

Jakarta Selatan selalu ramai, bahkan setelah matahari tenggelam. Tapi malam ini jalanan lebih lengang dari biasanya. Jay duduk di belakang kemudi motor tuanya yang sudah lama tidak ia rawat. Catnya kusam, tapi mesinnya masih cukup kuat untuk berputar dari satu klien ke klien lain.
Dia melirik layar ponselnya sekilas saat berhenti di lampu merah. Nama pengirim terakhir masih tertera. Valerie. Tidak ada nama belakang. Tidak ada basa-basi. Hanya koordinat apartemen, jam kedatangan, dan satu kalimat pendek. "Saya butuh personal trainer privat. Malam ini bisa?"
Bukan hal asing. Klien kaya biasanya suka seenaknya. Tapi jarang yang menghubungi langsung tanpa perantara.
Jay parkir di basement apartemen yang penjaganya bahkan tidak menanyakan apa pun saat dia menyebut nama Valerie. Mereka langsung mengizinkannya masuk seolah wanita itu sudah dikenal oleh semua orang di gedung itu.
Lift pribadi menuju lantai paling atas terasa terlalu bersih, terlalu wangi, terlalu senyap. Bukan tempat yang cocok untuk orang sepert dirinya—tapi pekerjaan adalah pekerjaan.
Begitu sampai, pintu lift terbuka langsung ke sebuah lorong pendek dengan satu pintu besar di ujungnya. Warna gelap, lampu temaram, pegangan pintu metalik yang mengkilap.
Jay mengetuk dengan buku jarinya, sekali. Tidak keras, tapi cukup terdengar.
Belum satu menit, pintu otomatis terbuka sebagian. Aroma mahal langsung mengalir keluar—campuran parfum, AC dingin, dan lantai kayu yang baru dipoles.
Belum ada sosok yang terlihat.
Jay berdiri diam di ambang pintu. Cueknya tidak dibuat-buat—dia tidak terbiasa mencari perhatian.
Dalam hati, satu kalimat melintas.
*Wanita kaya. Jam segini. Pasti ada saja tingkahnya.*
Namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi.
Pintunya bergerak lebih lebar, dan kali ini seseorang muncul di ambang. Perempuan. Rambutnya panjang, masih tertata rapi meskipun beberapa helai sudah jatuh ke bahu seperti habis kena angin malam. Makeupnya belum luntur, tapi terlihat sudah dipakai sejak beberapa jam lalu—maskara sedikit mengabur di bawah mata, tapi bukan yang berantakan.
Dia memakai dress selutut warna netral, tanpa lengan. Sepatunya tidak terlihat, mungkin sudah dilepas tak lama setelah masuk. Lehernya masih memakai kalung tipis yang terlihat mahal. Jam tangan kecil menempel di pergelangan, jenis yang tidak dijual di mal biasa.
Matanya mengamati Jay sebentar. Tidak kaget, tidak juga gugup. Seolah sudah tahu siapa yang akan datang.
"Jaiswara?" suaranya tenang, tapi terdengar seperti orang yang terbiasa memberi instruksi, bukan bertanya.
Jay tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya turun sebentar ke dressnya, lalu ke wajahnya lagi.
"Jay aja" jawabnya pendek.
Perempuan itu mengangguk sekali. "Saya Valerie" Tidak memperkenalkan diri dengan sopan, tidak pakai basa-basi. Nada bicaranya yakin, tapi tidak jutek.
Dia memiringkan tubuhnya sedikit, memberi jalan masuk. "Silakan"
Jay masuk tanpa senyum, tanpa ucapan terima kasih. Pintu tertutup otomatis di belakang mereka dengan suara pelan.
Langkahnya tidak buru-buru. Dia memperhatikan sekeliling tanpa terlihat sedang mengamati—lantai kayu bersih, lampu hangat tapi mahal, tidak banyak pajangan, tapi setiap benda yang ada pasti harganya tidak normal.
Jay tidak banyak bicara, tapi otaknya bekerja cepat.
*Dandanan pulang dari acara. Bukan tipe sosialita norak. Uang lama atau kerjaannya gede*
Valerie berjalan lebih dulu melewati ruang tengah, tidak melihat ke belakang untuk memastikan Jay mengikuti. Dia hanya berucap singkat, "Kita ke ruang sebelah. Lebih enak bicara di sana"
Jay menatap punggungnya sebentar sebelum ikut jalan. Aura perempuan itu bukan ramah, tapi bukan juga manja. Lebih seperti orang yang terbiasa dapat apapun yang dia mau tanpa harus meninggikan suara.
Dan Jay sudah bisa menebak satu hal lagu sejak langkah pertama masuk.
*Ini bukan klien yang bakal gampang untuk di hadapi*
Ruang tamu penthouse itu luas dan terlalu sepi. Lampu tidak dinyalakan semua, hanya beberapa sudut yang terang. Dinding kaca besar menghadap kota, lampu dari gedung lain memantul di permukaan lantai kayunya.
Valerie berjalan tanpa suara menuju sofa panjang dekat jendela. Ia tidak menyuruh Jay duduk, tapi pandangannya memberi isyarat yang cukup jelas.
Jay menarik sudut sofa dan duduk tanpa banyak gerak. Punggungnya tegak, kedua tangannya bertumpu di lutut. Tatapannya tidak keliling ruangan, tapi dia sadar setiap detail yang mahal di sekitarnya.
