

Kehidupan Alvin yang sudah berat, kini harus diuji dengan sesuatu yang lebih berat lagi.
Ibunya yang semula sehat, tiba-tiba terjangkit suatu penyakit yang aneh dan mengerikan. Kaki lumpuh, seluruh badan melepuh dan bernanah.
Alvin yang hanya bekerja serabutan, tak memiliki cukup uang untuk membawa sang ibu pergi ke rumah sakit. Ia sudah mencoba meminjam ke mana-mana. Namun, tidak ada yang sudi menolongnya.
Dengan langkah gontai, Alvin menuju ke rumah Paman Ben, satu-satunya harapan terakhir untuk mendapatkan pinjaman uang.
Ia mengetuk pintu perlahan diiringi dengan tangan yang gemetar menahan lapar.
"Untuk apa kau ke sini?" Bukan sambutan hangat, tapi sebuah pertanyaan ketus yang terlontar dari mulut pria paruh baya yang baru saja membuka pintu rumah.
Bibir Alvin gemetar, sementara wajah tampannya terlihat pucat. "Paman, maaf kalau malam-malam datang menganggu. Saya ke sini untuk meminjam uang. Ibu sakit, saya tidak punya uang sepeser pun untuk membawanya ke rumah sakit."
Paman Ben menatap Alvin tajam. "Kamu pikir aku adalah bank yang bisa dipinjami kapan saja? Dasar miskin, sana pergi!"
"Tapi, Paman ... tolong saya. Saya janji akan membayarnya tepat waktu."
Paman Ben tidak mempedulikan permohonan Alvin. Ia malah membanting pintu rumahnya dengan kasar.
Tubuh Alvin lunglai. Harapan satu-satunya untuk mendapatkan uang kini telah sirna. Ia pulang dengan tangan kosong.
"Ibu, maafkan aku. Aku belum bisa membawamu ke rumah sakit. Nanti, aku akan berusaha mencari uang lagi."
Alvin terduduk di samping ranjang ibunya dengan perasaan hancur. Ia sungguh tak tega melihat ibunya kesakitan seperti itu setiap hari. Namun, ia juga tak punya uang untuk membawanya berobat.
Andai penyakit yang ibunya derita bisa dipindahkan ke dalam tubuhnya, Alvin rela menggantikan asalkan orang yang ia cintai tidak pergi meninggalkannya. Sejak kecil ia tumbuh tanpa Ayah. Apakah sekarang, ia akan tumbuh tanpa Ibu juga?
Di saat sedang putus asa. Tiba-tiba, pintu rumah Alvin ada yang mengetuk. Seorang Kakek Tua berpenampilan lusuh mendatanginya.
"Maaf, Kakek siapa? Ada perlu apa mendatangi rumahku?"
"Anak Muda, bisakah kau memberiku segelas air. Aku sangat kehausan."
Alvin yang menaruh rasa iba, segera mengambilkan air untuk Kakek tersebut.
"Terima kasih sudah bersedia menolongku, Nak. Sebagai ucapan terima kasih, aku akan memberimu sesuatu." Kakek Tua itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong lusuhnya dan memberikan pada Alvin.
"Kakek tidak perlu memberiku apa-apa, aku ikhlas menolong."
"Tidak apa-apa, ambillah."
Dengan perasaan tak enak, Alvin akhirnya menerima barang pemberian Kakek itu. Sebuah kalung bertali merah yang memiliki bandul berbentuk kepala naga.
"Pakailah kalung itu. Suatu saat, pasti akan berguna untukmu."
Alvin mengamati kalung tersebut, lantas memakainya.
"Apakah ibumu sedang sakit?"
Alvin beralih menatap Kakek itu dengan dahi berkerut. "Bagaimana Kakek bisa tahu?"
Kakek itu tidak menjawab pertanyaan Alvin. Dia malah mengatakan, ibunya akan sembuh jika Alvin bisa menemukan sebuah cincin permata berwarna biru sapphire di sebuah tempat yang berada di perbatasan hutan. Cincin tersebut mempunyai kekuatan yang bisa mengobati penyakit ibunya.
"Apa Kakek yakin cincin itu bisa mengobati penyakit ibuku?" Alvin tentu tak percaya. Di zaman modern seperti ini, sulit mempercayai hal-hal yang bersifat magis seperti itu.
