Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
System Archive

System Archive

Nafayr | Bersambung
Jumlah kata
93.9K
Popular
5.5K
Subscribe
139
Novel / System Archive
System Archive

System Archive

Nafayr| Bersambung
Jumlah Kata
93.9K
Popular
5.5K
Subscribe
139
Sinopsis
18+PerkotaanAksiSi GeniusMengubah NasibDunia Masa Depan
[Sistem + Regresi + Kiamat] Mengisahkan seorang pemuda yang kembali ke masa lalu setelah di khianati sahabatnya di dunia yang hancur, lalu mendapatkan sistem yang mengubah hidupnya.
Prolog: Arsip dari Dunia yang Membeku

Di bawah langit malam Jakarta yang memar biru, salju turun pelan, halus seperti abu kremasi. Dan di tengah putihnya dunia yang membeku itu, suara geraman makhluk-makhluk yang dulu manusia terdengar jelas.

"Ali! Mereka makin deket!"

Suara Yuki menggema di lorong sempit yang terhimpit dua gedung apartemen tua. Nafasnya membeku di udara, membentuk kabut tipis. Tangannya menggenggam tombak dari pipa besi, ujungnya berkilat oleh darah hitam.

Ali berdiri paling depan, punggungnya membungkuk sedikit menahan sakit. Parang di tangannya bergetar, karena darah dari lukanya sudah menetes sampai membeku di ujung jaketnya.

"Arman! Dorong ke kanan! Jangan biarin mereka nutup jalannya!" Ali mengatur napas sambil menahan nyeri di pinggang.

Arman tidak menjawab. Ia hanya menggeser pisau di pinggangnya sambil menatap Ali tanpa ekspresi. Sinta menunduk, ujung sepatunya menggeser salju, seakan mencoba terlihat sibuk.

Zombi-zombi itu bergerak semakin dekat. Mata mereka hampa, kulit pucat kebiruan, kuku panjang dan kotornya mencabik udara. Mereka mengendus bau hangat manusia, bau kehidupan yang sudah jarang di bumi ini.

Ali mengangkat parangnya lagi, memenggal kepala satu zombie. Darah hitam menyiprat, menodai dinding yang dipenuhi es tipis.

"Yuki! Cover kiri gue!"

Yuki maju. Tendangannya menghantam kepala satu mayat hidup, membuat tubuh itu terpental ke tumpukan sampah bersalju. Gerakannya masih cekatan, tapi raut wajahnya kosong, bukan seperti Yuki yang dulu ia kenal.

Sesuatu di dalam dirinya sudah hancur. Sama seperti dunia di sekitar mereka.

Angin malam menggigit pipi Ali. Salju menempel di rambutnya. Geraman zombie semakin keras, bagai melodi kematian.

Ali mengayunkan parangnya secara membabi-buta, menghajar apa pun yang mendekat. Pinggangnya seperti ditarik dari dua arah setiap kali ia mengayun. Setiap gerakan bikin pandangannya nge-blur setengah detik.

"Cepet mundur! Kita potong jalan lewat jembatan kecil!" teriak Ali, tubuhnya mulai limbung. "Arman! Yuki! Sinta! Ayo! Jangan diem aja!"

Mereka bertiga hanya berdiri menatapnya. Ada sesuatu yang salah. Detik itu juga, dunia seakan membeku lebih dingin dari sebelumnya.

Lalu—SHRTTT!

Rasa panas meledak di perutnya. Pisau menembus dari belakang sampai terasa dingin logamnya menyentuh tulang.

"Ahkkk—!"

Ali ternganga, napasnya terhenti. Darah merah pekat tumpah ke salju putih. Arman membisik di telinganya.

"Dunia ini gak butuh orang kayak lo, Ali."

Pisau ditarik dengan kasar. Tubuh Ali langsung terhuyung. Lututnya jatuh ke salju yang dinginnya menusuk seperti gigitan besi.

"Sinta! Ambil kuncinya!" teriak Arman.

Sinta mendekat dengan tangan gemetar. Tidak berani menatap wajah Ali, ia merogoh kantong jaket Ali dan mengambil kunci gudang persediaan yang menyimpan roti kering, kaleng ikan, sisa nasi beku. Semua yang tersisa.

Arman menyeringai. "Selamat tinggal, pahlawan."

Ali memaksa menoleh pada Yuki. Satu-satunya orang yang dulu ia percaya. Yang ia pikir akan selalu di sisinya.

Yuki menunduk. Tidak mengatakan apa pun. Hanya satu tetes air mata jatuh, membentuk bintik kecil di salju.

"Yu … ki … kenapa …?"

Yuki menggigit bibir, suaranya pecah tapi tetap melangkah mundur.

"Maaf, Ali … kita cuma mau hidup."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau yang menikamnya barusan.

Mereka bertiga lalu berbalik kabur tanpa menoleh lagi. Membiarkan Ali tergeletak di tengah gerombolan para zombie yang mulai mendekat.

Makhluk-makhluk itu langsung menggeram lebih keras, merasakan darah hangat yang menetes. Mereka menyerbu seperti binatang liar.

Zombie pertama langsung menubruknya, gigi-giginya mengeras, tangan-tangannya mencengkeram baju pemuda malang itu.

Rasa dingin menggigit kulitnya. Dunia berputar. Tubuhnya semakin berat. Napasnya tersendat, pandangannya mulai menggelap.

"Mama … Ayah … Mira …"

Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

"Aku … akhirnya bisa nyusul kalian, ya …?"

Ia tersenyum, merasa hancur dan pasrah.

"Maaf … aku telat …"

Geraman dari para zombie menyeruak dari segala arah. Nafas terakhirnya nyaris padam.

Namun tiba-tiba—

[DING!]

Cahaya biru melesat dari kehampaan. Panel holografik muncul, melayang di depan wajah Ali.

[System Archive mendeteksi Host akan segera mati. Apakah Anda ingin mengarsipkan ingatan kehidupan Anda sebelum regresi?]

[Yes]   [No]

Ali menatap panel itu dengan mata setengah tertutup, darah mengalir dari sudut bibirnya.

Jantungnya berdetak sekali—berat, lambat.

"… Apa ini halusinasi?"

Tapi jarinya tetap bergerak. Ia memilih [Yes]

[DING! Rollback temporal dimulai … 10 tahun ke masa lalu.]

Segala suara lenyap. Dunia memudar. Cahaya biru menyapu semua, seperti gelombang laut yang menghapus jejak kaki terakhir di pantai. Kegelapan menelan dunia itu untuk terakhir kalinya.

Lalu—

Cahaya putih membelah kegelapan seperti ledakan. Ali terbangun dengan tarikan napas brutal seperti baru ditarik dari neraka.

"Hah … hah—!!"

Tangan kanannya refleks mencari parang. tangan kirinya mencari darah di perut.

Namun, semuanya tidak ada. Yang ada hanyalah kamar lamanya. Langit-langit putih sederhana.

Lemari kayu usang, meja yang ia hafal tiap goresannya, buku-buku lama, serta poster VR Game di dinding.

Ia mengangkat tubuhnya dengan susah payah, jantungnya berdetak tak teratur. Ali menelan ludah dengan tenggorokan yang sakit. Tangannya gemetar saat meraih kalender.

2050. 

Angka itu seperti palu yang menghantam dadanya.

"Apa gue bener-bener mengalami regresi …?"

Tubuhnya membeku. Ingatan berputar cepat, bercampur antara kematian dan hidup yang seharusnya tak ada lagi.

Ketika Ali masih menahan nafas, suara langkah ringan terdengar dari luar. Aroma nasi goreng masuk bersama desir angin. Pintu berderit pelan.

Lalu pintu kamarnya terbuka.

"Ali … bangun nak, mama bikin nasi goreng, ayo makan dulu—"

Tubuh Ali langsung mematung. Ia menoleh perlahan … sosok itu berdiri di ambang pintu dengan daster sederhana, senyumnya sama seperti yang diingatnya.

Dunia di sekitarnya seolah lenyap. Hanya wajah itu … wajah yang ia pikir tak akan pernah melihatnya lagi.

"Mama …" bibirnya bergetar.

Ratna menatapnya heran, keningnya sedikit berkerut. Namun belum sempat ia bertanya, Ali sudah berlari dan memeluknya erat-erat.

"Mama …!" suaranya pecah. Air mata tumpah. Tangisnya tersengal, membuat tubuhnya bergetar di pelukan sang ibunda.

Ratna terkejut. Tangannya sempat terangkat kikuk, seakan tak tahu harus berbuat apa. Tapi perlahan, satu tangan kirinya menahan di pundaknya, sementara tangan kanannya mengusap kepala putranya lembut, seperti dulu saat ia kecil.

"Mama … jangan pergi lagi …" bisik Ali dengan napas tersengal-sengal.

Ratna menarik napas panjang, lalu memegang wajah putranya itu. Suaranya lirih penuh kasih.

"Ali … kamu mimpi buruk, ya? Tenang nak … mama di sini. Mama nggak pergi kemanapun. Sudah, ayo kita makan bersama. Mama masak nasi goreng kesukaanmu."

Bibir Ali bergetar, hanya mampu membalas dengan suara parau.

"Iya, Ma …"

Dan untuk pertama kalinya sejak dunia hancur, Ali merasa hangat.

Hangat yang nyaris ia lupakan.

Hangat yang akan ia lindungi, berapa pun harga yang harus ia bayar.

Lanjut membaca
Lanjut membaca