Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Satgas Bayangan

Satgas Bayangan

SuSei | Bersambung
Jumlah kata
52.7K
Popular
100
Subscribe
8
Novel / Satgas Bayangan
Satgas Bayangan

Satgas Bayangan

SuSei| Bersambung
Jumlah Kata
52.7K
Popular
100
Subscribe
8
Sinopsis
18+PerkotaanAksiMisteriDetektifThriller
Empat pria berbakat, Ricky, Ruslan, Bagas, dan Malih, direkrut oleh satuan elit kepolisian sebagai Satgas Bayangan untuk menjalankan misi rahasia di berbagai negara dan dimensi. Dengan kemampuan unik masing-masing, mereka harus menghadapi tantangan penuh aksi dan misteri, serta menguak konspirasi yang mengancam dunia.
Tawaran kerja

Suatu lagi dikala langit masih abu-abu, sisa-sisa hujan semalam menggantung di udara. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota yang porak-poranda oleh bencana beberapa tahun silam, Ricky tampak sibuk.

Satu tangan memegang botol susu, tangan lain menyisir rambut anak bungsunya yang terus bergerak. Dua anak lainnya sudah berdiri di dekat pintu, memakai seragam TK lengkap dengan tas bergambar dinosaurus dan tokoh kartun kesayangan.

“Jangan lupa beli minyak goreng, bawang, dan sabun cuci, ya,” kata istrinya dari dapur sambil mengguncang termos air panas. Suaranya lembut, tapi tegas.

“Iya, iya,” jawab Ricky cepat. Ia tersenyum, meski pikirannya tak tenang.

Dalam kepalanya, angka-angka mulai menari. Sisa uang di dompet hanya seratus lima puluh ribu. Harga-harga naik sejak bencana, dan kebutuhan anak-anak tidak bisa ditunda. Ia mencatat pesanan di ponsel, lalu memanggul tas anak bungsunya dan menggiring ketiganya keluar rumah.

Motor yang dulunya mengilap dan jadi andalan, sekarang sering ngadat. Hari ini pun, butuh tiga kali tendangan sebelum mesin batuk dan menyala. Ricky menghela napas.

Dulu, ia tinggal di rumah tingkat tiga, punya tabungan, dan hidup senang. Sekarang, rumah sederhana ini adalah hasil dari bantuan pemerintah.

Ia tidak menyesal maupun putus asa. Tapi hari-hari seperti ini membuat dadanya berat. Menjadi kepala keluarga, tanpa pekerjaan tetap, tanpa jaminan besok bisa makan enak, membuat setiap pagi terasa seperti pendakian panjang. Tapi melihat anak-anaknya tertawa kecil di boncengan, mengucapkan salam ceria pada ibu-ibu tetangga yang lewat, membuat semuanya sedikit lebih ringan.

Motor bergerak pelan, membawa Ricky dan tiga anaknya menuju sekolah. Di sakunya, secarik catatan belanja berdesakan dengan kwitansi-kwitansi lama. Dan di dadanya, ada semangat yang tak mau mati, sekalipun dunia seperti sedang mengujinya habis-habisan.

Setelah memastikan tiga harta dunianya masuk ke dalam kelas, ia pergi untuk membeli pesanan istrinya.

Ricky berdiri di depan kasir minimarket, menggenggam erat beberapa kantong plastik berisi minyak goreng, bawang, sabun cuci, dan satu pak mi instan tambahan yang ia ambil di menit terakhir karena tahu anak-anak suka itu.

“Totalnya seratus lima puluh lima ribu, Pak,” ujar kasir muda dengan senyum sumringah, mungkin terkesan dengan wajah Ricky yang masih ganteng maksimal.

Ricky mengeluarkan uang dari dompetnya, selembar seratus dan satu lembar lima puluh. Tangannya berhenti, memeriksa saku celana, dompet kecil di motor, bahkan celah-celah di sela uang logam, namun tak ada yang bisa menambal kekurangannya.

Lima ribu. Hanya lima ribu. Tapi baginya saat itu, angka itu seperti tembok tinggi yang menutup semua jalan keluar.

Ricky memejamkan mata sejenak. Dada terasa sesak, bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang membelit. Di belakangnya sudah ada antrean. Ia merasa seperti tertelanjangi oleh kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Lalu, sebuah tangan menepuk pundaknya. Lembut tapi tegas.

“Ricky?”

Ricky menoleh. Seorang pria berseragam rapi berdiri di belakangnya. Wajahnya bersih, rambutnya mulai memutih di pelipis. Seketika Ricky mengenalnya.