Valerie ikut duduk, tapi tidak menghadap pada Jay. Ia duduk menyamping, satu kaki dilipat, siku bertumpu di sandaran sofa.
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Jay tidak merasa perlu membuka percakapan lebih dulu. Valerie juga tidak tampak terganggu dengan diam.
Akhirnya Valerie mulai bicara, nada datarnya tidak dibuat pelan atau ramah.
"Kamu biasa ambil klien malam?"
Jay melirik sebentar. "Kalau dibayar"
Valerie mengangguk sekali, tidak tersinggung. "Berarti kamu fleksibel"
Jay tidak menimpali. Hening lagi beberapa detik.
Valerie memperbaiki posisi duduknya, lalu bertanya tanpa basa-basi, "Saya harus panggil kamu Jay saja, kan? Bukan Jaiswara?"
"Nama lengkap buat urusan hukum" jawabnya datar.
Valerie sempat menatapnya dua detik lebih lama dari normal. Bukan mengejek, tapi untuk menilai.
"Kamu kelihatan lebih muda dari namanya"
Jay tidak tertarik menanggapi. "Kamu mau bahas latihan atau nanya umur?"
Sedikit jeda. Valerie mengalihkan pandangan ke jendela. "Saya tidak terlalu suka ngobrol basa-basi"
"Nah, cocok" sahut Jay.
Valerie kembali melihat Jay, ekspresinya datar tapi matanya menunjukkan sedikit ketertarikan. "Saya baru pulang. Capek. Tapi saya maunya mulai malam ini"
Jay bersandar sedikit, suaranya tetap tenang. "Kalau kamu cuma mau keluhan, itu bukan bagian kerjaan saya"
Valerie menaikkan alis tipisnya, bukan tersinggung, lebih seperti memastikan sikap Jay bukan pura-pura. "Saya tidak bayar seseorang untuk dengar curhatan"
Jay balas menatap beberapa detik, lalu mengangguk kecil. "Bagus"
Hening berikutnya terdengar lebih berat, tapi tidak aneh. Dua orang yang sama-sama tidak berusaha mencari kesan baik.
Dan dari cara mereka duduk saja, Jay sudah tahu.
*Percakapan berikutnya tidak akan berjalan mulus, tapi tidak membuang waktu*
Setelah hening beberapa detik, Jay bersandar sedikit dan memperhatikan Valerie tanpa menyembunyikan tatapannya. Bukan menatap dengan minat pribadi, tapi kebiasaan kerja—untum mengukur klien dari kepala sampai kaki.
Valerie tidak terlihat sadar dia sedang diperhatikan, atau mungkin pura-pura tidak peduli. Sisa makeup yang masih rapi jadi tanda kalau dia baru pulang dari acara, bukan dari kantor biasa. Bahunya tidak terlalu tegak, ada sedikit ketegangan di leher bagian samping, mungkin karena sepatu hak atau duduk terlalu lama.
Lengannya tidak kurus, tapi juga bukan tipe yang sering olahraga. Kulitnya terjaga, bukan pucat tapi tidak terlalu tan. Kalau ada lemak, bukan yang mengganggu. Postur duduknya menunjukkan kebiasaan memakai high heels—tumit dan betisnya terbentuk tapi tidak kencang.
Tatapan Jay turun ke jemari Valerie yang bertumpu di paha. Tidak ada cincin kawin. Kukunya bersih dan rapi, bukan kuku orang kantoran biasa yang dibiarkan tumbuh asal. Perhiasannya tidak banyak, tapi yang menempel di tubuhnya pasti tidak murah.
Jay lalu mengalihkan perhatian ke dress yang masih dia kenakan. Potongannya pas badan tapi tidak ketat berlebihan. Pinggangnya proporsional, tapi bukan tubuh hasil latihan.
*Belum pernah serius fitness* pikir Jay.
*Kalau alasannya estetika doang, bakal banyak nuntut nih*
Dia kembali menatap wajah Valerie. Bentuk rahangnya tegas tapi feminin. Ada sedikit garis lelah di bawah mata, tapi bukan kurang tidur. Lebih ke rutinitas padat.
Valerie akhirnya sadar tatapannya tidak pindah. "Kamu mengevaluasi saya dari situ?"
Jay mengangguk sekali, tampak santai. "Kerjaan saya bukan ngajarin orang yang saya nggak tahu kondisinya orang tersebut"
Valerie tidak tersinggung. Dia hanya menarik napas pendek, lalu menyandarkan tubuhnya lebih nyaman. "Kamu lihat apa?"
Jay jawab tanpa nada basa-basi. "Bukan tipe yang nggak punya waktu. Tapi belum pernah dibiasakan olahraga rutin. Kalau mau mulai besok, pasti kaget di tiga hari pertama"
Valerie menatapnya beberapa detik, seperti menimbang apakah Jay sekadar sok tahu atau memang ahli. "Kamu yakin?"
Jay menatap balik. "Kalau saya asal tebak, saya nggak akan datang"
Jawaban itu tidak terdengar sombong, tapi tegas.
Valerie diam lagi, tapi kali ini bukan karena canggung—lebih seperti menguji. Dan Jay tahu, kalimat berikutnya dari perempuan ini akan menentukan nada kerja sama mereka ke depan.