

Suara adzan subuh dari surau kecil di ujung desa memecah sunyi fajar. Udara dingin menusuk kulit, tapi juga membawa ketenangan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang sudah terbiasa menyapa pagi dengan doa. Dari sela dinding bambu rumahnya yang sederhana, Sarmin terbangun. Matanya terbuka perlahan, menatap atap rumbia yang diterpa sinar samar lampu minyak.
Ia duduk pelan, mengucek mata, lalu menatap ke arah istrinya yang masih terbungkus sarung di sebelahnya.
“Bukne… wis wayahe subuh,” ( " Bu... sekarang sudah subuh " ), bisiknya lembut.
Sarmi menggeliat, lalu mengangguk. “Nggih, Mas. Kowe wis tangi disit, yo.”( "iya, Pak. kamu sudah bangun lebih pagi, ya " )
Sarmin tersenyum tipis, lalu bangkit. Ia mengambil ember kaleng dan berjalan ke sumur di belakang rumah. Embun masih menggantung di daun pisang, suara jangkrik masih samar terdengar di kejauhan. Saat timba besi jatuh ke dalam sumur, bunyi “byur” menggema kecil, menandakan air di bawah sana masih dalam dan jernih.
Dengan gerakan tenang, Sarmin berwudhu. Airnya dingin, tapi ia tidak menggigil. Setiap basuhan terasa seperti menyingkirkan lelah semalam, menggantinya dengan ketenangan baru. Ia menatap air di dasar timba, melihat bayangan dirinya yang buram, lalu bergumam pelan,
“Alhamdulillah, Gusti, sampun kersa nguripké kawula meneh dina iki.” ( "Terima kasih Tuhan, Tuhan, Engkau telah menghidupkanku kembali hari ini." )
Selesai berwudhu, ia kembali masuk rumah. Sarmi sudah siap memakai mukena, lampu minyak di pojok ruangan menyala redup. Mereka membentangkan sajadah di atas tikar pandan. Di sisi lain, Paiman, anak mereka yang baru dua tahun, masih terlelap di bawah kelambu.
Sarmin mengumandangkan iqamah dengan suara pelan, dan mereka berdua sholat berjamaah. Suara bacaan Sarmin lembut tapi tegas, mengisi ruang bambu yang kecil itu dengan nuansa damai. Selesai salam, mereka duduk berdampingan, berzikir pelan. Di luar, ayam jantan mulai berkokok bersahutan, menyambut datangnya matahari.
Sarmi menatap suaminya sambil tersenyum. “Mas, saben subuh kaya ngene iki rasane tentrem tenan, yo.” ( "Pak, setiap subuh seperti ini rasanya tentram sekali, ya" )
Sarmin mengangguk. “Iyo, Bukne. Wong nek tangi kelingan Gusti, rasane urip ora abot. Gusti iku ora nate adoh, mung kadhang awaké dewe sing lali nyawang.”("Ya, Bu. Ketika orang bangun dan mengingat Tuhan, hidup tidak terasa berat. Tuhan tidak pernah jauh, hanya saja terkadang kita lupa memandang-Nya.")
Sarmi mengangguk, lalu beranjak ke dapur. Api kecil dari tungku mulai menyala, kayu-kayu kering mengeluarkan aroma khas yang menghangatkan pagi. Ia menanak nasi dan menyiapkan bekal. Sarmin sendiri melipat sajadah, lalu duduk di beranda. Ia melihat cahaya pagi mulai menembus kabut tipis di antara pohon kelapa. Desa Tunggul Agung perlahan hidup.
Dari kejauhan, terdengar suara ember beradu, suara sapi meringkik, dan tawa anak kecil memanggil ayam. Semuanya terasa akrab bagi Sarmin, bagian dari hidup yang sederhana tapi penuh makna.
Sarmi muncul dari dapur membawa dua cangkir kopi hitam dan sepiring kecil pisang goreng.
“Mas, ngombe disik. Saka wingi kopi iki rada pait, tak tambahi gula sethithik,” ("Pak minumlah. Sejak kemarin, kopi ini agak pahit, aku menambahkan sedikit gula.") katanya sambil duduk di samping suaminya.
Sarmin tersenyum. “Heh, Bukne iki ora tau lali ngopeni. Matur nuwun yo.”( " ibu ini gak lupa buatinnya, terimakasih ya")
Ia menyesap kopi, panasnya menggigit lidah tapi rasanya nikmat. “Wah, iki sing tak (" ini dia yang ") disebut berkah. Kopi saka tangan wong sing atiné bening.” (" kopi buatan tangan orang yang hatinya bersih ")
Sarmi tertawa pelan. “Sing penting ora kakehan gula, Mas, ben ora kakehan manis sing palsu.” ("Yang penting jangan terlalu banyak gula, Pak, jangan terlalu banyak pemanis buatan.")
Sarmin ikut tertawa, lalu menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Bukne, sawahku saiki wis waktune dicangkul maneh. Yen ora, tanahé dadi atos.” ("Bu, Sudah waktunya menggali ladangku lagi. Kalau tidak, tanahnya akan keras.")
