Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
RAFFI Bermimpi menjadi orang kaya

RAFFI Bermimpi menjadi orang kaya

Arys24 | Bersambung
Jumlah kata
83.6K
Popular
451
Subscribe
61
Novel / RAFFI Bermimpi menjadi orang kaya
RAFFI Bermimpi menjadi orang kaya

RAFFI Bermimpi menjadi orang kaya

Arys24| Bersambung
Jumlah Kata
83.6K
Popular
451
Subscribe
61
Sinopsis
18+PerkotaanAksiSupernaturalKekuatan SuperHarem
Raffi, anak yang di tinggal kedua orang tuanya, ketika masih kecil, harus hidup sendiri. Hidup dari belas kasihan para tetangganya. bermimpi menjadi orang kaya. Lalu sampai suatu saat Raffi menemukan sebuah keris pusaka yang akan mengubah nasibnya...
Bab 1. Raffi

Matahari siang masih terasa panas ketika bel sekolah dasar dibunyikan. Anak-anak berhamburan keluar, sebagian bersorak gembira karena pelajaran hari itu usai. Di antara mereka ada seorang bocah berusia sembilan tahun, tubuhnya kecil dan kulitnya kecokelatan karena sering bermain di lapangan. Namanya Raffi.

Dengan langkah riang, ia pulang menyusuri jalan setapak berdebu menuju rumahnya yang sederhana, berdinding papan dengan teras kecil dari bambu. Namun, begitu sampai di depan rumah, langkahnya terhenti.

Dari dalam, terdengar suara keras—suara yang sudah terlalu sering ia dengar.

“Aku juga ingin bantu keluarga ini, Bang!” suara perempuan itu, lantang tapi bergetar. Itu suara ibunya, Siti.

“Kau diam saja di rumah! Aku yang cari uang! Jangan macam-macam, Siti!” bentak ayahnya, Herman, suara beratnya memecah udara.

Raffi berdiri kaku. Ia ingin masuk, ingin meletakkan tasnya, ingin merasakan air dingin di tenggorokannya. Tapi tubuhnya seolah membeku. Hatinya kecil, takut akan teriakan itu. Ia memilih duduk di teras bambu yang dingin, memeluk lututnya erat.

Dari celah dinding kayu, suara pertengkaran makin jelas.

“Bagaimana bisa kau larang aku kerja? Kau sendiri baru saja dipecat karena mabuk di jam kerja! Apa kau tak malu, Bang?” Suara Ibu meninggi, kini nyaris pecah oleh tangis.

“Kau berani menghina aku?! Aku kepala rumah tangga!” Ayah membanting sesuatu, suara piring pecah terdengar.

Raffi menutup telinganya dengan kedua tangan. Tapi suara itu tetap menembus, menusuk-nusuk hatinya. Ia ingin berteriak, ingin berkata agar mereka berhenti. Namun lidahnya kelu.

Di teras bambu, bocah kelas tiga SD itu hanya bisa duduk, menatap tanah, menahan air mata yang hampir jatuh. Dunia kecilnya terasa berguncang, sementara ia belum mengerti mengapa orang tuanya harus saling menyalahkan.

Suara langkah berat menggetarkan lantai papan. Tak lama kemudian, pintu kayu itu berderit keras. Herman keluar, wajahnya masam, keringat bercampur amarah.

Sesaat matanya bertemu dengan pandangan kecil Raffi yang duduk di teras bambu. Ada keheningan singkat—seperti ada kata-kata yang ingin terucap, tapi tertahan. Namun tanpa sepatah kata pun, ayah itu melangkah pergi, meninggalkan bau alkohol samar yang menyengat.

Pintu kembali berderit. Kini giliran Siti yang keluar, wajahnya merah dan matanya sembab. Dengan suara tinggi ia masih berteriak, meski yang dituju sudah tak ada. “Dasar lelaki tak tahu diri!”

Ketika matanya menunduk, ia terkejut mendapati sosok kecil di teras. “Raffi… kamu sudah pulang?” suaranya melembut seketika, berbeda jauh dari tadi.

Raffi hanya mengangguk pelan, memeluk tas lusuhnya.

Siti menarik napas panjang, lalu mengusap pipinya. Ia menepuk bahu anaknya lembut. “Masuk, Nak. Ayo makan dulu.”

Di dapur kecil yang beraroma asap kayu, ia membuka bakul anyaman. Isinya hanya sepiring nasi putih yang mulai dingin, selembar saset kecap murah, dan sedikit garam di toples kecil.

Tanpa ragu, Siti menyiapkan piring untuk Raffi. Nasi dituang, ditaburi garam, lalu ditetesi kecap seadanya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kesedihannya. “Makanlah, Nak.”

Raffi menatap piring sederhana itu. Tidak ada lauk, tidak ada sayur. Tapi ia tak bertanya, tak mengeluh. Ia sudah terbiasa. Dengan hati-hati, ia menyuap nasi itu ke mulutnya.