“Eh, Pak Andika?” suara Ricky nyaris tercekat.

“Lama nggak ketemu, ya,” jawab pak Andika sambil tersenyum. Ia langsung merogoh saku dan menambahkan lima ribu yang kurang, kemudian menepuk bahu Ricky lagi dengan hangat. “Sudah, lanjut saja. Nanti kita ngobrol di luar.”

Ricky menyelesaikan transaksi dengan rasa campur aduk antara malu, lega, dan bingung. Di luar minimarket, mereka berdiri di sisi parkir motor, di bawah pohon kersen yang daunnya basah oleh embun.

“Aku kira kamu masih kerja di kantor apalah itu,” kata Pak Andika membuka percakapan.

Ricky menggeleng. “Sejak bencana itu, semuanya habis, Pak. Sekarang cuma ojek pangkalan, kadang bawa barang kalau ada yang nyuruh.”

Pak Andika mengangguk pelan. Wajahnya tampak berpikir. Lalu ia menatap Ricky dalam-dalam.

“Kami lagi butuh orang di tim penyidik untuk beberapa tugas non-formal. Seseorang yang bisa jalan diam-diam, tahu jalanan, dan bisa dipercaya. Bukan jadi polisi, tapi jadi mata dan telinga di lapangan. Aku langsung kepikiran kamu.”

Ricky terdiam, dadanya seperti dipukul pelan oleh kata-kata itu.

“Kalau kamu tertarik, datang ke alamat ini,” ujar pak Andika sambil menyodorkan secarik kartu nama dan tulisan tangan kecil di belakangnya. “Senin pagi. Jangan bilang siapa-siapa dulu.”

Ricky menatap kartu itu. Hujan mulai turun rintik. Tapi dalam dadanya, ada nyala kecil yang kembali hidup, seperti sebuah kemungkinan. Sebuah arah. Bukan sekadar soal pekerjaan, tapi tentang martabat yang sempat nyaris ia kubur dalam kesunyian.

Beberapa jam setelah pertemuannya dengan Ricky, pak Andika duduk di dalam mobil dinasnya yang terparkir tenang di pinggir jalan sempit, tak jauh dari kawasan pemukiman padat. Pria itu telah naik pangkat menjadi seorang jendral, dari yang dulunya hanya seorang bawahan.

Di seberang jalan, sebuah rumah petak berdinding triplek dan batu bata tampak kusam diterangi lampu redup dari dalam. Tak lama kemudian, pintunya terbuka dengan bunyi berderit. Seorang pria bertubuh tegap keluar tergesa, disusul suara bentakan keras dari dalam rumah.

“Bagas, ingat, ya! Jangan pulang kalau tangan kosong,” teriak suara perempuan dari dalam dengan nada marah yang memekakkan telinga.

Bagas, yang berdiri di trotoar dengan wajah hampa, tidak menjawab. Ia hanya duduk di pinggir jalan, menatap kosong ke ujung gang, mengelus rambutnya yang kusut. Guratan bekas luka di lehernya menunjukkan jejak perjuangan di masa lalu.

Dahulu ia seorang bintara polisi penuh wibawa dan semangat. Namun sejak memilih keluar dari institusi demi menikah dan memenuhi keinginan keluarga sang istri, hidupnya seolah jatuh bebas. Usahanya bangkrut, tak ada pekerjaan tetap, dan harga dirinya terinjak setiap hari oleh tuntutan mertua dan bentakan istri.

Dari mobil, pak Andika memperhatikannya sebentar sebelum akhirnya keluar dan menyebrang. Suara langkah sepatunya memecah malam yang mulai sunyi.

“Bagas.”

Bagas mendongak. Sejenak matanya menyipit, mencoba mengenali sosok di hadapannya. Lalu raut wajahnya berubah.

“Pak Andika?” serunya. “Astaga, Pak! Saya nggak nyangka bertemu bapak di sini...”

Mereka berjabat tangan erat, dan seketika raut letih di wajah Bagas tersingkir oleh senyuman tulus. Ia berdiri, sedikit kikuk, tetapi matanya berbinar.

“Bapak sehat? Lama banget sejak terakhir saya ketemu Bapak. Dulu waktu saya resign itu... saya kira saya sudah ambil keputusan benar, tapi...” Ia tertawa kecil, getir. “Sekarang malah hidup saya kayak begini, Pak. Terlunta. Istri saya... ah, Bapak tadi juga dengar, ya?”

Pak Andika tersenyum tipis. “Saya cuma mampir, Bagas. Tapi kelihatannya kamu masih punya semangat itu. Semangat lama.”

