

Hujan sore itu turun begitu deras, seolah langit sedang menumpahkan segala kesedihannya. Jalanan Jakarta berubah menjadi lautan kecil dengan genangan di mana-mana. Naira berdiri di bawah atap halte tua yang bocor di pinggir jalan, memeluk tas kainnya yang sudah lembap. Seragam rumah sakit yang ia kenakan sebagian basah karena percikan air dari kendaraan yang melintas.
“Ya Tuhan... semoga ada ojek yang lewat,” gumamnya lirih, menatap ponselnya yang layarnya sudah mulai berkabut air hujan. Baterainya tinggal 3 persen. Ia baru saja pulang dari wawancara kerja sebagai perawat di Rumah Sakit Al-Farisi international, rumah sakit elit yang selama ini hanya bisa ia lihat dari luar pagar tinggi berwarna abu itu.
Hari ini seharusnya menjadi awal yang baik. Tapi nasib seolah mempermainkan. Hujan, macet, dan dompetnya hanya tersisa uang dua puluh ribu. Tidak ada taksi online yang menerima pesanan.
Tiba-tiba, dari kejauhan, suara klakson terdengar panjang. Sebuah mobil hitam berhenti di tepi jalan, persis di depan halte tempat Naira berdiri. Kaca mobil sisi penumpang turun perlahan, memperlihatkan wajah seorang pria muda dengan rambut sedikit basah dan mata tajam yang seolah menembus hujan.
“Kamu mau numpang? Hujan makin deras, nanti bisa sakit,” katanya dengan suara berat tapi lembut.
Naira spontan mundur setengah langkah. “Maaf, saya nggak kenal. Takutnya...,” ucapnya gugup.
Pria itu tersenyum tipis. “Saya cuma mau bantu. Mobil ini bukan taksi, tapi arah saya ke dalam kota. Kamu bisa turun di mana saja sebelum itu.”
Ragu bercampur takut membuat Naira menatap wajahnya lebih lama. Ia tampak... bersih, sopan, dengan kemeja putih yang kini sedikit lembap di pundak. Namun mobil hitamnya tampak terlalu mewah untuk seseorang yang menawarkan tumpangan cuma-cuma.
“Tenang aja, saya bukan orang jahat. Kalau kamu takut, kamu bisa duduk di belakang,” ujarnya lagi sambil tersenyum, seolah tahu isi hati Naira.
Hujan semakin menggila. Angin menusuk kulit, membuat tubuh Naira menggigil. Ia menatap jalan kosong, tak ada kendaraan lain lewat. Akhirnya, dengan tarikan napas berat, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi tolong, saya cuma sampai simpang depan ya.”
Pria itu membuka pintu belakang. “Silakan..”
Begitu masuk, aroma parfum lembut menyambut Naira. Mobil itu hangat, tenang, dan nyaman. Ia duduk di belakang tanpa banyak bicara. Pria itu menatapnya lewat kaca spion, lalu tersenyum. “Kamu kerja di rumah sakit? Dari seragamnya kelihatan.”
Naira mengangguk. “Baru wawancara, belum tahu diterima atau nggak.”
“Oh... Rumah Sakit Al-Farisi international?” tanyanya lagi.
“Iya, kok kamu tahu?”
“Saya sering ke sana,” jawab pria itu datar, lalu menambahkan sambil menahan senyum, “Bos saya kerja di sana.”
Naira menatap kaca spion, melihat wajah pria itu samar. “Bos kamu? Jadi kamu supir?” tanyanya polos.
Pria itu menahan tawa kecil. “Iya, bisa dibilang begitu.”
“Ooh...,” Naira mengangguk, agak malu karena sempat mengira pria ini orang kaya. Tapi memang penampilannya sederhana meski mobilnya mewah. Mungkin itu mobil majikannya.
“Bos kamu dokter ya?” tanya Naira lagi, mencoba sopan.
“Iya,” jawabnya singkat.
Hening sesaat. Di luar, hujan masih menari di atas kap mobil. Dalam hening itu, Naira melirik pria di depan yang kini fokus menyetir. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya berbicara.. tenang, berwibawa, dan tidak seperti kebanyakan orang.
“Naira, kan?” tanya pria itu tiba-tiba.
Naira kaget. “Kamu tahu nama saya?”
Pria itu menatapnya sekilas lewat kaca spion. “Tadi di ID card kamu, sempat kelihatan.”
“Oh, iya,” Naira tertawa kecil, gugup. “Saya kira kamu cenayang.”
“Kalau saya cenayang, mungkin saya udah tahu kamu lagi deg-degan karena wawancaranya tadi,” balas pria itu dengan nada menggoda ringan.
Naira terdiam, tapi senyumnya muncul tanpa sadar. “Ya, deg-degan banget. Saya takut gagal. Rumah sakit itu terlalu bagus buat orang biasa kayak saya.”
Pria itu menatap jalan lurus, lalu berkata pelan, “Jangan bilang gitu. Orang hebat lahir dari yang biasa, bukan dari yang langsung sempurna.”
Kata-kata itu menancap dalam hati Naira. Ia hanya mengangguk, tak tahu harus membalas apa.
Mobil terus melaju melewati jalan-jalan basah yang mulai sepi. Tak sampai lima belas menit, mereka sampai di simpang yang Naira maksud.
“Turunin di sini aja, mas. Terima kasih ya udah bantu,” ucapnya sambil menatap keluar jendela.
Pria itu berhenti, lalu menoleh sedikit. “Kamu yakin nggak mau saya antar sampai rumah?”
“Enggak usah, saya lanjut jalan kaki. Deket kok,” kata Naira tersenyum, walau sebenarnya jaraknya masih hampir dua kilometer.
Pria itu menatapnya sejenak. “Oke. Tapi ini...” Ia mengeluarkan payung kecil dari jok depan, menyerahkannya lewat kaca. “Buat kamu. Hujannya belum berhenti.”
“Wah, nggak usah, ini punya kamu...”
“Ambil aja. Saya masih punya cadangan di belakang.”
Naira akhirnya menerima payung itu. “Terima kasih banyak, mas... eh, siapa ya namanya?”
Pria itu tersenyum kecil. “Saya Arkan...”
“Mas Arkan. Sekali lagi makasih. Semoga bos kamu bangga punya supir sebaik kamu.”
Pria itu tertawa pelan, kali ini benar-benar menahan diri agar tak jujur. “Mudah-mudahan begitu..”
Naira melangkah turun, membuka payung hitam kecil itu, lalu berjalan menjauh sambil sesekali menoleh ke arah mobil yang kini perlahan meninggalkan simpang. Dalam dadanya, ada perasaan hangat aneh yang belum pernah ia rasakan.
Di dalam mobil, Arkan menatap lewat kaca spion belakang, melihat sosok gadis sederhana itu berjalan di tengah hujan dengan langkah kecil namun penuh keyakinan. Bibirnya mengukir senyum samar.
“Dia bahkan nggak tahu siapa aku sebenarnya...” gumamnya lirih.
---
Keesokan harinya, di Rumah Sakit Al-Farisi international, Naira berdiri gugup di depan papan pengumuman. Matanya mencari namanya di antara daftar panjang hasil seleksi perawat baru. Dan di baris ketujuh, ia menemukannya.. Naira Azzahra: Diterima.
“Ya Tuhan... aku diterima!” serunya pelan, menutup mulutnya karena nyaris berteriak di area publik.
Suasana hatinya seketika berubah cerah meski langit masih mendung di luar. Ia segera menuju ruang orientasi, di mana seluruh perawat baru dikumpulkan untuk diperkenalkan kepada dokter-dokter utama rumah sakit.
Seorang wanita berpenampilan elegan memimpin acara. “Baik, setelah ini kita akan bertemu dengan dokter muda yang akan memimpin divisi baru. Beliau baru kembali dari Inggris minggu lalu, dan akan langsung memulai tugas di sini.”
Bisik-bisik kecil terdengar dari peserta orientasi. “Pasti keren banget!,” bisik salah satu perawat.
Naira tersenyum kecil, ikut menebak seperti apa sosok dokter muda itu. Hingga pintu ruang orientasi terbuka, dan seorang pria berjas putih melangkah masuk dengan langkah mantap.
Suasana mendadak hening. Wajah itu... mata itu... senyum itu...
“Selamat pagi semuanya,” katanya dengan suara yang sangat Naira kenal. “Saya dr. Arkan Al-Attas, Senang bisa bekerja sama dengan kalian.”
Dunia seakan berhenti sejenak. Naira terpaku di tempat, tubuhnya menegang.
Dia .. pria yang semalam ia kira supir.
Arkan menatap seisi ruangan, lalu matanya bertemu dengan Naira. Tatapan itu hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat jantung Naira nyaris berhenti berdetak.
Senyum tipis itu muncul lagi di wajah Arkan, senyum yang sama seperti di dalam mobil semalam.
“Dan... saya harap kita semua bisa saling mengenal lebih baik mulai hari ini.”
-----