

Senja di Tanara tidak pernah datang dengan tergesa-gesa. Di atas hamparan sawah basah, matahari memilih untuk undur diri dengan perlahan, memancarkan spektrum warna jingga, merah marun, dan emas kusam yang melukis langit di atas pesisir Banten.
Udara membawa perpaduan aroma yang unik—bau lumpur yang dihangatkan, sedikit garam dari Laut Jawa yang tak jauh, dan asap kayu bakar yang mengepul dari dapur-dapur desa.
Arya, yang baru menginjak usia lima belas tahun, duduk di pematang sawah yang menghadap langsung ke arah kiblat mentari.
Kakinya terendam sebatas mata kaki di parit irigasi kecil. Sejak kecil, tempat ini adalah pelariannya.
Bukan karena ia membenci keramaian, tetapi karena jiwanya yang muda terasa terlalu penuh, terlalu ramai oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak ia tahu bagaimana cara merumuskannya.
Ia seharusnya membantu Ayahnya, Pak Kasman, mengikat hasil panen padi yang terakhir. Namun, belakangan ini, setiap tugas fisik terasa hampa, dan perhatiannya mudah teralih ke sesuatu yang tak kasat mata.
Gejolak di dada Arya bukan gejolak remaja biasa yang merisaukan nilai sekolah atau rasa suka pada gadis di seberang desa. Ini adalah gejolak yang lebih tua, lebih berat, seolah jiwa di dalamnya sudah pernah hidup ribuan kali dan kini menuntut sebuah jawaban fundamental:
Untuk apa aku di sini?
Di kejauhan, Jaka, sahabat karibnya yang seumuran, berteriak riang sambil mengejar layangan putus bersama anak-anak lain. Suara tawa Jaka terdengar bebas, tanpa beban, seperti aliran Kali Cisadane yang mengalir damai di pinggiran Tanara.
Arya memerhatikan Jaka, dan merasakan sebuah jurang pemisah yang lebar di antara mereka. Jaka menikmati dunianya yang konkret, sementara Arya terus-menerus mencari celah di antara realitas, berharap menemukan kunci ke dimensi lain.
“Rupanya anakmu sudah jadi patung, Kasman,”
Tegur Mang Udin, tetangga yang lewat sambil memanggul cangkul di bahu.
Ayah Arya, yang sibuk menumpuk karung beras, hanya tertawa kecil.
"Dia itu sudah seperti air, Din. Diam dan tenang, tapi kau tak pernah tahu seberapa dalam dasarnya.”
Arya mendengar percakapan itu, dan deskripsi Ayahnya justru memperkuat perasaannya. Ia memang merasa dalam, namun kekosongan di dasarnya jauh lebih dingin daripada air Cisadane di musim kemarau.
Tanara bukan sekadar desa biasa. Sejarahnya yang kaya akan napak tilas para ulama besar, terutama Syeikh Abdul Muhyi dan Banten lama, membuat lapisan spiritual daerah ini terasa tebal dan pekat. Arya tumbuh di tengah cerita-cerita karomah, ziarah, dan kesaktian yang diwariskan turun-temurun. Ia sering melihat para peziarah dari kota datang dengan tujuan khusus, mencari berkah atau petunjuk. Kekuatan tak kasat mata di sini adalah bagian dari lanskap, sama nyatanya dengan pohon kelapa dan gubuk di sawah.
Di sekolah, ia adalah murid yang cerdas, tetapi ia menemukan pelajaran agama—sejarah nabi, fikih, dan etika—terlalu teoritis. Ia mencari inti, mencari pengalaman langsung, mencari apa yang disebut para sepuh sebagai hakikat.