"Kau bisa buktikan sendiri dengan mendatangi tempat itu, Nak. Carilah rumah yang di depannya ada patung naga, masuklah ke sana dan carilah cincin itu."
Alvin ingin bertanya lagi. Namun, dalam sekejap Kakek Tua itu tiba-tiba menghilang entah ke mana.
Demi sang ibu, Alvin mempercayai perkataan Kakek misterius itu. Dengan petunjuk yang diberikan, ia mendatangi tempat tersebut seorang diri.
"Sabarlah, Bu, kamu pasti bisa sembuh."
Dengan menempuh perjalanan lebih dari satu jam, akhirnya Alvin tiba di lokasi tujuan.
Siapa yang menyangka, jika tempat yang dimaksud kakek misterius tersebut adalah sebuah kota kecil yang berada di tengah hutan dan sudah tak berpenghuni. Banyak bangunan yang terbengkelai, tanaman liar merambat di mana-mana, ditambah aura mencekam begitu kentara hingga membuat Alvin bergidik ngeri.
"Mustahil aku bisa menemukan cincin itu! Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Memasuki tempat ini bukankah sama saja mencari mati?"
Ia ingin kembali ke rumah, tapi mengingat ibunya yang kesakitan, membuat Alvin mengurungkan niat.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian yang dimiliki, Alvin mulai melangkahkan kaki memasuki kota mati tersebut.
Awalnya terasa biasa saja. Namun, semakin ia melangkahkan kaki ke dalam, hawa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Langit yang semula terang benderang karena sinar bulan, entah mengapa menjadi kelabu seakan siap menumpahkan semua isinya.
"Gawat, sebentar lagi akan turun hujan. Aku harus segera menemukan cincin itu!"
Alvin mengambil senter di saku jaket sebagai penerangan jalan dan mempercepat langkah kaki mengelilingi tempat tersebut. Yang ia ingat, Kakek Tua tadi menyuruh Alvin mencari bangunan rumah yang memiliki patung naga yang berada di depannya.
"Patung naga seperti apa yang Kakek tadi maksud?"
Alvin berhenti sejenak saat mendengar ada langkah kaki seperti sedang mengikutinya. Ia mengarahkan pandangan ke penjuru arah untuk mencari tahu. Namun, ternyata tidak ada siapa-siapa.
Alvin mencoba berjalan kembali, tapi suara bunyi langkah kaki tadi seakan mengikutinya lagi.
"Halo, apa ada orang?" teriaknya kencang.
Hening. Tidak ada sahutan apa pun.
Ia mencoba menepis pikiran buruk dan melanjutkan perjalanan kembali. Namun, lagi-lagi suara langkah kaki tadi semakin jelas mengikutinya.
Bulu kuduk Alvin meremang. Ia buru-buru mempercepat jalannya, tapi langkah kaki yang mengikutinya juga semakin cepat. Pun ketika ia berlari, suara langkah kaki yang mengikutinya juga seakan ikut berlari.
Bruuuk!
Karena terlalu panik, Alvin sampai tak sengaja menabrak sebuah batu besar hingga membuatnya jatuh tersungkur.
"Hahaha ...," tiba-tiba dari tempat itu terdengar suara tawa menggelegar.
"Su-suara siapa itu?" Alvin mengubah posisinya menjadi berdiri, sementara sepasang netranya dengan awas mencari sumber suara yang cukup menyeramkan tadi.
"Hahaha ...." Suara tawa itu terdengar kembali. Kali ini berasal dari dalam rumah terbengkalai yang berada di sampingnya.
Alvin melangkahkan kaki mendekati rumah tersebut. Lagi-lagi bulu kuduknya dibuat berdiri hanya dengan memperhatikan rumah suram itu.
Namun, ada sesuatu yang menarik indera penglihatannya. Patung naga. Ya, tepat di depan rumah itu ada patung naga yang berukuran besar.
"Apa patung naga yang dimaksud Kakek tadi adalah ini?"
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Alvin berjalan memasuki rumah tersebut. Begitu pintu terbuka, bau busuk dan anyir langsung menusuk indera penciumannya. Ditambah banyaknya debu yang berada di tempat itu, membuat Alvin kesulitan untuk bernapas.
Blaaam!
Pintu rumah tersebut tiba-tiba tertutup sendiri dengan kencang. Alvin berlari untuk membuka pintu itu kembali, tapi pintu tersebut telah terkunci dengan sendirinya.
"Astaga, apa yang harus aku lakukan?"