Bayangan di Balik Jendela
Arka menarik napas panjang ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah tua. Cat dinding sudah mengelupas, jendela-jendela kayu terlihat kusam, dan halaman dipenuhi dedaunan kering. Rumah peninggalan kakeknya itu kini menjadi tempat tinggal barunya. Awalnya, ia merasa biasa saja—pindah ke desa seharusnya membawa ketenangan. Namun, entah mengapa, sejak pertama kali menatap jendela kamar di lantai atas, hatinya terasa gelisah.
Malam pertama, udara dingin merayap masuk ke sela-sela jendela. Arka merebahkan diri, mencoba tidur. Tepat ketika matanya hampir terpejam, ia merasakan tatapan yang menusuk dari arah jendela. Perlahan ia menoleh, namun hanya kegelapan yang menyambut. Ia meneguk ludah, menyelimuti tubuh dengan erat, lalu memaksa diri memejamkan mata.
---
Keesokan harinya, Arka berjalan-jalan di sekitar rumah. Di depan pagar, ia bertemu seorang gadis sebaya dengan rambut panjang yang dikepang sederhana.
“Hai, kamu anak baru, ya?” sapanya dengan senyum ramah.
“Iya. Aku Arka,” jawabnya sedikit canggung.
“Aku Nara. Rumahku di sebelah,” katanya sambil menunjuk bangunan kayu bercat putih yang tak jauh dari sana.
Mereka mengobrol ringan. Nara banyak bercerita tentang desa, sekolah, dan kebiasaan warga. Namun, menjelang akhir percakapan, senyum Nara menghilang. Ia menatap rumah Arka dengan sorot aneh lalu berkata pelan, “Kalau malam… jangan sering lihat ke jendela kamarmu, ya. Banyak orang sudah mengeluh soal itu.”
Arka terdiam. Hatinya makin tak tenang, seolah ucapan Nara menegaskan perasaan yang semalam ia rasakan.
Malam berikutnya, hujan turun deras. Di sela suara deras air, Arka mendengar bisikan lirih. Suara itu seolah muncul tepat di balik jendela kamarnya.
“Kembalikan… kembalikan…”
Arka langsung duduk tegak di ranjang. Dengan tangan bergetar, ia meraih tirai, hendak membuka sedikit untuk memastikan. Namun, sebelum sempat menarik kain itu, angin kencang menghantam wajahnya—padahal jendela tertutup rapat. Lilin kecil di meja belajar padam seketika.
Ketakutan membuat tubuhnya kaku. Arka akhirnya menutup telinga dengan bantal, mencoba mengabaikan bisikan itu sampai ia tertidur.
---
Esoknya, Arka memberanikan diri bertanya pada Nara. Mereka duduk di bawah pohon mangga dekat pagar.
“Nara… sebenarnya apa yang ada di jendela kamar itu?”
Pertanyaan itu membuat Nara terdiam. Matanya menatap kosong ke tanah. Lama ia terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Kamar yang kamu pakai dulu kamar kakakku. Dia hilang… tepat di depan jendela itu.”
Arka terhenyak.
“Hilang? Maksudmu—”
Nara memotong, “Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Malam itu, ibu sempat mendengar suara dari kamarnya. Saat diperiksa… dia sudah tak ada. Hanya jendela terbuka lebar.”
Arka merasakan bulu kuduknya berdiri. Semua potongan kejadian yang ia alami mulai terasa masuk akal—atau justru semakin tak masuk akal.
Malam berikutnya, Arka memutuskan untuk tidak lari dari ketakutannya. Ia menyalakan lilin dan duduk tepat di depan jendela. Angin malam berembus pelan, membawa aroma lembap tanah basah.
Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya sebuah bayangan muncul di kaca jendela. Samar-samar, terlihat wajah seorang gadis muda yang pucat, dengan mata sayu penuh kesedihan. Wajah itu sangat mirip dengan Nara.
“Aku di sini… bukan di sana…” suara lirih itu terdengar, seolah datang dari balik kaca.
Arka gemetar, ingin berteriak namun tak mampu. Lilin padam, meninggalkan kegelapan pekat. Saat lampu kembali menyala karena kilatan petir dari luar, Arka menoleh cepat—dan mendapati Nara berdiri di belakangnya.
Tapi wajah Nara kali ini berbeda: lebih pucat, dengan mata berkaca-kaca dan bibir bergetar.
“Tolong aku…” bisiknya.
Arka baru sadar—Nara yang selama ini menemaninya… mungkin bukanlah Nara yang hidup.
Arka mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “N-Nara… itu kamu?” suaranya bergetar.
Gadis di depannya menatap tajam. Air matanya menetes, tapi senyumnya getir.
“Aku bukan Nara yang kau kenal siang hari…” bisiknya.
Arka terdiam. Ingatannya kembali pada pertemuan pertama mereka: senyum hangat, cerita ringan, dan ucapan aneh tentang jendela. Kini, semuanya terasa masuk akal.
# # #