Pada malam hari, saat orang tuanya sudah terlelap, Arya sering menyalakan lampu minyak kecil dan membaca buku-buku tua Ayahnya. Bukan kitab-kitab agama resmi, melainkan naskah-naskah lontar dan buku usang berbahasa Jawa Kuno atau Sunda yang berisi tentang kasunyatan (kenyataan sejati), ilmu laduni, dan ritual-ritual sunyi. Kebanyakan isinya kabur, puitis, dan penuh simbolisme yang sulit ia pahami.
Namun, satu kata selalu berulang dalam catatan-catatan itu, seperti sebuah mantra yang tak terucapkan: Guru Sejati.
"Siapa sebenarnya Guru Sejati itu?" gumam Arya saat ia menyentuh sebuah halaman yang menguning.
"Apakah dia seorang Kyai yang tinggal di gua? Atau seorang Wali yang menyamar menjadi pengemis? Jika dia sejati, mengapa begitu sulit menemukannya?"
Ia telah mencoba mencari. Ia pernah mendekati Ustadz Hasan di masjid. "Guru Sejati adalah Rasulullah, Nak. Kita ikuti saja sunah beliau,"
Jawab Ustaz Hasan, tersenyum sabar, namun matanya memancarkan kepuasan yang Arya rasa terlalu mudah.
Ia juga pernah memberanikan diri menemui Mbah Sarja, seorang dukun kampung yang terkenal bisa mengobati sakit non-medis. Mbah Sarja, dengan asap kemenyan yang menyesakkan, hanya memberinya amalan penolak hujan dan menyuruhnya mencari cincin akik bertuah.
Arya pergi dengan rasa jijik dan kecewa. Itukah kesaktian yang dicari? Hanya trik murahan untuk memuaskan hawa nafsu duniawi?
Senja semakin dalam. Adzan Magrib mulai berkumandang dari musala kampung, sebuah panggilan suci yang membelah keheningan.
Arya bangkit, membersihkan lumpur dari kakinya, dan bergegas menuju rumah. Ia harus melaksanakan salat Magrib.
Malam itu, setelah menunaikan salat Isya, Ayah dan Ibu Arya sudah tidur. Kamar Arya hanyalah bilik kecil di belakang, dengan jendela kayu yang menghadap ke kebun belimbing. Angin malam Tanara mulai terasa dingin, membawa kelembaban dari laut.
Arya berbaring, tetapi tidurnya tak kunjung datang. Pikirannya melayang pada kata "Guru Sejati." Ia merasa kehidupannya adalah sebuah persiapan tanpa akhir, sebuah pencarian tanpa peta. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan arus gelisah di benaknya. Ia tidak melakukan meditasi formal, hanya membiarkan nafasnya mengalir lambat, seperti yang ia baca di buku usang.
Tiba-tiba, tanpa transisi, kesadaran Arya terlempar ke luar dari tubuhnya.
Ini bukan mimpi biasa. Ia merasa sangat ringan, tetapi sekaligus terikat pada energi magnetis yang luar biasa kuat.
Ia mendapati dirinya berdiri di tengah ruang yang tak memiliki batas. Bukan gelap, melainkan ketiadaan warna. Sebuah kekosongan absolut yang sunyi, di mana tidak ada suara, tidak ada bau, tidak ada suhu. Ketakutan sesaat menyergapnya, tetapi sebelum ia sempat berteriak, rasa takut itu terlarut, tergantikan oleh ketenangan yang mematikan.
Kemudian, dari pusat ketiadaan itu, muncul sebuah cahaya.
Cahaya itu bukan seperti sinar matahari atau api. Cahaya itu berwarna perak-putih, berkilau seperti jutaan intan yang dihancurkan menjadi debu halus. Cahaya itu sangat terang, tetapi anehnya, tidak menyilaukan. Sebaliknya, saat menatapnya, Arya merasa matanya yang batin justru terbuka lebar.
Di tengah cahaya yang berpusar itu, Arya melihat sekelebat bayangan—sosok yang tidak jelas, tidak memiliki wajah, tidak memiliki pakaian khusus. Sosok itu bukan laki-laki, bukan perempuan. Ia hanyalah sebuah bentuk yang memancarkan kebijaksanaan purba. Sosok itu mengulurkan tangan, dan dari telapak tangannya yang bercahaya, sesuatu terukir dalam benak Arya.