Rasanya asin dan manis bercampur jadi satu, sama seperti hari-hari yang ia jalani—pahit tapi tetap ditelan tanpa protes.

Raffi mengunyah perlahan, menatap nasi di piringnya yang hanya diberi kecap dan garam. Setiap suapan terasa kosong, tapi ia tetap menelan, seakan-akan lidahnya sudah terbiasa menerima apa pun yang disajikan.

Sesekali ia melirik ibunya. Siti duduk di seberang, berpura-pura sibuk merapikan meja yang sebenarnya tak ada yang perlu dirapikan. Senyum tipisnya berusaha menutupi sisa tangis di wajah.

Hati kecil Raffi bergetar. Ia tahu ibunya lelah. Ia tahu ibunya ingin membuat hidup mereka lebih baik, tapi selalu terbentur amarah ayah. Ia terlalu kecil untuk memahami semuanya, tapi cukup peka untuk merasakan sakit yang bersemayam di balik mata ibunya.

“Bu…” Raffi ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan. Yang keluar hanya suara lirih, “Makan juga, Bu.”

Siti tersenyum samar, lalu menggeleng. “Ibu sudah kenyang, Nak. Kamu saja yang makan. Biar kuat.”

Raffi menunduk lagi. Ia tahu ibunya berbohong. Tentu ibunya belum makan. Tapi bocah kelas tiga SD itu memilih diam.

Dalam hati, ia berjanji: suatu hari nanti, ia ingin membuat ibunya benar-benar kenyang. Tidak lagi berpura-pura, tidak lagi menahan lapar.

Suapan nasi itu terasa berbeda kali ini—ada tekad kecil yang tumbuh bersama dengan rasa asin dan manis sederhana di mulutnya.

Usai menghabiskan sepiring nasi sederhana itu, Raffi menutup tangan dan berdoa pelan, seperti yang diajarkan gurunya di sekolah. Ia lalu beranjak ke kamar kecilnya, mengganti baju seragam dengan kaos tipis yang sudah memudar warnanya.

Teman-temannya di luar mungkin sedang berlarian di lapangan, bermain kelereng atau petak umpet bahkan main ponsel. Tapi Raffi tidak bergabung. Ia duduk di lantai, membuka buku tulis lusuh yang sampulnya sudah terkelupas. Tulisan tangannya rapi, huruf demi huruf tersusun hati-hati—lebih rapi dari kebanyakan anak seumurannya. Di sana ada catatan pelajaran, ada coretan mimpi kecil yang ia tulis sendiri.

Pensil di tangannya bergerak perlahan, menulis kalimat sederhana yang ia pelajari di sekolah tadi. Tapi telinganya tak bisa berbohong.

Dari balik tirai tipis yang memisahkan kamar dan ruang depan, terdengar suara isakan. Ibunya. Lagi.

Raffi menunduk, menahan napas. Suara itu begitu familiar, seakan menjadi bagian dari hidup sehari-harinya. Entah sudah berapa kali ia mendengar ibunya menangis.

Ia ingin keluar, ingin memeluk ibunya. Namun tubuh kecilnya hanya bisa diam. Seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi langkahnya.

Pensil di tangannya berhenti. Lembar buku itu tetap terbuka, tapi matanya kosong. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: mengapa rumah yang seharusnya jadi tempat pulang justru dipenuhi air mata?

Sore mulai merayap ketika kelopak mata kecil Raffi akhirnya tertutup. Ia tertidur di atas lantai beralas tikar, dengan buku tulis masih terbuka di sampingnya.

Entah berapa lama ia lelap, sampai akhirnya terbangun. Suasana rumah begitu sepi, terlalu sepi.

Raffi bangkit, mengucek matanya. Ia melangkah keluar kamar. “Bu…” panggilnya lirih. Tidak ada jawaban.

Ia menuju dapur. Kosong. Hanya ada panci dingin yang sudah tak berisi. Ayahnya pun tak ada. Rumah terasa hampa.

Hatinya mulai gelisah. Nafasnya terasa berat. Dengan langkah cepat ia keluar rumah, matanya menyapu jalan kampung pinggiran kota. Lalu ia berlari, menyusuri jalan setapak menuju jalan raya.

Dan di sanalah ia melihatnya. Dari kejauhan, Siti menaiki sebuah angkot, membawa tas besar di tangannya.

Raffi terhenti, dadanya sesak. Lalu ia berlari sekencang-kencangnya, air matanya tumpah tanpa bisa ditahan.

“Buuuuu…!!! Aku ikut!!!” suaranya pecah, menggema di sepanjang jalan.

Namun roda angkot sudah berputar, perlahan menjauh, meninggalkan bayangan kecil yang terus berlari mengejarnya.

Raffi jatuh tersungkur di jalan berdebu, tangisnya pecah, mengguncang tubuh mungilnya. Dalam hatinya, ia hanya bisa bertanya: Ibu mau kemana? jangan tinggalin Raffi Bu!

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca