Pukul 05.00 pagi. Jakarta masih diselimuti pekat, hanya rembulan sabit yang menggantung malu-malu di langit timur, seolah enggan menyerahkan kekuasaannya pada fajar. Tapi di sebuah rumah petak di gang sempit yang tak pernah sepi, lampu sudah menyala terang. Bukan lampu hias apalagi lampu tidur mewah, melainkan lampu neon putih yang cahayanya sedikit berkedip, menerangi wajah seorang pemuda yang sudah duduk tegak di meja belajarnya.
Itu Dimas. Usianya baru tujuh belas tahun, tapi raut wajahnya sering kali terlihat lebih tua dari seharusnya. Bukan karena kerutan, melainkan karena ekspresinya yang jarang berubah: datar, fokus, dan nyaris tanpa emosi. Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, tangannya sibuk membolak-balik buku kimia tebal, sementara matanya bergerak cepat menyerap setiap rumus dan teori. Sesekali, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk halaman, menandakan otaknya sedang bekerja keras, menganalisis, dan menyimpan informasi.
Di luar, suara azan Subuh mulai berkumandang, disusul riuhnya pedagang sayur yang mulai membuka lapak. Bau bumbu dapur dan gorengan samar-samar tercium masuk ke dalam kamar, tapi Dimas tak bergeming. Dunianya pagi itu adalah tabel periodik dan reaksi kimia.
Sejak kecil, Dimas sudah terbiasa dengan rutinitas yang ketat. Bangun sebelum Subuh, belajar, membantu ibunya menyiapkan dagangan kue, lalu berangkat sekolah. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, apalagi bermain-main seperti teman-teman sebayanya. Ayahnya meninggal dunia tiga tahun lalu karena kecelakaan kerja, meninggalkan Dimas dan ibunya dengan tumpukan utang dan mimpi yang belum terwujud. Sejak saat itu, bahu Dimas yang sempit harus menanggung beban lebih berat. Ia tahu, satu-satunya cara untuk mengubah nasib adalah dengan belajar, belajar, dan terus belajar.
Pukul 06.00, Dimas menutup buku kimianya. Ia bangkit, merapikan meja, lalu berjalan ke dapur sederhana. Ibunya, Bu Lastri, sudah sibuk menggoreng kue-kue di wajan besar. Aroma pisang goreng dan risol memenuhi ruangan.
"Dimas, sudah selesai belajarnya?" suara Bu Lastri parau, tapi penuh kehangatan. Ia menoleh sekilas, menyunggingkan senyum tipis.
"Sudah, Bu. Apa yang bisa Dimas bantu?" tanya Dimas, suaranya tenang, tanpa nada lelah sedikit pun.
"Ini, tolong bungkuskan risolnya. Sebentar lagi Bapak Udin datang," perintah Bu Lastri, menunjuk tumpukan risol yang baru saja diangkat dari wajan.
Dimas cekatan membungkus risol-risol itu dengan kertas minyak, menatanya rapi di keranjang. Tangannya memang terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Baginya, itu bukan beban, melainkan bagian dari hidup yang harus dijalani. Setiap lembar rupiah yang masuk dari hasil jualan kue ini, sebagian besar akan ia sisihkan untuk biaya sekolahnya, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Ia bersyukur, ibunya selalu gigih dan tak pernah mengeluh.
Setelah selesai membantu, Dimas bergegas mandi. Air dingin dari gayung menyegarkan tubuhnya yang sedikit kaku karena kurang tidur. Ia mengenakan seragam SMA Rajawali yang selalu rapi dan licin, meskipun sudah agak pudar warnanya. Kemeja putih bersih dengan lambang OSIS di lengan kanan, celana abu-abu yang disetrika sempurna, dan sepatu pantofel hitam yang dipoles mengilap. Ia selalu memastikan penampilannya sempurna, bukan karena ingin menarik perhatian, melainkan sebagai bentuk rasa hormat pada sekolah dan jabatannya.
Sebagai Ketua OSIS SMA Rajawali, Dimas memiliki beban moral yang besar. Ia adalah representasi sekolah, teladan bagi siswa-siswi lain. Ia tidak boleh terlihat lesu, apalagi lusuh. Meskipun ia tahu, banyak teman-temannya yang datang ke sekolah dengan motor sport terbaru, mobil diantar sopir, atau tas bermerek mahal, Dimas tak pernah merasa iri. Fokusnya hanya satu: memberikan yang terbaik.
"Dimas, sarapan dulu, Nak!" panggil Bu Lastri dari dapur.
Dimas menghampiri meja makan, di mana semangkuk nasi dengan lauk tempe orek dan telur dadar sudah menunggunya. Sarapan sederhana, tapi selalu terasa nikmat di lidah Dimas. Ia makan dengan tenang, tidak terburu-buru, tapi juga tidak melamun. Pikirannya sudah melayang ke sekolah, ke daftar tugas OSIS yang harus ia selesaikan hari ini, dan ke pelajaran yang akan datang.
Pukul 06.45, Dimas berpamitan kepada ibunya. "Dimas berangkat ya, Bu. Jangan terlalu capek."
"Iya, Nak. Kamu juga hati-hati di jalan, ya. Belajar yang benar."
Dimas mencium tangan ibunya, lalu berjalan keluar. Ia tidak naik bus kota, apalagi ojek online. Jarak rumahnya ke SMA Rajawali memang tidak terlalu jauh, sekitar tiga kilometer. Ia memilih berjalan kaki, bukan hanya untuk menghemat ongkos, tapi juga untuk melatih fisik dan pikirannya. Setiap langkah adalah kesempatan untuk merenung, menyusun rencana, atau sekadar menikmati udara pagi Jakarta yang masih relatif segar.
Sepanjang perjalanan, beberapa siswa SMA Rajawali berpapasan dengannya. Ada yang menyapa, "Pagi, Dimas!", ada juga yang hanya mengangguk hormat. Dimas selalu membalas sapaan itu dengan anggukan dan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Ia bukan tipe orang yang mudah bergaul atau suka basa-basi. Ia lebih suka berbicara seperlunya, tentang hal-hal yang penting dan berkaitan dengan tugasnya.
Ketika tiba di gerbang sekolah, aura Ketua OSIS yang berwibawa langsung terpancar dari dirinya. Langkahnya tegap, tatapannya lurus ke depan, dan punggungnya selalu tegak. Tidak ada yang berani macam-macam di depannya. Bahkan guru-guru pun sering memuji kedisiplinan dan integritasnya.
"Pagi, Dimas," sapa Pak Budi, satpam sekolah, sambil membukakan gerbang lebih lebar.
"Pagi, Pak," jawab Dimas singkat, lalu melangkah masuk.
Di koridor sekolah, suasana sudah mulai ramai. Beberapa siswa bergerombol, mengobrol, atau saling bercanda. Tapi begitu melihat Dimas lewat, obrolan mereka akan mereda, atau setidaknya volumenya mengecil. Tatapan Dimas yang dingin dan tanpa ekspresi seolah memiliki kekuatan magis untuk membungkam keramaian. Ia tidak perlu berbicara keras, apalagi membentak. Kehadirannya saja sudah cukup.
Ruang OSIS adalah tujuan pertamanya. Meja kerjanya selalu rapi, dengan tumpukan dokumen yang tertata sesuai prioritas. Pagi itu, ia langsung memeriksa jadwal rapat dan daftar tugas yang harus diselesaikan hari ini. Ada persiapan untuk acara pentas seni akhir tahun, proyek bakti sosial, dan juga jadwal piket kebersihan. Semuanya harus berjalan sempurna di bawah pengawasannya.
"Pagi, Ketua!" suara ceria Hera, Sekretaris OSIS, memecah keheningan ruang OSIS. Gadis berambut sebahu itu tersenyum lebar sambil meletakkan beberapa lembar laporan di meja Dimas. "Sudah datang saja. Semangat banget!"
Dimas hanya mengangguk. "Ada apa?"
"Ini laporan keuangan minggu lalu. Dan ini daftar peserta lomba pidato. Saya sudah menyortir yang terbaik, tinggal Ketua seleksi lagi," jelas Hera, sama sekali tidak terganggu dengan respons singkat Dimas. Ia sudah terbiasa dengan sifat Dimas yang irit bicara. Bahkan, ia menganggapnya sebagai bagian dari pesona Ketua OSIS yang misterius.
