

Pagi ini adalah pagi yang bersejarah bagiku. Aku duduk termenung di sebuah bangku panjang dengan seragam almamater sekolah. Aku pandangi pintu yang masih tertutup di ujung bangku-bangku panjang ini. Aku pun tertunduk lesu. Ada cita-cita yang pernah aku gantungkan tinggi di sini.
“Apa kamu baik-baik saja, Arya?” suara halus membuyarkan lamunanku.
“Ah, Kaylee. Seperti yang kamu lihat,” Aku mencoba menyunggingkan senyum dan sedikit memiringkan kepala.
“Kaylee!” panggil Miss Rhea dari ambang pintu kantor guru.
“Semoga harimu indah, Arya!” Kaylee berjalan dengan langkah panjang-panjang.
Aku pandangi rambut panjang keriting Kaylee yang bergerak-gerak seiring langkah kakinya. Semakin menjauh lalu berbelok. Wajah manis Kaylee sempat melongokku sebelum akhirnya ia menutup pintu.
“Ayo, Arya!” ayahku terus berjalan tanpa menyurutkan langkah.
Aku terpaksa mengekorinya karena tak ada kepentingan lagi di sini. Ya, Aku sudah mengundurkan diri dari sekolah ini. Setelah satu tahun tiga bulan lamanya menyulam hari dengan canda tawa dan rasa penat belajar. Beratnya beban hidup memaksa kedua orang tuaku untuk berhenti membiayai pendidikanku.
Ayahku hanyalah seorang penebang kayu. Kami berdua biasa mencari kayu di hutan yang terletak tak jauh dari gubuk kami. Kayu yang sudah beliau dapatkan, akan dijemurnya sampai kering lalu dijual sebagai kayu bakar di pasar. Pergantian zaman membuat orang beralih memakai gas. Jadi dagangan ayahku sering tidak laku.
Sedang ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Masakan ibuku sangat lezat. Ibu pernah menjadikan ruang tamu sebagai warung makan meski hanya seminggu sebelum akhirnya tutup permanen. Orang enggan membeli masakan ibuku bukan karena rasanya, tapi karena kondisi rumah kami yang bisa dibilang tidak sesuai standar di jaman serba modern ini.
“Pegangan yang erat, Arya!”
Ku ikuti instruksi ayahku, memeluk erat pinggang ayahku dari belakang. Lalu beliau mulai mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalan aspal. Deraian air mata yang tak sempat ku hapus, mengering tertiup angin.
Tiba di rumah.
“Sudah selesai semua, Yah?” tanya ibuku sembari menjaga api dalam tungku agar tetap menyala.
“Sudah,” Jawab ayahku sembari melepas jaket tuanya.
“Ganti bajumu, Arya! Setelah itu bantu Ibu mencuci sayur yang ada di belakang rumah!” pinta ibuku sebelum kembali meniupkan angin pada ujung pralon sedang ujung lainnya berada di mulut tungku.
“Baik, Ibu.”
Aku bergegas ke kamar dan menuruti perkataan ibuku untuk mengganti seragam dengan baju rumah. Sejenak kuberkaca memandangi tubuh berbalut seragam almamater sekolah yang kucintai. Celana pendek ungu dan kemeja putih yang sudah tidak putih lagi. Lebih tepatnya kuning. Sepasang sepatu hitam yang warnanya sudah pudar dan sepasang kaos kaki kendor sebab tak ada lagi karet gelang untuk mengetatkannya.
“Sudah selesai,” kataku sedih.
Aku hembuskan nafas perlahan lalu kubuka satu per satu kancing baju sampai terlepas sempura lalu kugantung pada capstok di belakang pintu. Aku ambil sehelai kaos biru yang berlubang di bagian ketiak lalu kupasangkan dengan celana pendek warna cokelat tua.
“Arya, segera cuci sayurannya! Jangan berlama-lama!” kata ibuku sambil mengaduk sesuatu dalam panci. Kepulan uap tebal menghalangiku untuk mengintip isinya.
Aku mencuci sayur kangkung air dengan air pancuran dari tempayan tanah liat. Hanya tiga genggam, tak banyak.
‘Srak’ suara tumpukan daun kering bergesekkan dengan benda bergerak.
Aku memutar bola mata, memeriksa keadaan sekitar. Sepi, tak ada pergerakan berarti. Segera kukumpulkan kangkung ke dalam wadah lalu kubawa masuk.
“Ibu tadi ke rawa?” Tanyaku sambil berjalan ke lincak kayu.
“Iya. Bu Harsa meminta Ibu untuk memanen kangkungnya. Sebagian dibagi-bagi,” ujar ibuku.
“Hati-hati, Bu. Arya khawatir tiba-tiba ada buaya,” aku menyerahkan wadah berisi kangkung bersih dan sudah kupotong-potong sekalian.
“Berdoa saja agar Tuhan selalu melindungi Ibu. Panggil ayahmu sana! Sudah hampir matang ini.”
“Matang apanya? Wajan baru nempel sudah dibilang hampir matang? Hupf! Ibu,” meski menggerutu dalam hati, tapi tetap saja aku tak membantah.
Bukan orang tuaku melarang berpendapat atau tak suka disanggah. Tapi Aku hanya berusaha menghormati dan patuh. Supaya penderitaan mereka tidak bertambah karena mempunyai anak tidak tahu hormat, selama tidak bertentangan dengan prinsip.
Aku berjalan ke depan. Di halaman depan berjajar banyak kayu berbagai ukuran dan warna. Ayah tampak sedang berbincang dengan seorang pria dewasa yang wajahnya terlihat asing. Aku urungkan niat untuk memanggil Ayah dan kembali ke dapur.
“Sudah?” Tanya ibu sembari memindahkan tumis kangkung ke piring seng.
Ibu seperti punya seribu tangan saja. Baru sebentar semua sudah matang.
“Lagi bicara dengan tamu, Bu.”
“Suruh saja tamu ayahmu masuk lalu kita ajak makan sekalian.”
Baru saja mau kembali ke depan, ayah sudah muncul dari pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tamu kami.
“Sudah pulang kok, Bu.”
“Lagian belum tentu beliau sudi makan bersama kita di sini” sambungnya.
Bertiga duduk di lincak dengan lauk dan nasi di tengah-tengah kami. Hanya satu kata ‘istimewa’ untuk menggambarkan masakan ibu.
“Selesai makan ikut Ayah masuk ke hutan!” kata ayah yang selesai makan lebih dulu.
“Bukankah kayu tadi pagi sudah cukup untuk dibawa ke pasar besok?” ibu menimpali.
“Pak Fusena minta ditebangkan pohon untuk membuat pintu dan jendela. Lumayan Bu, sekarang penjualan kayu bakar sudah sepi.”
“Hati-hati kalau menebang pohon besar!” Ibu mengingatkan.
“Tidak usah khawatir!” ayah beranjak ke belakang rumah.
“Jangan pulang terlampau senja. Ingatkan ayahmu!”
“Ya, Ibu” aku menumpuk piring seng bekas makan kami lalu ku bawa ke belakang rumah untuk dicuci.
Kupicingkan mata ke kebun rimbun di belakang rumah sebelum kembali masuk. Aku curiga ada seseorang tengah memata-matai kami.
“Ibu, kunci pintu rapat-rapat. Jangan terima tamu sebelum kami pulang!” Aku berpesan setelah mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku.
Kusambar kapak yang sudah disiapkan oleh ayahku. Kami berjalan beriringan dengan langkah terburu. Sesekali jari kakiku menyandung batu yang terlepas dari susunannya.
“Arya!” Suara meneriakkan namaku terdengar dari belakang membuatku menoleh.
“Arga?” Aku berhenti untuk menunggu Arga yang berusaha berlari cepat pada jalan menanjak.
Arga tersengal, tubuhnya membungkuk bertumpu pada tangan yang memegang lutut.
“Kamu beneran berhenti sekolah?” Tanyanya sambil menormalkan nafasnya.
“Iya. Biaya sekolah terlalu mahal bagi kami,” jawabku sambil berjalan perlahan.
“Semoga kamu selalu beruntung, Arya!” Arga merangkul dan menepuk pundakku.
Aku mengangguk sambil memaksa bibir untuk tersenyum.
“Kasihan Kaylee, dia begitu kehilangan kamu,” tambahnya.
“Seiring berjalannya waktu ia akan menemukan teman yang sefrekuensi dengannya dan aku akan terlupakan.” Bayangan wajah sedih Kaylee tengah menceritakan perceraian orang tuanya kembali terulang dalam ingatan.
“Di balik keangkuhan dan sifat keras kepalanya, Kaylee anak yang baik juga menyenangkan. Percaya padaku, Ga”
Arga menggeleng, bibirnya mencibir ke arahku. Aku hanya tertawa melihat raut wajah jenakanya.
“Aku tak mungkin melupakan saat dia menghujaniku dengan pensil warna hanya karena aku mengintip sebentar lembar jawab miliknya. Kamu lihat sendirikan seberapa ngeri ekspresi wajahnya. Sejak itu malas aku sama dia.”
“Ayolah, Ga! Lupakan itu dan mulai ajak dia berteman!” pinta Arya.
Aku hela nafas berat, bayangan sedih wajah Kaylee kembali menghantui pikiranku.
“Anak yang manis …”