Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Aetherya Saga - New World

Aetherya Saga - New World

Johancamel | Bersambung
Jumlah kata
66.7K
Popular
100
Subscribe
18
Novel / Aetherya Saga - New World
Aetherya Saga - New World

Aetherya Saga - New World

Johancamel| Bersambung
Jumlah Kata
66.7K
Popular
100
Subscribe
18
Sinopsis
FantasiIsekaiIsekaiSpiritualPertualangan
Ren, seorang barista berusia 35 tahun, menjalani hidup yang datar dan sunyi — hanya kopi, rutinitas, dan kesepian yang menemaninya setiap hari. Hingga suatu malam, di tengah hujan dan secangkir kopi terakhir, jantungnya berhenti berdetak. Tapi kematian itu bukan akhir. Ia justru membuka pintu menuju sesuatu yang lebih aneh: ruang tanpa waktu, gelap, dan dingin — awal dari dunia yang disebut Aetherya.Di tempat itu, Ren mulai menyadari bahwa kematiannya menyimpan rahasia yang jauh lebih besar. Suara-suara memanggil namanya, bayangan masa lalu menjeratnya, dan perlahan ia mengerti — Aetherya bukanlah surga atau neraka, melainkan cermin dari jiwanya sendiri. Dan untuk hidup kembali... ia harus menghadapi apa yang selama ini ia hindari: dirinya sendiri.
1. Kematian.

Hidupku sederhana. Bangun pagi, mandi dengan mata separuh terbuka, lalu berangkat ke tempat kerja yang bau kopinya sudah menempel di kulit bahkan sebelum aku sampai.

Ya, aku seorang penyeduh kopi berusia 35 tahun.

Pekerjaan yang katanya penuh seni-padahal di balik itu, aku hanya berdiri berjam-jam di balik meja, mengulang gerakan yang sama setiap hari.

Tapi aku suka. Setidaknya, di antara denting gelas dan dengungan mesin espresso, aku merasa hidup. Di sini, aku bisa menjadi Ren yang ramah dan positif, selalu siap mendengarkan cerita orang lain. Aku menciptakan topeng kebaikan yang sering disalahartikan.

Di balik senyum dan keramahan itu, tersembunyi rasa sepi yang dalam. Aku yatim piatu, belum menikah, dan perlahan kehilangan arah hidup. Aku hidup sendiri. Hanya kopi, anime, dan manga yang membuatku merasa masih hidup. Itulah kehampaan yang kubawa ke mana-mana.

Hari itu sama seperti biasanya.

Hujan tipis turun sejak sore, meninggalkan jejak di kaca depan kafe. Lampu-lampu kota di luar memantul seperti kilau emas yang menari di genangan air.

"Double shot, less milk."

Namun entah kenapa, hari itu dada kiriku terasa aneh-seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam. Kupikir cuma lelah.

Kupaksakan senyum ke pelanggan terakhir malam itu, menutup mesin, lalu duduk di kursi pojok tempat biasa.

Dari saku apron, ponselku bergetar.

Satu nama muncul di layar-nama yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Aku menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya kuangkat.

"Halo..." suaraku serak.

Di seberang sana, suara perempuan lembut menjawab pelan, "Kamu udah selesai kerja?"

"Baru aja. Kamu masih di luar?"

"Iya. Aku lagi di halte. Jadi... kamu jadi besok?"

"Jadi," jawabku cepat. "Aku... udah lama nggak excited kayak gini."

Dia tertawa pelan. Lembut, seperti suara hujan. Mungkin itu pertama kalinya aku merasa benar-benar ingin hidup.

Lalu - rasa itu datang.

Menusuk. Tidak, ini adalah tikaman yang memilin. Tajam.

Seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam jantungku dengan paksa, meremas hingga napas tercekat.

Ponselku jatuh. Suaranya bergema di lantai kosong.

"A-aku..."

Napas tertahan di tenggorokan. Tubuhku kaku.

Aku jatuh berlutut.

Kopi yang tumpah dari cangkir terakhir mengalir perlahan.

Aku mencoba meraih meja, tapi jariku gemetar hebat.

Dingin. Begitu dingin. Dingin yang mematikan.

Dari ujung jari, dingin itu merayap naik-membekukan sendi, lalu tulang. Dingin itu bukan sekadar suhu; ia adalah kesepian yang menjadi fisik, mengunci setiap ototku. Aku berusaha berteriak, memanggil nama yang ada di ponselku, tapi suaraku terperangkap di tenggorongan.

Ini adalah penderitaan, ini adalah siksaan.

Aku jatuh tergeletak di lantai dingin. Aku merangkak, menyeret tubuhku yang lumpuh, berusaha menggapai ponsel yang tergeletak beberapa senti dariku. Menggapai itu, berarti menggapai sisa-sisa hidup yang baru saja kupilih.

Aku ingin hidup!

Tuhan, aku ingin hidup!

Aku menyesal, menyesal karena aku menyembunyikan diriku, menyesal karena baru sekarang aku menemukan alasan untuk hidup!

Kilas balik kecil datang bertubi-tubi. Tapi kali ini, ia adalah pisau yang memutar.

Aku melihat diriku sendiri sendirian di kafe yang kosong. Tawa teman kerja, aroma kopi yang menenangkan-semuanya terasa seperti milik orang lain. Aku melihat diriku selalu mendengarkan cerita orang lain, tapi tidak pernah ada yang benar-benar mendengarkanku.

Lalu, rasa itu datang.

Rasanya seperti ada tali berapi yang diikat di ulu hatiku, dan ribuan tangan dingin menariknya ke atas, merobeknya paksa. Aku bisa merasakan intiku, roh yang menanggung kehampaan dan kesepian, dicabut dari setiap saraf.

Ini adalah sakitnya tercerabut dari kenyataan.

Setiap ingatan-rasa, segalanya-ditarik keluar, meninggalkan rongga hampa di dalam dada. Aku berusaha menahan, mencengkeram lantai kafe,

tapi tubuhku bukan milikku lagi.

Dingin itu akhirnya mencapai otak, mematikan kesadaran. Jantungku berhenti-bukan dalam jeda, tapi dalam hentakan pahit penyesalan yang terakhir.

Lalu rasa sakit itu tak lagi jadi sakit.

Hanya... kehampaan.

Dingin, gelap, tak berujung.

Aku terbaring di lantai kafe, sendiri. Tidak ada yang datang. Aku ditinggalkan.

Satu-satunya hal terakhir yang kulihat adalah pantulan wajahku di lantai yang basah-mataku terbuka, penuh penyesalan dan keputusasaan, berusaha memahami kenapa dunia terus berjalan tanpa aku.

Lalu dunia runtuh.

Tidak dengan suara ledakan, tapi dengan diam yang menelan segalanya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca