

“Tutup semua akses, Ren. Aku tidak mau ada satu pun sipil yang tahu. Bahkan pers sekalipun.”
Suara Kapten Bagas Prasetya terdengar rendah, nyaris berbisik, tetapi ketegasan di dalamnya terasa menusuk di tengah keheningan malam yang pekat. Ia berdiri di ambang pintu rumah dinas Blok C Nomor 12, kompleks perumahan purnawirawan Angkatan Udara Anggara.
Letnan Rendra Wiratama, sahabat sekaligus perwira Polisi Militer (POM) yang tegap, mengangguk cepat. Helm POM-nya yang mengilat memantulkan cahaya lampu jalan yang remang-remang.
“Sudah, Gas. Area ini steril. Mayor Arga sendiri yang memerintahkan penutupan total, bahkan sebelum kamu tiba,” jawab Rendra, matanya memancarkan kegelisahan yang jarang ia tunjukkan. “Masalahnya, ini bukan kasus wajar.”
Bagas melangkah masuk. Ia tidak mengenakan seragam dinas, hanya kemeja hitam polos dan celana taktis. Perwira intelijen udara ini memiliki kemampuan unik untuk menghilang dalam keramaian, namun malam ini, kehadirannya justru menarik perhatian bahkan dari rekan-rekan militer yang menjaga perimeter.
Ruangan tengah rumah itu sunyi, dingin. Bau lavender dan kematian bercampur aneh di udara. Di atas sofa kulit tua, Mayor (Purn) Suryo Nugraha, ahli navigasi senior yang pensiun lima tahun lalu, duduk tegak. Ia tampak seolah sedang membaca buku, kacamata bertengger di hidungnya, dan majalah penerbangan terbuka di pangkuan. Wajahnya damai, terlalu damai.
“Pukul berapa ditemukan?” tanya Bagas, tanpa menyentuh apa pun, hanya memindai ruangan dengan mata tajamnya.
“Sekitar pukul delapan malam. Anaknya, Bimo, curiga karena Ayahnya tidak menjawab panggilan makan malam. Bimo bilang, beliau terlihat ‘tertidur’ di sana sejak Magrib,” jelas Rendra, menunjuk ke arah tubuh kaku itu.
Bagas mendekat. Ia mengamati posisi korban. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada darah, tidak ada barang yang hilang. Dompet tergeletak di meja samping, berisi kartu identitas dan uang tunai. Ini bukan perampokan. Ini adalah eksekusi yang rapi.
“Laras sudah datang?”
“Dr. Laras sedang dalam perjalanan dari RS Militer. Dia akan menangani autopsi. Aku sudah meminta tim forensik standar untuk tidak menyentuh jenazah sampai dia tiba,” kata Rendra, menunjukkan bahwa ia memahami protokol intelijen Bagas.
Bagas membungkuk sedikit, memperhatikan detail terkecil. Di balik telinga kanan Suryo Nugraha, ia melihat sedikit perubahan warna kulit seperti memar halus, nyaris tak terlihat. Hanya mata terlatih yang bisa menangkapnya.
“Luka listrik halus?” gumam Bagas.
“Apa, Gas?”
“Tidak ada. Ren, korban ini dibunuh secara profesional. Racun atau metode yang melumpuhkan sistem saraf. Ini pekerjaan orang terlatih, bukan amatir.” Bagas menegakkan badan, pandangannya menyapu bingkai-bingkai foto keluarga di dinding. Foto-foto kejayaan militer Suryo Nugraha, dengan latar pesawat tempur F-16.
Tiba-tiba, telepon satelit Bagas bergetar. Layar menunjukkan ID Mayor Arga Satriyo.
Bagas menjauh sedikit dari Rendra, menerima panggilan itu.
“Siap, Dan.”
“Bagas, bagaimana situasinya di sana?” Suara Mayor Arga terdengar dingin dan terburu-buru, khas seorang komandan yang sedang menahan kepanikan institusional.
“Korban pertama, Mayor Suryo Nugraha, telah dikonfirmasi tewas, Dan. Tidak ada tanda perampokan. Metode eksekusi sangat bersih. Saya menduga ada keterlibatan militer aktif atau purnawirawan terlatih.”
Hening sejenak di seberang sana.
“Dengar baik-baik, Bagas. Kasus ini harus ditutup secepat mungkin. Media sipil tidak boleh mencium bau apa pun tentang pembunuhan di kompleks militer. Ini bisa merusak citra pangkalan kita,” tekan Arga. “Kamu fokus pada satu tersangka: orang luar. Cari jejak konflik pribadi. Jangan pernah sentuh masa lalu korban di Angkatan Udara. Paham?”
Bagas merasakan tekanan itu. Perintah untuk mengalihkan pandangan dari fakta yang jelas adalah instruksi yang paling dihindarinya. Namun, ia adalah perwira intelijen. Kepatuhan adalah topeng pertamanya.
“Siap, Dan. Akan saya tindak lanjuti sesuai perintah,” jawab Bagas datar.
“Bagus. Jaga Rendra agar tidak terlalu jauh melangkah. Dia Polisi Militer, dia terikat aturan, tapi dia juga emosional. Kamu yang mengendalikan benang merahnya. Laporkan langsung padaku, bukan pada Dewan Kehormatan. Paham?”
“Siap.”
Bagas menutup telepon. Ia kembali menatap Rendra, yang jelas-jelas menguping percakapan itu.
“Mayor Arga minta kita fokus pada konflik pribadi. Tidak boleh ada narasi pembunuhan militer,” jelas Bagas.
Rendra menghela napas kasar. “Itu omong kosong, Gas. Lihat, ini Komplek Anggara. Gerbang dijaga berlapis. Siapa orang luar yang bisa masuk dan membunuh purnawirawan navigasi tanpa jejak? Arga mencoba menutupi sesuatu.”
“Aku tahu, Ren,” balas Bagas. “Tapi kita adalah prajurit. Kita ikuti perintahnya di permukaan. Namun, penyelidikan intelijen berjalan secara terpisah.”
Bagas beralih ke meja kerja korban. Semua rapi. Tiga pena berjejer, buku harian ditutup, laptop dimatikan. Hanya ada satu kejanggalan: di samping tumpukan peta navigasi lama, ada sebuah buku catatan kecil, tersembunyi sebagian di bawah tumpukan kertas laporan penerbangan.
Bagas mengenakan sarung tangan forensik dan menarik buku catatan itu. Jari-jarinya yang cekatan membalik halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan rapi, berisi perhitungan navigasi dan beberapa kode yang tak ia kenali.
Rendra melihat Bagas begitu fokus, seolah dunia di sekelilingnya menghilang.
“Apa itu?” tanya Rendra.
“Buku harian, atau mungkin catatan misi lama,” jawab Bagas. Ia terus membalik hingga menemukan sebuah halaman yang seolah disobek paksa.
“Sial,” desis Bagas.
Tiba-tiba, pintu rumah diketuk. Seorang Sersan masuk dan berbisik tegang, “Kapten, ada berita darurat. Ditemukan mayat kedua. Komplek Anggara, Blok A. Letkol (Purn) Handoko Rachman.”
Kejutan itu membuat Rendra membeku. Dua purnawirawan tewas dalam satu malam, di kompleks yang sama, dengan cara yang sama-sama misterius. Ini bukan lagi kebetulan.
“Ren, kamu urus yang di Blok A. Aku tetap di sini sampai Dr. Laras datang,” perintah Bagas, suaranya kini kembali pada nada komando yang dingin.
“Siap, Kapten!” Rendra langsung bergerak, rasa kagetnya berubah menjadi kemarahan dingin.
Setelah Rendra pergi, Bagas kembali pada buku catatan di tangannya. Pembunuhan kedua menguatkan hipotesisnya: ini adalah pembersihan. Seseorang sedang menutup mulut para saksi hidup dari masa lalu militer yang kelam.
Bagas meneliti robekan di halaman buku catatan itu. Pelaku pasti tahu apa yang mereka cari dan berhasil mengambilnya. Namun, seperti layaknya pekerjaan tergesa-gesa, selalu ada sisa.
Bagas menyadari, ia tidak sedang mengusut pembunuhan individu, melainkan warisan kelam yang dikubur selama dua puluh tahun. Ia tahu, kata ‘Langit’ ini akan membawanya ke dalam pusaran yang ia sendiri pernah coba lupakan.
Pintu terbuka. Dokter forensik militer, Laras Ayuningtyas, masuk, wajahnya profesional dan dingin, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Ia berhenti di ambang pintu, menatap Bagas.
Bagas menyimpan potongan kertas robek itu ke dalam amplop bukti kecil, sadar bahwa kebenaran di balik kertas robek ini akan menguji loyalitasnya sebagai seorang prajurit. Langit malam di luar terasa semakin mencekam.
Langit yang dulu menjadi saksi kejayaan kini menampung darah dan dusta.
Dan bagi Bagas, mengungkap kebenaran berarti menantang rekan sendiri serta bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar padam.