Bagas menghela napas. “Kalau boleh jujur, Pak... saya nyesel keluar dari institusi. Saya kira hidup sipil lebih bebas. Nyatanya saya malah diinjak-injak. Dulu saya disegani. Sekarang... saya cuma beban di mata keluarga istri.”

Andika menyelipkan tangan ke saku jaketnya, lalu mengeluarkan kartu nama dan secarik kertas kecil. Ia menyodorkannya ke Bagas.

“Saya sedang bentuk tim kecil. Di luar struktur resmi. Kerja lapangan, penyelidikan. Saya butuh orang yang tahan banting, ngerti prosedur, tapi nggak terlalu terikat birokrasi. Sama seperti yang dulu kamu tunjukkan.”

Bagas menerima kertas itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia membaca alamat yang tertera, lalu menatap mantan atasannya itu dengan mata bersinar.

“Saya siap, Pak. Demi Tuhan, saya siap. Kapan dan di mana saja, saya datang. Ini seperti jalan pulang buat saya.”

Andika menepuk bahunya. “Senin pagi. Jangan telat.”

Bagas mengangguk cepat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa bernapas lega. Di belakang mereka, suara omelan dari dalam rumah masih terdengar, namun hari itu Bagas tak lagi merasa ditelan oleh kegelapan. Ia punya arah. Ia punya kesempatan. Ia akan bangkit.

Sore menjelang. Langit berwarna jingga lembut saat Pak Andika kembali menyetir mobilnya menyusuri jalan kecil di pinggiran kota. Ia menghentikan kendaraan di depan sebuah rumah sederhana berdinding kayu dan semen kasar. Di halamannya yang sempit, berjejer tampah-tampah besar berisi rengginang yang dijemur. Aroma khas nasi kering tercium samar-samar di udara.

Di tengah halaman, seorang pria berperawakan tegap namun berwajah teduh tengah membolak-balikkan jemuran dengan telaten. Pakaiannya sederhana, tangan dan lengannya penuh bekas panas matahari. Pria itu adalah Ruslan, mantan anak buah Pak Andika ketika masih aktif bertugas.

Pak Andika turun dari mobil, berjalan mendekat dengan senyum lebar.

“Masih dengan rengginangnya, Lan?”

Pria bernama Ruslan mendongak. Wajahnya sempat terkejut, lalu berubah jadi senyum yang sedikit kaku namun tulus. “Pak Andika...? Ya Allah, saya nggak nyangka. Sudah lama banget, Pak.”

Mereka bersalaman erat. Ada rasa hangat dan sedikit canggung di antara mereka, seperti sahabat lama yang tak tahu harus memulai dari mana.

“Saya lagi lewat sini, sengaja mampir. Dengar-dengar kamu tinggal di sini sekarang,” kata Pak Andika sambil melihat-lihat tampah yang dijemur.

Ruslan mengangguk pelan. “Iya, Pak. Setelah orang tua saya sakit parah, saya putuskan resign buat rawat mereka. Waktu itu saya pikir... saya bisa balik kerja atau usaha sendiri setelahnya. Tapi nyatanya, semua nggak semudah itu.”

“Kenapa?”

Ruslan menarik napas panjang. “Ada satu orang, Pak. Mantan pacar saya, ayahnya pejabat. Dulu saya pernah menolak menikah karena tahu hubungan itu nggak sehat. Tapi sejak itu, saya kayak dimatiin jalur hidupnya. Beberapa kali melamar kerja, nama saya seperti dibekukan. Ada yang bilang 'nggak cocok', ada juga yang mendadak hilang kontak setelah panggilan wawancara.”

Pak Andika mendengarkan dengan raut prihatin.

“Sekarang ya beginilah, Pak. Jual rengginang. Kadang dapat pesanan, kadang sepi. Tapi ya... saya tetap jalanin. Walau hati kadang capek juga.”

Pak Andika diam sejenak, lalu merogoh saku dan menyerahkan kertas alamat yang sama seperti sebelumnya. Ia menatap Ruslan dengan pandangan yakin.

“Begini, saya bentuk tim kecil. Bukan di bawah struktur resmi, tapi kerjaan serius. Pengawasan, penyelidikan. Saya butuh orang yang saya percaya, yang tahu lapangan dan punya hati. Kamu salah satunya.”

Ruslan mematung sejenak, lalu menerima kertas itu dengan kedua tangan. Matanya memerah. Ia mencoba bicara, tapi bibirnya bergetar.