"Oke, nanti saya cek," jawab Dimas, matanya sudah tertuju pada laporan di depannya.
Hera mengamati Dimas sejenak. Pemuda itu memang tampan, dengan rahang tegas, hidung mancung, dan mata hitam pekat yang selalu memancarkan kecerdasan. Tapi yang paling mencolok adalah auranya yang seolah membangun dinding tak terlihat di sekelilingnya. Dingin, sulit ditembus, tapi justru menarik perhatian. Banyak gadis di SMA Rajawali yang mengagumi Dimas, diam-diam atau terang-terangan. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil meluluhkan es di hatinya.
Dimas terlalu fokus pada tujuannya, terlalu sibuk dengan tanggung jawabnya. Atau mungkin, ia hanya belum menemukan orang yang tepat.
Bel masuk berbunyi, mengakhiri perbincangan singkat mereka. Dimas dan Hera bergegas menuju kelas masing-masing.
Pelajaran pertama adalah Matematika. Dimas selalu menjadi salah satu siswa terbaik di kelasnya. Ia tidak perlu mencatat banyak, cukup mendengarkan penjelasan guru dengan saksama, dan semua rumus serta teori langsung terekam di otaknya. Saat guru memberikan soal latihan, Dimas adalah orang pertama yang selesai, jawabannya selalu benar. Teman-teman sekelasnya kadang iri, kadang juga kagum.
Selama jam istirahat, sebagian besar siswa akan memenuhi kantin, mengobrol, atau bermain ponsel. Tapi Dimas akan tetap di kelas, membaca buku pelajaran atau menyelesaikan tugas OSIS. Kalaupun ia ke kantin, itu hanya untuk membeli sebotol air mineral dan sepotong roti, lalu kembali ke tempatnya. Ia tidak punya waktu untuk bergosip atau ikut-ikutan tren yang sedang populer di kalangan remaja. Hidupnya terlalu serius untuk hal-hal remeh seperti itu.
"Dimas, nanti sore ada rapat OSIS, ya. Kita mau bahas persiapan prom night," kata Rio, Wakil Ketua OSIS, saat jam pulang sekolah. Rio adalah satu-satunya teman yang cukup dekat dengan Dimas, mungkin karena mereka sama-sama memikul beban tanggung jawab di OSIS.
"Jam berapa?" tanya Dimas sambil membereskan bukunya.
"Jam tiga. Aku sudah hubungi semua anggota," jawab Rio.
"Oke."
Dimas mengangguk, lalu bergegas menuju gerbang sekolah. Ia harus pulang, membantu ibunya lagi, dan mungkin mencari pekerjaan sampingan jika ada. Waktu adalah uang, dan uang adalah alat untuk mencapai mimpinya.
Sore itu, rapat OSIS berjalan lancar. Dimas memimpin rapat dengan sigap dan efisien. Ia mendengarkan masukan dari anggota lain, memberikan arahan yang jelas, dan mengambil keputusan dengan tegas. Tidak ada diskusi yang bertele-tele, tidak ada waktu yang terbuang percuma. Semua anggota OSIS tahu, jika Dimas sudah berbicara, itu berarti keputusan final.
Kewibawaannya begitu kuat, tak ada yang berani membantah.
Setelah rapat selesai, hari sudah menjelang magrib. Dimas adalah orang terakhir yang meninggalkan ruang OSIS. Ia memastikan semua lampu sudah mati dan pintu terkunci rapat. Saat berjalan keluar dari gedung sekolah, langit sudah berubah jingga, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Ia menghela napas panjang, bukan karena lelah, tapi karena merasa puas. Satu hari lagi, satu langkah lagi menuju masa depan yang ia impikan.
"Ketua!" sebuah suara melengking memanggilnya dari belakang.
Dimas menoleh. Ia melihat sekelompok gadis berjalan mendekat, salah satunya adalah Fani, siswi kelas sebelas yang cukup populer. Di tangannya ada sebuah kotak bekal yang dihias pita.
"Ini, Dimas. Aku buatkan kue untukmu. Untuk semangat," kata Fani sambil tersipu, menyodorkan kotak itu.
Dimas menatap kotak itu sejenak, lalu beralih menatap Fani. Matanya tetap datar, sulit dibaca. "Terima kasih," katanya singkat, tanpa mengambil kotak itu.
Fani sedikit kecewa, tapi tetap berusaha tersenyum. "Ayolah, Dimas. Cicipi sedikit saja. Aku buatnya spesial untukmu."
"Saya tidak bisa menerima ini," jawab Dimas dengan nada yang sama dinginnya. "Saya tidak bisa menerima pemberian dari siswa."
Fani terkejut. Teman-temannya di belakangnya mulai berbisik. "Tapi ini hanya kue, Dimas. Bukan apa-apa."
"Sekecil apa pun, tetap saja pemberian. Itu bisa menimbulkan persepsi yang tidak benar. Saya minta maaf," jelas Dimas, suaranya tetap tenang, tapi tegas.
Fani hanya bisa menunduk, malu. Dimas tidak memberinya kesempatan untuk berargumen lebih jauh. Ia hanya mengangguk tipis, lalu berbalik, melanjutkan langkahnya meninggalkan Fani dan teman-temannya yang masih terdiam.
Bagi Dimas, prinsip adalah segalanya. Ia tidak ingin ada satu pun celah yang bisa dimanfaatkan orang lain untuk menjatuhkannya, atau mencoreng nama baiknya sebagai Ketua OSIS. Ia tidak ingin ada yang berpikir ia memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Meskipun ia tahu niat Fani baik, ia tidak bisa mengkompromikan prinsipnya.
Saat berjalan pulang, malam semakin larut. Lampu-lampu rumah petak di gang sempit mulai menyala, beberapa di antaranya terlihat remang-remang. Suara tawa anak-anak kecil yang masih bermain di jalan terdengar samar. Dimas mencium bau masakan dari rumah tetangga, suara televisi dari balik dinding tipis. Inilah rumahnya, dunianya. Sederhana, apa adanya, tapi penuh dengan perjuangan.
Setibanya di rumah, Bu Lastri sudah menyiapkan makan malam. Ikan asin, sambal, dan sayur asem. Lagi-lagi, makanan sederhana, tapi kaya akan cinta.
"Bagaimana sekolahmu, Nak?" tanya Bu Lastri sambil menyuapkan nasi.
"Baik, Bu. Rapat OSIS juga lancar," jawab Dimas. Ia tidak pernah bercerita banyak tentang sekolahnya, apalagi tentang interaksinya dengan teman-teman atau siswi-siswi yang mencoba mendekatinya. Ia tahu ibunya sudah cukup lelah dengan masalah hidup.
Setelah makan malam, Dimas tidak langsung tidur. Ia kembali ke meja belajarnya, mengerjakan tugas-tugas sekolah, atau membaca buku-buku tambahan. Terkadang, ia juga membaca buku-buku tentang bisnis atau ekonomi, mencoba memahami bagaimana dunia bekerja, bagaimana ia bisa keluar dari lingkaran kemiskinan ini.
Pukul 22.00, akhirnya Dimas mengakhiri aktivitasnya. Ia mematikan lampu, merebahkan diri di kasur tipisnya. Kamar itu gelap gulita, hanya cahaya lampu jalan yang samar-samar menyelinap masuk dari celah jendela. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak sebelum menghadapi hari esok yang tak kalah sibuknya.
Dimas tahu, hidupnya tidak mudah. Ia tidak punya privilege, tidak punya banyak pilihan. Tapi ia punya tekad, punya mimpi. Dan tatapan dinginnya, sikap cueknya, itu bukanlah keangkuhan, melainkan perisai. Perisai yang ia bangun untuk melindungi dirinya, untuk menjaga fokusnya, dan untuk memastikan tidak ada satu pun hal remeh yang bisa mengganggu perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik. Ia adalah Ketua OSIS yang dingin, tapi di balik itu, ada api ambisi yang membara, siap membakar segala rintangan. Ia tidak tahu, bahwa tak lama lagi, perisai dinginnya itu akan diuji oleh kehadiran seseorang yang sama sekali tidak ia duga. Seseorang yang penuh semangat, penuh warna, dan tak pernah menyerah.