Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Darah&Cinta Terlarang

Darah&Cinta Terlarang

asyir drama | Bersambung
Jumlah kata
40.5K
Popular
100
Subscribe
5
Novel / Darah&Cinta Terlarang
Darah&Cinta Terlarang

Darah&Cinta Terlarang

asyir drama| Bersambung
Jumlah Kata
40.5K
Popular
100
Subscribe
5
Sinopsis
PerkotaanAksiMafiaKonglomeratMiliarder
Seorang mafia bengis yang hidup dalam dunia gelap kekerasan dan darah, dipaksa untuk merasakan kelembutan cinta seorang gadis kampung polos. Namun, cinta mereka ditentang keras oleh sang ayah hingga berujung pada tragedi berdarah yang tak bisa dihindari. Akhirnya, mereka memilih bertahan bersama dalam kebahagiaan yang hanya topeng semata.
Bab 1 – Sang Bengis

Langit malam Jakarta selalu penuh cahaya. Tapi bagi sebagian orang, cahaya itu tidak pernah benar-benar berarti. Lampu-lampu kota, kilatan billboard raksasa, dan gemerlap klub malam hanyalah ilusi—menutupi kegelapan yang jauh lebih pekat di baliknya.

Bagi Arka Pradana, cahaya hanyalah pengingat bahwa dunia luar masih sibuk berlari. Sementara dirinya, terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah memberi jalan keluar: darah, kekuasaan, dan dendam.

Arka duduk di kursi kulit hitam di dalam kantornya—sebuah ruangan mewah di lantai atas klub malam miliknya, Inferno. Dinding kaca lebar menghadap ke pusat kota, namun pandangannya kosong. Tangannya menggenggam segelas bourbon, sementara jemarinya yang lain menekan pelatuk pistol tanpa peluru. Senjata itu baginya seperti mainan, bagian tubuh kedua, perpanjangan dari dirinya sendiri.

Di luar ruangan, dentuman musik EDM mengguncang lantai, suara tawa dan jeritan bersatu dalam euforia palsu. Namun, di balik pintu kedap suara itu, hanya ada kesunyian yang mencekam.

“Bos,” suara berat seseorang memecah hening.

Pintu terbuka, seorang pria bertubuh gempal masuk. Namanya Rangga, tangan kanan Arka yang setia sekaligus brutal.

“Semua sudah beres. Barang sudah masuk ke gudang. Besok siap didistribusikan.”

Arka tidak langsung menanggapi. Ia meneguk bourbon, membiarkan rasa panas mengalir ke tenggorokannya.

“Dan musuh?” tanyanya datar.

Rangga tersenyum miring. “Mereka tidak akan bangun lagi. Kita kubur di pinggir sungai. Seperti biasa.”

Arka mengangguk singkat, lalu meletakkan pistolnya di meja. Tatapannya gelap, wajahnya kaku tanpa emosi.

Bagi orang lain, kabar kematian itu mungkin akan menimbulkan perasaan bersalah, setidaknya sekelebat rasa manusiawi. Tapi bagi Arka, itu hanyalah rutinitas. Bagian dari hidupnya. Ia sudah terlalu lama menumpahkan darah hingga baunya terasa seperti parfum yang menempel di kulit.

Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang berbeda malam itu. Ia tidak tahu apa. Bourbon di tangannya terasa hambar. Dentuman musik di luar terdengar jauh lebih bising dari biasanya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasakan kehampaan yang lebih menyesakkan daripada biasanya.

---

Masa Lalu yang Menghantui

Arka lahir bukan di dunia mafia. Ia terlahir sebagai anak dari seorang guru SD sederhana di Semarang. Ibunya meninggal ketika ia masih kecil, membuat ayahnya harus bekerja keras membesarkan Arka seorang diri. Tapi hidup sering kali tidak memberi ruang untuk kebahagiaan yang sederhana.

Saat remaja, Arka menyaksikan ayahnya dibunuh oleh lintah darat di depan matanya sendiri—hanya karena gagal melunasi hutang yang mencekik. Hari itu, darah ayahnya membasahi tanah, dan di sanalah lahir Arka yang baru: seorang anak penuh dendam, yang bersumpah tidak akan pernah lagi jadi korban.

Dendam itu membawanya ke jalanan. Dari perkelahian kecil, ia naik ke kelompok geng jalanan. Dari geng jalanan, ia direkrut mafia besar Jakarta. Kemampuannya dalam bertarung, kepintarannya mengatur strategi, dan keberaniannya untuk mengeksekusi tanpa ragu membuat namanya cepat melambung.

Hingga akhirnya, Arka sendiri yang berdiri di puncak. Seorang mafia bengis yang ditakuti, dijuluki “Sang Bengis” oleh musuh-musuhnya.

Tapi semua harga itu dibayar dengan sesuatu yang jauh lebih besar: hatinya.

---

Malam Berdarah

Pukul dua dini hari, suara tembakan menggema di pelataran belakang klub. Arka turun sendiri kali ini. Ia tidak suka hanya mendengar laporan—ia ingin melihat dengan mata kepalanya.

Di sana, dua orang pria terikat, lutut mereka berdarah, wajah babak belur akibat dipukul.

“Bos, mereka mata-mata. Dari kelompok Surya,” jelas Rangga.

Kelompok Surya—salah satu rival yang selama ini berusaha merebut wilayah distribusi Arka.

Arka melangkah pelan mendekat. Sepatunya yang mengkilap berdecit di lantai beton basah. Kedua pria itu menunduk, tubuh gemetar, tapi mulut mereka masih berani meludah.

“Kalau mau bunuh, bunuh saja. Kami tidak takut,” ujar salah satunya dengan suara serak.

Arka jongkok, menatap mata pria itu. Dalam sekejap, ia menarik pistol dari pinggangnya, lalu—dor!—peluru menembus kepala pria itu. Darah menyembur, menodai wajah temannya.

“Takut?” tanya Arka dingin pada pria satunya.

Yang tersisa itu langsung menangis. “Ampun, Bos… saya hanya disuruh… saya—”

“Diam.” Arka menempelkan pistol ke keningnya. “Di dunia ini, pilihanmu cuma dua: jadi serigala atau jadi bangkai. Kau sudah memilih jadi bangkai sejak ikut Surya.”

Dor!

Peluru kedua menutup malam. Sunyi. Hanya suara jangkrik dan desiran angin yang menemani.

Arka berdiri, menepuk debu di jas hitamnya. “Bersihkan. Jangan ada jejak.”

Rangga dan anak buahnya langsung mengangguk, bergerak cepat menyingkirkan tubuh.

Arka menyalakan sebatang rokok, menatap ke langit yang pekat tanpa bintang. Seperti hatinya—pekat, penuh noda.

Namun entah kenapa, saat asap rokok melayang, ia merasakan sekelebat bayangan: sebuah senyum lembut, samar, entah milik siapa. Bayangan yang tidak seharusnya ada di dunia seperti miliknya.

Arka menggeleng, membuang rokok ke tanah. Ia tidak percaya pada mimpi, apalagi pada cahaya. Baginya, hanya ada darah.

Dan cinta… adalah hal terakhir yang pernah ia pikirkan.

Arka kembali ke kantornya menjelang pukul empat pagi. Klub sudah sepi, hanya tersisa pegawai yang sibuk membersihkan lantai yang lengket oleh minuman tumpah. Lampu-lampu mulai diredupkan, dan suasana kota pun perlahan tenggelam dalam dingin menjelang fajar.

Ia menanggalkan jas hitamnya, melemparkannya sembarangan di sofa, lalu menatap bayangannya sendiri di kaca besar. Pandangan itu menyorot sosok seorang pria tinggi, tegap, berwajah tegas, dengan sorot mata tajam yang membuat banyak orang ciut. Namun di balik tatapan itu, ia hanya melihat kehampaan.

“Seberapa lama lagi aku harus begini?” gumamnya lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri.

Tidak ada jawaban. Hanya pantulan wajahnya yang dingin, yang seolah mengingatkan: kau tidak punya jalan kembali, Arka.

Telepon genggamnya bergetar di meja. Arka mengambilnya. Sebuah pesan masuk dari Rangga:

> “Surya sudah mengincar gudang timur. Kita harus antisipasi besok.”

Arka menutup layar tanpa membalas. Ia tahu perang antar mafia tidak akan pernah berhenti. Musuh datang silih berganti, darah akan terus ditumpahkan. Siklus itu akan berputar sampai salah satu pihak tumbang.

Ia duduk kembali, mengisi gelas dengan sisa bourbon, meneguknya perlahan. Namun tiba-tiba, kepalanya terasa berat. Entah karena alkohol, entah karena kelelahan, pandangannya kabur sejenak. Dalam kabur itu, ia melihat sesuatu yang tidak biasa.

Sebuah senyum. Lembut, hangat, polos. Bukan senyum perempuan bar-bar di klub malam, bukan senyum licik rekan bisnisnya. Senyum itu asing, tapi terasa… menenangkan.

Arka memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu. Ia menggeram pelan, gusar pada dirinya sendiri.

“Apa yang salah denganku?” bisiknya.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ada retakan kecil di dinding kokoh hatinya. Ia tidak tahu dari mana datangnya, atau siapa pemilik senyum itu. Tapi ia bisa merasakan: senyum itu akan membawa badai yang lebih besar daripada perang mafia sekalipun.

Dan malam itu, di balik segala kebengisan, Arka tidak sadar bahwa takdir sedang menuntunnya perlahan ke sebuah jalan yang tak pernah ia bayangkan—jalan menuju seorang gadis sederhana yang akan merobohkan dunianya.

---

Penutup Bab 1

Arka masih duduk termenung di kursinya ketika fajar akhirnya tiba. Cahaya pertama menembus kaca tinggi, mengenai wajahnya yang lelah. Cahaya itu terlalu asing, terlalu menyilaukan bagi seorang pria yang terbiasa hidup dalam gelap.

Dengan sisa bourbon di tangannya, Arka berbisik pada dirinya sendiri:

“Gelap adalah rumahku. Dan siapa pun yang mencoba membawa cahaya ke dalamnya… hanya akan terbakar.”

Ia tidak tahu, bahwa cahaya itu sudah mulai berjalan ke arahnya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca