Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dewa Togel

Dewa Togel

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
41.4K
Popular
195
Subscribe
70
Novel / Dewa Togel
Dewa Togel

Dewa Togel

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
41.4K
Popular
195
Subscribe
70
Sinopsis
FantasiIsekaiDewa Judi
Di langit ke-88, tempat para dewa sibuk mencatat rezeki manusia, ada satu dewa yang paling ceroboh: Dewa Tulus 4D. Suatu malam, gara-gara ngantuk setelah makan duren surga, dia salah kirim wahyu keberuntungan. Harusnya untuk seorang biksu suci di Himalaya, eh malah nyasar ke HP Slamet bin Suroto, penjaga pos ronda dari kampung Bulurejo. Slamet, yang hidupnya sederhana dan doanya sering lucu (“Tuhan, kalau bisa, rejeki jangan jauh-jauh, cukup di depan warung kopi aja”), tiba-tiba dapat pesan aneh berisi empat angka: 7490. Iseng dia pasang di warung kopi Bu Inem, dan ajaibnya, nomornya keluar semua! Sejak saat itu, hidup Slamet jungkir balik. Warga kampung menganggap dia “Dewa Togel dari Bulurejo”. Orang-orang antre minta nomor, dari tukang bakso sampai kepala desa. Bu Inem mendadak jadi asisten spiritual, dan kampung Bulurejo berubah jadi pusat ziarah angka keberuntungan. Sementara itu, di langit, Dewa Tulus 4D panik. Kalau wahyu itu nggak segera diambil, dunia bisa kacau, rejeki nggak seimbang, surga bangkrut, dan neraka kebanyakan pengunjung. Jadilah ia turun ke bumi dengan menyamar jadi tukang servis HP, demi merebut kembali “wahyu” yang salah kirim itu. Tapi yang namanya manusia, makin dilarang malah makin penasaran. Slamet makin yakin dirinya memang utusan langit, dan tanpa sadar terjebak di tengah kekacauan antara takdir, keserakahan, dan keajaiban yang tak bisa dijelaskan logika. “Dewa Togel” adalah kisah kocak tentang manusia biasa yang tiba-tiba dianggap suci, dewa yang lebih ceroboh dari manusia, dan angka-angka yang bisa bikin orang lupa bersyukur.
Bab 1 — Malam Aneh di Warkop D’Janda Bahagia

Slamet bin Suroto, lelaki berperut sedang tapi percaya diri, duduk di kursi kayu dekat pintu warung. Kaos oblongnya bertuliskan Ronda 24 Jam, tulisan yang sudah pudar karena sering dicuci dengan sabun colek. Di tangannya, segelas kopi hitam mengepul. Tangannya yang lain memegang rokok lintingan yang ujungnya sudah gosong.

“Met, beneran tuh jandanya bahagia?” tanya Bejo, teman rondanya yang datang sambil menyeret kursi.

Slamet tersenyum miring. “Lho, namanya aja begitu, Jo. Yang bikin papan tulisnya kan aku sendiri. Biar rame. Lagian jandanya juga udah nikah lagi sama sopir truk, sekarang tinggal di Blitar.”

Bejo terkekeh, menepuk meja. “Berarti tinggal warungnya yang janda?”

“Warungnya juga udah nikah sama tiang listrik PLN. Tapi sering cerai karena byar-pet,” jawab Slamet tenang, menyeruput kopinya.

Suara tawa mereka menggema di bawah atap seng yang menampung embun malam. Di pojok warung, radio butut milik Pakde Giman memutar lagu lawas: “Kopi Dangdut” tapi suaranya kadang hilang, kadang jadi siaran ceramah, lalu balik lagi ke lagu, seolah radionya juga bingung mau ngikutin yang mana.

“Lha, Met, katanya tadi sore listrik padam gara-gara tiang roboh di depan rumahmu?” tanya Bejo sambil menyalakan rokok kretek.

Slamet mengangguk, tapi matanya masih ke arah jalan sepi. “Iya, tapi aneh, Jo. Pas mati lampu itu, ada cahaya nyala sendiri dari langit. Kayak... ya kayak petir, tapi diem aja, nggak ada suaranya. Warnanya emas. Cuma sebentar, habis itu ilang.”

Bejo mengangkat alis. “Mungkin pesawat lewat.”

Slamet menggeleng. “Pesawat opo jam segitu lewat sawah? Wong sinyal HP aja ilang, tiba-tiba balik lagi malah dapet pesan aneh.”

Bejo mencondongkan badan. “Pesan opo?”

Slamet membuka ponselnya, ponsel jadul yang layarnya sudah retak di ujung. Ia menunjukkan satu pesan yang masih tersimpan di kotak masuk:

> “SELAMAT ANDA TERPILIH MENERIMA WAHYU 4D. PERSIAPKAN DIRI PADA MALAM KE-7.”

Bejo membaca keras-keras, lalu terdiam. Beberapa detik kemudian, ia meledak tertawa. “Wahyu 4D?! Met, iki pasti ulah anak-anak konter HP. Mereka suka iseng kirim pesan berhadiah. Besok-besok juga disuruh top up pulsa sepuluh ribu.”

Slamet tidak ikut tertawa. “Ya aku mikir gitu juga. Tapi pesannya muncul waktu HP mati, Jo. Nggak ada sinyal, tapi bisa masuk.”

Bejo mendengus. “Ya kali dewa sinyal.”

---

Malam makin larut. Suara jangkrik terdengar bersahut dari kebun di belakang warung. Di kejauhan, anjing kampung melolong satu-satu, seperti ikut menertawakan dua ronda yang sedang membahas hal konyol.

Tak jauh dari mereka, di ujung jalan, Pak RT lewat sambil membawa senter. “Heh, Slamet, Bejo, jangan kelamaan nongkrong! Laporan ronda jam satu belum setor!”

Slamet menjawab santai, “Siap, Pak RT! Kami lagi patroli spiritual, nyari sinyal malaikat!”

Pak RT melotot sebentar, lalu geleng kepala dan pergi.

Begitu suara langkahnya hilang, Bejo berbisik, “Kamu tuh aneh, Met. Udah umur segini masih percaya hal-hal gituan.”

Slamet tersenyum samar. “Percaya atau enggak, Jo, kadang yang kita anggap lucu malah beneran kejadian.”

---

Dari arah dapur, suara panci jatuh membuyarkan obrolan mereka. “Astaga, siapa tuh?” seru Bejo kaget.

Slamet berdiri, melongok ke dalam. Tak ada siapa-siapa selain teko tua yang terguling. Tapi di atas meja, di samping toples gula, ada sesuatu yang tak ia taruh sebelumnya, selembar kertas lusuh, sedikit hangus di tepinya.

Ia mengambilnya perlahan. Di atasnya tertulis empat angka dengan tinta emas pudar: 7-4-9-0.

Bejo mendekat, memicingkan mata. “Ini tulisan siapa?”

Slamet menggeleng. “Entah. Tapi… angka ini sama kayak yang di mimpiku minggu lalu.”

“Mimpi opo?”

“Aku mimpi ketemu orang berjubah putih, mukanya nggak kelihatan. Dia ngasih kertas, bilang, ‘Rejekimu turun lewat angka.’ Aku pikir mimpi biasa. Tapi kok sekarang malah muncul beneran?”

Bejo menarik napas. “Wah, bisa aja kamu yang nulis pas ngantuk.”

“Jo, kertasnya hangus. Aku nggak punya korek segitu halusnya.”

Bejo terdiam. Keduanya menatap kertas itu lama. Lalu, seperti refleks, Bejo berkata, “Met… kita cobain aja, siapa tahu hoki.”

Slamet menepuk kepalanya sendiri. “Lho, ini bukan urusan togel, Jo. Ini… ya aku juga nggak tahu ini apaan.”

---

Jam hampir menunjukkan pukul dua dini hari. Udara makin dingin, kopi mereka sudah kehilangan panasnya. Radio tiba-tiba mengeluarkan suara gemeretak, lalu berubah jadi dengungan pelan. Dari dalam dengungan itu, terdengar samar suara lelaki tua:

> “Hari ke-pertama telah berlalu…”

Slamet dan Bejo saling menatap. Suara itu tak berasal dari siaran mana pun. Begitu mereka mendekat, radio langsung mati. Hening.

Slamet menelan ludah. “Jo, kamu denger?”

Bejo mengangguk pelan. “Aku… iya. Tapi jangan-jangan itu iklan baru?”

“Jam dua pagi, Jo?”

Mereka tak melanjutkan kata-kata. Dari luar warung, tiba-tiba ada cahaya redup bergerak di antara kabut sawah. Seperti kunang-kunang, tapi lebih besar dan berwarna keemasan.

Slamet berdiri, langkahnya hati-hati. Bejo mengikuti dari belakang. Cahaya itu melayang pelan, lalu berhenti tepat di atas papan warung. Sesaat kemudian, bohlam warung yang semula padam kembali menyala terang, terlalu terang untuk ukuran lampu murah.

Dari arah langit, suara halus terdengar, seperti bisikan lewat angin:

> “Penerima wahyu telah ditetapkan.”

Bejo terjatuh dari kursinya, saking kagetnya. Slamet membeku, memandang ke atas, tapi yang tampak hanya awan bergulung dengan sinar samar. Dalam hati kecilnya, ia mencoba menertawakan kejadian itu, tapi lidahnya kelu.

Bejo bangkit pelan, menggigil. “Met, kita pulang aja. Aku kayaknya masuk angin berat ini.”

Slamet menoleh pelan, suaranya serak, “Jo… hari ke-7 itu kapan?”

Bejo menatapnya tajam. “Kamu jangan becanda lagi soal itu.”

Slamet tersenyum hambar, menaruh kertas angka ke saku bajunya, lalu duduk kembali. Ia menatap kopi yang sudah dingin, sementara di luar warung, kabut makin tebal. Di kejauhan, ayam jago berkokok padahal fajar belum datang.

---

Beberapa jam kemudian, sebelum matahari benar-benar naik, Slamet terbangun dari kursi dengan kepala pening. Warung sudah sepi, Bejo sudah pulang. Ia menatap sekeliling: semuanya tampak biasa lagi, seolah kejadian tadi malam cuma mimpi. Tapi ponselnya bergetar, ada pesan baru masuk.

> “Hari Kedua Telah Dimulai.”

Tidak ada pengirim, tidak ada waktu terkirim.

Hanya teks itu, putih di atas layar retak.

Slamet terdiam. Dari luar, suara penjual sayur lewat, membangunkan kampung seperti biasa. Tapi di dalam dada Slamet, ada sesuatu yang berbeda.

Entah mengapa, udara pagi terasa… tidak sepenuhnya milik dunia biasa.

Dan entah dari mana, seekor ayam lewat di depan warung, mematuk tanah… lalu berhenti di depan papan bertuliskan Warkop D’Janda Bahagia. Dari paruhnya jatuh secuil kertas kecil, bertuliskan angka lain 3-2-1-6.

Slamet mematung. Kopinya sudah dingin, tapi tubuhnya terasa hangat. Ia hanya bisa berbisik lirih, hampir seperti bercanda pada dirinya sendiri:

“Lha… beneran turun wahyu, ya?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca