbuka sedikit. Suara tawa kasar terdengar dari dalam.
Saat aku mengintip–Jantungku berhenti berdetak sejenak.
Ada dua puluh anak kecil. Semua laki-laki. Dalam keadaan telanjang dan terikat, duduk berjajar seperti barang tak bernyawa.
Di depan mereka, ada lima pria dewasa sedang duduk sambil minum alkohol dan tertawa. Beberapa dari mereka memegang kamera. Yang lain... menyusun dokumen dan tablet. Salah satu pria membuka laptop–tampilan layar menujukan halaman situs gelap dengan foto-foto mengerikan yang tidak ingin kuingat.
Aku menahan napas. Tangan gemetar. Tubuhku seperti dihantam oleh kenyataan paling brutal dari dunia ini.
Dua puluh anak kecil... diikat seperti hewan. Dan mereka... dijadikan komoditas.
Air mataku hampir menetes. Tapi aku telan semuanya. Bukan saatnya menangis. Bukan saatnya panik.
Ini adalah... saatnya bertindak.