

***
Hujan baru saja reda ketika denting lonceng masjid tua di kampung Wirasari berdentang, mengiringi kabar duka yang menyebar lebih cepat daripada kilat. Di rumah besar keluarga Wiratama, suasana muram menggantung pekat. Lantunan ayat suci menggema dari pengeras suara mushola, sementara pelayat satu per satu berdatangan, membawa doa dan air mata.
Arga Wiratama berdiri kaku di samping jenazah ayahnya, Juragan Wiryawan, sosok yang selama ini dikenal sebagai penguasa perkebunan kopi dan cengkeh di tanah Jawa Timur. Mata Arga merah, tapi tak setetes pun air mata jatuh. Bukan karena ia tidak berduka, melainkan karena masih sulit baginya menerima kenyataan bahwa ayah yang begitu perkasa kini terbujur kaku, tak lagi bernapas.
“Mas Arga, tamu-tamu sudah banyak yang datang,” ucap Pak Suro, tangan kanan ayahnya yang sudah puluhan tahun setia bekerja. Suaranya serak, wajahnya sembab menahan tangis.
Arga menoleh singkat, hanya mengangguk. Kata-kata tak lagi mudah keluar dari mulutnya. Ia masih terlalu muda—27 tahun—untuk menanggung gelar Juragan yang kini otomatis disematkan padanya.
Dari sudut ruangan, suara lirih terdengar. Ibunya, Nyai Ratna, duduk terpaku dengan kerudung hitam menutupi sebagian wajah. Wajah yang dulu selalu tegar kini terlihat rapuh, seperti batang pohon yang kehilangan akar. Beberapa kerabat sibuk menenangkan, namun tatapan perempuan itu hanya tertuju pada jasad suaminya.
Arga menarik napas panjang. Pikiran berputar. Bayangan masa kecilnya menyeruak: ayahnya yang selalu mengajarkan disiplin, tangan keras yang menepuk pundaknya ketika ia malas, sekaligus suara rendah yang berulang kali berkata, “Suatu hari nanti, kamu harus lebih kuat dariku.”
Kini hari itu tiba—lebih cepat dari yang ia kira.
Namun, belum genap sehari sejak kabar duka, bisikan-bisikan mulai terdengar di antara pelayat.
“Anaknya masih muda… apa bisa mengurus perkebunan sebesar itu?”
“Saudaranya pasti banyak yang rebutan warisan…”
“Kalau salah kelola, habislah usaha turun-temurun itu…”
Arga mendengar semua. Lidah orang memang tak bisa dibungkam, apalagi ketika harta dan kekuasaan ikut dipertaruhkan. Ia mengepalkan tangan. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga amanah ini, bagaimanapun caranya.
Sore itu, setelah pemakaman selesai dan tanah merah masih basah menutupi jasad ayahnya, Arga berdiri sendirian di samping pusara. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah bercampur bunga kamboja.
“Bapak…” suaranya parau. “Aku belum siap. Tapi aku tahu, Bapak pasti ingin aku berdiri, bukan jatuh. Aku janji, aku akan teruskan semua yang Bapak tinggalkan… meski aku harus melawan dunia sekalipun.”
Dan dari kejauhan, sosok seorang wanita berdiri diam memperhatikannya. Naya, karyawan administrasi di perusahaan keluarga itu, menggenggam payung hitam di tangannya. Ada iba di matanya, sekaligus kekaguman pada sosok muda yang kini dipaksa menanggung beban sebesar gunung di pundaknya. Ia belum tahu, bahwa langkah kakinya ke pemakaman hari ini akan menuntunnya ke dalam pusaran kisah hidup Juragan Muda.
.
Malam menjelang, rumah besar keluarga Wiratama masih dipenuhi pelayat. Karpet panjang terhampar di halaman, lampu-lampu gantung dipasang seadanya untuk menerangi tamu yang datang silih berganti. Di ruang tengah, keluarga inti berkumpul.
Arga duduk bersila, menunduk dalam diam. Pikirannya penuh, sementara suara-suara beradu di sekitarnya.
“Ratna, kau harus pikirkan baik-baik,” ucap salah seorang kakak almarhum Wiryawan, yaitu Paman Surya, dengan nada berat. “Usaha ini terlalu besar kalau diserahkan begitu saja pada Arga. Dia masih terlalu muda. Kita butuh orang yang benar-benar berpengalaman untuk mengurusnya.”
Ucapan itu membuat suasana hening sesaat. Nyai Ratna menoleh, sorot matanya tajam menahan amarah.
“Surya, Arga adalah anak Wiryawan. Satu-satunya pewaris sah. Jangan pernah kamu ragukan darah yang mengalir di nadinya.”
Paman Surya mendengus, bibirnya menyeringai tipis. “Darah saja tidak cukup. Kamu pikir mengelola ratusan hektar perkebunan kopi dan cengkeh itu main-main? Kalau salah langkah, habis semua. Apa kau mau usaha yang dibangun kakakku dari nol runtuh begitu saja?”
Arga akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun dalam.
“Paman…” ia menatap lurus. “Kalau Paman ingin memimpin, katakan saja. Jangan gunakan alasan aku muda sebagai tameng. Aku mungkin belum berpengalaman, tapi aku anak Bapak. Dan aku akan belajar. Tidak ada satu pun dari kalian yang lebih berhak dari aku.”
Beberapa kerabat saling berbisik. Ketegasan Arga membuat mereka sedikit terkejut. Sosok yang baru saja kehilangan ayah, ternyata masih bisa berbicara dengan mantap.
Nyai Ratna menepuk pundak putranya. “Itu baru anakku.”
Namun perdebatan belum selesai. Dari sudut lain, sepupu Arga, Rendra, ikut menimpali.