Sarmi mengangguk sambil membungkus bekal dalam daun pisang. “Iki, Mas. Nasi karo urap lan tempe goreng. Ora akeh, tapi cukup kanggo isi weteng. Nanging aja lali sholat dzuhur nek wis wektu, yo.” ( "ini Pak, nasi sama urap dan tempe goreng, tidak banyak, tapi cukup untuk ngisi perut. tetapi jangan lupa sholat Dzuhur saat waktunya, ya")
Sarmin mengangguk mantap. “Ora usah kuwatir, Bukne. Wong nek ning sawah sekalipun, Gusti tetep kudu disembah.” ( "Jangan khawatir, Bu. Sekalipun kamu di sawah, kamu tetap harus beribadah kepada Tuhan.")
Setelah berpamitan, Sarmin memanggul cangkul dan melangkah ke sawah. Udara pagi masih dingin, tapi sinar matahari mulai menelusup lembut di antara dedaunan. Jalan setapak menuju sawah masih becek sisa hujan semalam. Di sepanjang jalan, ia menyapa para tetangga yang juga bersiap ke ladang.
“Pagi, Min!” sapa Pak Darto yang menuntun sapinya.
“Pagi, Pak Darto. Sapié sehat, yo? ("sapinya sehat,Yo ?)Mugo-mugo panèné melimpah,” ( "moga-moga panennya melimpah "), jawab Sarmin.
Suara mereka bercampur dengan tawa kecil dan gemericik air di parit. Begitulah Tunggul Agung setiap pagi: hidup tapi damai, ramai tapi lembut.
Sesampainya di sawah, Sarmin berhenti sejenak. Ia menatap hamparan hijau yang membentang, tanah basah yang menjadi saksi perjuangan hidupnya sejak muda. “Iki titipan Gusti,” (" ini titipan Tuhan "), bisiknya pelan.
Ia meletakkan caping di kepala, lalu mulai mencangkul. Irama suara besi menembus tanah terdengar ritmis cak, cak, cak seperti musik yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang terbiasa menyatu dengan bumi.
Jam terus berjalan. Ketika matahari mulai naik, dari kejauhan terdengar suara adzan Dzuhur menggema dari surau tengah desa. Sarmin berhenti. Ia menancapkan cangkul ke tanah, mencuci tangan dan wajah di parit, lalu mengambil air wudhu.
Airnya dingin tapi menyegarkan. Ia membentangkan sarung di pematang, menghadap kiblat.
“Bismillahirrahmanirrahim…”
Suara takbirnya pelan namun khusyuk. Angin lembut berhembus melewati daun padi yang bergoyang kecil. Di sekitarnya hanya suara alam yang menemani: gemericik air dan desir angin sawah.
Selesai sholat, ia berdoa dengan tangan menengadah tinggi. “Mugi Gusti tansah maringi rejeki sing halal, sehat, lan tentrem kanggo kulawarga kulo.” ( "Semoga Allah senantiasa melimpahkan rezeki yang halal, sehat, dan tenteram kepada keluargaku." )
Setelah itu, ia makan bekalnya di bawah pohon randu. Nasi urap dan tempe goreng terasa nikmat, mungkin karena dimakan dengan rasa syukur.
Menjelang sore, Sarmin pulang. Bajunya penuh lumpur, tapi hatinya ringan. Di rumah, suara adzan Ashar sudah terdengar. Ia langsung ke sumur, mengambil air wudhu lagi, lalu sholat berjamaah dengan Sarmi dan Paiman yang sudah bangun.
“Mas, Man tadi niru kowe sujud,” (" Pak tadi Man ngikuti kamu sujud"), kata Sarmi sambil tersenyum.
Sarmin menatap anak kecilnya itu, tertawa lembut. “Yo ben, Bukne. Wong cilik nek wiwit kenal sujud, Gusti mesti tresna.”( " ya tidak apa. Ketika seorang anak kecil mulai belajar sujud, Tuhan pasti mencintainya.")
Sore itu mereka duduk di beranda, menikmati angin dan suara jangkrik. Paiman bermain dengan ayam peliharaannya, sementara Sarmi menenun tikar.
Ketika Maghrib tiba, mereka kembali mengambil air wudhu. Lampu minyak dinyalakan, rumah kecil itu seketika hangat. Setelah sholat berjamaah, Sarmin duduk membaca Al-Qur’an dengan suara lirih. Sarmi mendengarkan sambil menidurkan Paiman di pangkuannya.
Suara bacaan Sarmin melantun lembut, menenangkan, membuat rumah bambu itu seolah bergetar oleh ketenangan.
Malam semakin larut. Setelah Isya, mereka makan malam sederhana, nasi, sayur kelor, dan sambal terasi. Tak banyak kata di antara mereka, hanya tatapan yang penuh pengertian.
Sebelum tidur, Sarmin menatap langit-langit rumahnya. Di luar, suara burung malam terdengar bersahutan. Ia menarik napas panjang dan berdoa dalam hati:
> “Gusti, mugi kulawarga kulo tansah Enggalipun, tansah diparingi rahmat lan keselamatan. Menawi wonten ujian, kulo nyuwun kekiyatan, ora mung kanggo awak kulo, nanging kanggo Bukne lan Man.”("Tuhan, semoga keluargaku selalu berada di hadirat-Mu, selalu diberikan rahmat dan keselamatan. Ketika ada ujian, aku memohon kekuatan, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk istriku dan anakku.")
Ia menoleh pada istrinya yang sudah terlelap, lalu menutup mata. Di luar, bulan menggantung di langit, menerangi rumah kecil di tengah sawah itu, rumah milik seorang petani yang hidupnya sederhana, tapi hatinya penuh cahaya iman.