Bukan dalam bentuk suara yang didengar telinga, melainkan sebuah getaran yang bergema langsung di tulang sumsumnya, dalam bahasa yang tidak perlu diterjemahkan.
“Cari Aku… di dalam hening yang paling dalam.”
Bisikan Gaib itu bukan ancaman, melainkan sebuah perintah. Perintah yang disampaikan dengan kasih sayang yang tak terbatas, namun juga dengan ketegasan yang mutlak. Jantung Arya, yang sesaat tadi berhenti berdetak, kini mulai berdentum keras, memukul-mukul rusuknya.
Saat bisikan itu mereda, cahaya perak-putih itu perlahan mundur, menyusut kembali ke pusat ketiadaan. Sosok tak berwajah itu menghilang, dan Arya merasa dirinya ditarik kembali ke bilik kecilnya di Tanara.
Arya terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya bersimbah keringat dingin. Ia bangkit, duduk bersila di kasur. Ia harus memastikan dirinya kembali ke realitas. Ia menyentuh dinding kayu, merasakan serat-seratnya yang kasar. Ia mencium bau kayu bakar yang samar. Ia mendengar dengkuran halus Ayahnya dari bilik sebelah.
Semua nyata.
Tetapi, yang terjadi barusan terasa sepuluh kali lebih nyata daripada kehidupan sehari-harinya.
“Cari Aku… di dalam hening yang paling dalam.”
Arya mengulangi kalimat itu dalam hati, mencoba membedah setiap kata. Hebatnya, ketakutan yang ia rasakan selama visi itu kini sepenuhnya hilang. Ia digantikan oleh rasa lega yang luar biasa.
Ia telah menemukan petunjuk.
Selama ini ia mencari gurunya di luar dirinya: di gunung, di pondok, di buku, di makam keramat. Ia mencari sosok yang bisa ia lihat, ia dengar, ia sentuh. Ternyata, yang ia cari adalah sesuatu yang tidak memiliki wujud fisik, sesuatu yang menunggu di balik kekosongan, di pusat keheningan.
Arya bangkit, melangkah ke jendela, dan menatap langit malam yang ditaburi bintang. Ia adalah Arya, lima belas tahun, anak kampung dari Tanara, Banten, yang kini telah menerima sebuah misi sakral.
Tangan Arya mengepal. Tekadnya kini sekeras batu karang di Pantai Carita. Ia tidak tahu apa yang menantinya, ia tidak tahu tirakat seperti apa yang harus ia lakukan, dan ia tidak tahu seberapa lama pencarian ini akan berlangsung. Tetapi, ia kini memiliki arah.
Bisikan Gaib itu telah mengakhiri masa remajanya yang bimbang dan menandai dimulainya perjalanan spiritual sejati. Guru Sejati memanggilnya, dan Arya, sang murid yang merana, menjawab panggilan itu dengan seluruh jiwa raga.
“Aku akan menemukanmu,” bisik Arya pelan ke udara malam, “di mana pun tempat hening yang paling dalam itu berada.”
Babak pencarian baru telah dimulai, dan Arya tahu, ia harus segera pergi meninggalkan Tanara untuk mencari hening itu, bahkan jika itu berarti harus melalui segala kesemerawutan dunia. Ia harus menemukan peta, dan peta itu, ia duga, ada pada peninggalan satu-satunya yang ia miliki: Pusaka Tua Kakek.
Arya kembali ke tempat tidur, tetapi ia tidak lagi tidur. Ia duduk, bermeditasi, untuk pertama kalinya dengan tujuan yang jelas: mencari hening, mencari Guru Sejati. Matahari akan terbit sebentar lagi, dan ia harus bersiap untuk babak baru.