“Kamu bicara seakan semua mudah, Ga. Dunia bisnis itu keras. Aku sudah lama terjun di bidang perdagangan, dan aku tahu bagaimana kejamnya persaingan. Kamu? Selama ini hanya sibuk kuliah di kota, menikmati hidup. Apa pernah kamu turun langsung ke kebun? Apa pernah kamu berhadapan dengan para tengkulak?”
Arga diam sejenak, membiarkan kata-kata itu masuk. Lalu ia menatap Rendra dengan sorot mata penuh tekad.
“Memang aku belum sebanyak kamu makan garam, Ren. Tapi jangan remehkan aku. Aku tumbuh di bawah asuhan Bapak. Setiap prinsip, setiap langkah, beliau tanamkan di kepalaku. Dan satu hal yang tidak akan pernah aku lupakan, ‘Seorang Wiratama tidak pernah mundur dari tanggung jawab.’”
Suasana kembali hening. Tak ada yang berani menimpali ucapan itu. Hanya suara adzan Isya dari kejauhan yang menyusup masuk, mengisi keheningan yang menegang.
Di luar ruangan, Naya—yang sedari tadi membantu menyuguhkan teh dan makanan untuk para tamu—diam-diam mendengarkan. Ia bisa merasakan betapa beratnya beban di pundak Arga. Namun di balik sorot mata pemuda itu, ia melihat sesuatu yang berbeda: keberanian yang jarang dimiliki orang seusianya.
Malam itu, setelah para pelayat mulai pulang satu per satu, Arga duduk sendirian di beranda rumah. Hujan kembali turun, tipis namun deras di hati. Ia menggenggam buku kulit tua—catatan harian bisnis ayahnya yang tadi sore diberikan oleh Pak Suro.
“Aku akan menjaganya, Pak,” gumamnya lirih. “Meski semua meragukan, aku akan buktikan. Juragan muda ini… tidak akan kalah.”
Dan di kejauhan, petir menyambar, seolah ikut meneguhkan janji itu.
.
Malam semakin larut. Pelayat sudah pulang, rumah besar Wiratama kembali sepi. Hanya lampu temaram yang menyala di ruang tengah, menemani sisa-sisa kesedihan yang masih menggantung.
Arga duduk di beranda, memeluk lutut, menatap pekatnya langit malam. Buku catatan kulit pemberian Pak Suro ada di pangkuannya, belum sempat ia buka. Di balik keheningan, terdengar suara pintu berderit. Nyai Ratna melangkah keluar, mengenakan selendang hitam di bahunya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tetap hangat.
“Kamu belum tidur, Nak?” tanyanya pelan.
Arga menoleh singkat, lalu menggeleng. “Belum, Bu. Rasanya… dada ini masih sesak.”
Nyai Ratna duduk di samping putranya, menepuk pelan punggungnya. “Itu wajar. Kehilangan ayahmu bukan hal kecil. Dia bukan hanya suami dan ayah, tapi juga tiang keluarga ini. Tapi mulai malam ini, kamu lah yang jadi tiang itu, Arga.”
Arga menunduk, jemarinya menggenggam buku catatan kulit itu semakin erat. “Semua orang meragukanku, Bu. Paman Surya, Rendra, bahkan sebagian kerabat kita. Mereka menganggap aku belum pantas. Dan jujur… aku juga takut. Bagaimana kalau aku benar-benar gagal?”
Nyai Ratna menarik napas dalam, lalu menatap putranya dengan sorot yang penuh keteguhan. “Dengar baik-baik, Ga. Kamu anak ayahmu. Darah yang mengalir di tubuhmu adalah darah Wiratama. Rasa takut itu wajar, tapi jangan sampai membuatmu mundur. Kamu boleh muda, tapi justru itu kelebihanmu. Kau bisa belajar, bisa berkembang, dan bisa membawa keluarga ini jauh lebih maju. Sesuatu yang mungkin ayahmu tidak sempat lakukan.”
Arga menelan ludah. Hatinya bergetar mendengar nasihat itu. Ia menatap ibunya, lalu berkata lirih, “Tapi kalau aku jatuh, Bu? Kalau semua ini hancur di tanganku?”
Nyai Ratna tersenyum tipis, meski air matanya jatuh perlahan. Ia menggenggam tangan putranya erat.
“Kalau kamu jatuh, kamu masih punya Ibu. Dan Ibu yakin ayahmu, meski dari alam sana, akan tetap menjadi penopangmu. Kamu tidak sendiri, Nak.”
Arga tak bisa lagi menahan diri. Untuk pertama kalinya sejak siang tadi, air matanya pecah. Ia memeluk ibunya erat, seolah takut kehilangan sosok satu-satunya yang tersisa.
“Bu…” suaranya bergetar. “Aku janji. Aku akan jaga warisan Bapak. Aku akan jaga Ibu. Aku akan buktikan kalau aku memang layak jadi penerus keluarga ini.”
Nyai Ratna membelai rambut putranya, menahan tangisnya sendiri.
“Itu yang Ibu ingin dengar, Ga. Ingatlah… bukan harta yang harus kamu jaga, tapi nama baik keluarga ini. Nama Wiratama harus tetap harum, sampai kapan pun.”
Hujan rintik kembali turun, membasahi halaman. Malam itu, di bawah langit yang kelam, tekad Arga dipatri dalam-dalam. Ia tahu jalan di depannya tidak akan mudah. Intrik keluarga, persaingan bisnis, dan ujian cinta akan menantinya. Tapi satu hal pasti: ia tak akan mundur.
Dan di sudut rumah, tanpa disadari oleh Arga maupun ibunya, Naya kembali melihat dari kejauhan. Gadis itu menggenggam erat payung yang masih basah, hatinya berdesir. Ia tak tahu mengapa, tapi ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mendukung pemuda itu.