“Terima kasih, Pak. Saya... saya udah lama banget nggak dengar seseorang percaya sama saya. Apalagi dari Bapak...” Suaranya pecah, air mata mengalir di pipi. Ia menyeka buru-buru tapi tak bisa menghentikannya.

“Terima kasih, Pak. Saya mau. Saya akan datang. Saya akan datang tepat waktu.”

Pak Andika menepuk pundaknya dengan lembut. “Senin pagi. Datang bawa semangat yang dulu pernah kamu tunjukkan. Itu cukup.”

Ruslan mengangguk, masih menahan isak. “Siap, Pak. Terima kasih... ini lebih dari yang saya harapkan dalam hidup saya sekarang.”

Sore itu, di antara rengginang yang dijemur dan langit yang meredup, harapan baru kembali tumbuh. Tak seperti tugas resmi berseragam, tapi seperti jalan pulang bagi Ruslan, juga bagi orang-orang yang sempat dilupakan.

Senja mulai berganti malam ketika mobil Pak Andika memasuki gang sempit yang dipenuhi deretan bengkel dan toko onderdil. Lampu-lampu jalan mulai menyala redup, dan aroma oli, besi terbakar, serta asap knalpot menggantung di udara. Di salah satu bengkel kecil dengan papan nama nyaris copot, terdengar dentingan logam dan suara mesin yang dicoba dinyalakan.

Di sana, seorang pria muda dengan rambut biru kusut dan pakaian penuh noda oli tengah jongkok, memperbaiki motor tua yang sudah berkarat. Wajahnya tampak serius, tapi ada jejak letih yang dalam di matanya.

Itulah Malih, mantan polisi yang dulu dikenal sebagai sosok ceria namun runtuh setelah ditinggal menikah oleh kekasihnya. Kala itu, ia bahkan sempat mencoba mengakhiri hidupnya karena patah hati dan kehilangan arah.

Mobil Pak Andika berhenti tepat di depan bengkel. Begitu melihat sosok yang keluar dari dalam mobil, Malih sontak berdiri kaget, hampir menjatuhkan kunci inggris dari tangannya.

“Pak... Pak Andika?” suaranya serak.

Pak Andika mendekat, tersenyum hangat. “Masih ingat saya?” tanyanya sembari mengulurkan tangan.

“Ya ampun, tentu saja ingat, Pak! Astaga... saya...” Malih tergagap, bingung mau menyeka tangan atau menyembunyikannya. “Tangan saya kotor, Pak. Nggak enak kalau salaman.”

Pak Andika justru tertawa kecil dan meraih pundaknya. “Tidak apa-apa. Saya datang bukan buat inspeksi.”

Malih tertunduk, tersenyum malu. “Hidup saya berantakan sejak keluar dulu, Pak. Dulu saya kira keluar dari kepolisian bisa bikin saya sembuh. Tapi nyatanya... saya sempat hilang arah. Hampir nekat. Tapi akhirnya saya coba mulai lagi. Ini bengkel bos saya, walau penghasilannya kecil... saya usahakan buat hidup.”

Pak Andika mengangguk perlahan, lalu kembali mengeluarkan kertas kecil dan kartu nama dari saku jaketnya.

“Aku butuh kamu, Lih. Ada kerjaan, bukan di bawah institusi resmi, tapi penting. Discret, diam-diam yang cocok untuk kamu. Gimana?”

Malih terpaku. Tangannya gemetar menerima kertas itu. Dan tiba-tiba saja, mata yang tadinya malu itu berubah sayu, lalu basah. Ia melangkah maju dan memeluk Pak Andika erat, tubuhnya menggigil karena tangis.

“Terima kasih, Pak... terima kasih... Saya pikir saya sudah dilupakan semua orang... Saya pikir hidup saya cuma begini selamanya...” isaknya tertahan.

Pak Andika menepuk punggungnya sambil tertawa kecil. “Sudah, jangan drama. Senin pagi datang ke alamat itu. Jangan pakai baju bengkelmu, ya.”

Malih mengangguk cepat sambil menyeka air mata dan ingus dengan ujung bajunya. “Siap, Pak. Siap. Terima kasih... terima kasih...”

Pak Andika melangkah pergi, naik kembali ke mobilnya. Tapi kali ini, wajahnya memancarkan senyum yang lain, senyum lega. Senyum penuh harapan. Ia tahu, ini bukan sekadar perekrutan. Ia sedang mengumpulkan kembali serpihan jiwa-jiwa tangguh yang pernah tumbang dan memberi mereka kesempatan untuk berdiri kembali.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca