Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Sistem Darah Pamurba Getih

Sistem Darah Pamurba Getih

Jejak Timur | Bersambung
Jumlah kata
41.5K
Popular
128
Subscribe
58
Novel / Sistem Darah Pamurba Getih
Sistem Darah Pamurba Getih

Sistem Darah Pamurba Getih

Jejak Timur| Bersambung
Jumlah Kata
41.5K
Popular
128
Subscribe
58
Sinopsis
FantasiIsekaiIsekaiKekuatan SuperKerajaan
Arjuna, seorang veteran yang dihantui masa lalunya, memperoleh kekuatan terlarang bernama Pamurba Getih, kemampuan untuk mati dan hidup kembali. Namun setiap kebangkitannya mengikis sisa kemanusiaannya sedikit demi sedikit. Dalam dunia di mana mayat bisa bangkit menjadi prajurit, dan kepercayaan lebih rapuh dari bilah pedang, Arjuna harus bertarung bukan hanya melawan musuh, tapi juga melawan dirinya sendiri. Ia menavigasi medan perang yang dipenuhi pengkhianatan, sihir kuno, dan intrik kerajaan, di mana setiap keputusan dapat mengubah arah sejarah atau menghancurkan jiwanya. Setiap kemenangan menuntut pengorbanan. Sekutu menjadi abu, cinta berubah menjadi luka, dan nama Arjuna perlahan diselimuti ketakutan. Namun di ambang kehancuran total, ketika kerajaan runtuh dan langit memerah oleh darah, Arjuna menyadari satu hal: tidak ada pahlawan dalam perang, hanya monster yang masih bertahan hidup. Dalam duel terakhir melawan takdirnya sendiri, ia harus memilih antara kekuatan abadi atau sisi manusianya yang sekarat.
Darah yang Tak Pernah Kering

Asap menyesakkan paru-paru Arjuna Prawirabumi.

Setiap tarikan napas adalah campuran bau hangus, daging terbakar, dan aroma bau amis yang pekat dari darah yang tumpah. Begitu banyak darah hingga tanah yang gembur kini menjadi lumpur merah yang lengket. Lembah Merpati Kelam seharusnya menjadi tempat peristirahatan para dewa. Sekarang, tempat ini adalah neraka yang becek, kuburan terbuka bagi prajurit Raktapura.

"Arjuna! Sisi kiri!"

Teriakan itu milik Ren Adiguna. Suaranya pecah, nyaris histeris di antara dentang pedang yang tak berujung dan jeritan sekarat.

Arjuna, seorang veteran perang berusia dua puluh delapan tahun, tidak perlu diperingatkan. Matanya yang gelap, telah melihat terlalu banyak kematian, sudah menangkap gerakan itu. Ia tidak menghindar. Ia memutar pinggulnya, menggunakan momentum tubuhnya.

Dentang yang memekakkan telinga terdengar saat pedang itu menghantam gagang kapak, membelokkan bilah lebar itu sepersekian inci dari lehernya. Getaran brutal merambat ke lengannya yang kebas, rasanya seperti disengat listrik. Prajurit Kanaka itu terkejut karena serangannya ditangkis, matanya melebar di balik helm emasnya.

Sebuah kesalahan fatal.

Arjuna tidak memberinya waktu untuk berpikir. Dia melangkah masuk, mengabaikan kapak yang terayun liar. Ujung pedangnya menembus celah di bawah ketiak baju zirah. Ada suara robekan kulit dan otot yang basah. Darah panas menyembur ke punggung tangan Arjuna. Lelaki itu jatuh tanpa suara, keheranannya membeku di wajah.

Tidak ada waktu untuk bernapas.

"Mereka terlalu banyak! Formasi kita hancur!" Ren berteriak lagi, tombaknya berkelebat cepat, menusuk dua musuh yang mencoba menerobos barisan.

Ren baru berusia dua puluh dua tahun. Masih terlalu muda, terlalu idealis. Wajahnya yang tegas namun polos masih menyimpan api keyakinan. Dia masih percaya pada kemenangan, pada kehormatan, pada Kerajaan Raktapura.

"Fokus pada formasi!" bentak Arjuna dengan suara. "Tetap rapat! Jangan biarkan mereka memisahkan kita!"

Tapi mereka sudah terpisah. Pasukan Kanaka yang kejam menyerbu tanpa ampun, dan dipimpin oleh strategi yang sempurna. Mereka adalah mesin perang yang diminyaki dengan baik. Pasukan Raktapura, sebaliknya, adalah sisa-sisa yang bertarung dengan keberanian putus asa, compang-camping dan kalah jumlah.

Satu per satu, teman-teman Arjuna tewas.

Ia melihat Haris, lelaki bertubuh besar yang selalu bercanda tentang arak dan perempuan, terbelah dua oleh pedang besar. Mulut Haris masih terbuka, seolah ingin meneriakkan lelucon terakhir. Ia melihat Bima, si pemanah, jatuh dengan tiga anak panah di dadanya. Mata Bima menatap kosong ke langit, busurnya terlepas dari genggaman yang tak lagi bertenaga.

Setiap kematian adalah hantaman keras bagi rasa bersalah yang sudah mengakar di dalam dirinya.

Ini salahku. Strategiku gagal. Aku membawa mereka ke pembantaian ini.

"Kita bisa melakukan ini, Jun!" Ren berseru, adrenalin membuatnya berani dan bodoh. Dia melompat maju, tombaknya menjadi perpanjangan dari idealismenya yang naif. "Aku tidak peduli hidupku hancur, yang penting kita bisa menang bersama!".

"Ren, jangan! Itu jebakan! Kembali ke formasi!" teriak Arjuna, suaranya pecah karena panik.

Tapi Ren tidak mendengarkan. Dia terlalu loyal, terlalu ingin membuktikan diri. Dia melihat celah, sebuah kesempatan untuk membunuh seorang perwira Kanaka yang tampak lengah.

Itu adalah jebakan yang sempurna.

Arjuna melihatnya sepersekian detik terlambat. Perwira itu tersenyum sinis di balik helmnya, dan dari samping, tiga prajurit Kanaka yang seolah muncul dari tanah, menusukkan pedang mereka secara bersamaan.

Tidak.

Suara itu bahkan tidak keluar dari tenggorokan Arjuna. Waktu seakan melambat dan…

Tombak Ren jatuh ke lumpur. Dia tewas. Tiga bilah pedang menonjol dari dada dan perutnya. Dia menatap Arjuna, matanya yang idealis dipenuhi keterkejutan. Dia tidak mengerti mengapa keberaniannya dibalas dengan kematian sedingin ini.

"Ar ... juna ..."

Darah mengalir dari mulutnya. Tubuh ramping itu ambruk ke tanah yang sudah basah oleh darah teman-temannya. Ren Adiguna, prajurit muda yang seharusnya memiliki masa depan, gugur.

Sesuatu dalam diri Arjuna patah.

Rasa bersalah yang tadinya membara kini meledak. Suara pertempuran menghilang. Dunia menyempit menjadi terowongan merah yang berfokus hanya pada tiga prajurit yang baru saja membunuh temannya.

"REEEENNN!"

Arjuna meraung. Itu adalah jeritan kesakitan murni, lolongan binatang yang terluka. Dia menerjang prajurit pertama yang menusuk Ren. Pedangnya menghantam leher. Ada suara retakan tulang belakang yang mengerikan sebelum kepalanya terlepas.

Dia memutar, darah menetes dari rambut hitamnya yang panjang. Dia menebas kaki prajurit kedua di bagian lutut. Pedangnya merobek urat dan otot, membuat lelaki itu jatuh menjerit. Dia menusuk prajurit ketiga tepat di jantung, mendorong bilah itu masuk hingga gagangnya membentur tulang dada musuh. Dia menariknya keluar dengan paksa.

Arjuna berdiri di atas mayat Ren, tubuhnya gemetar hebat, napasnya berat, dadanya naik turun. Untuk sesaat, pasukan Kanaka di sekitarnya mundur selangkah, terintimidasi oleh kebrutalan tiba-tiba dari lelaki yang tampak tenang ini.

Kemudian, Arjuna melihatnya.

Berdiri di tengah kekacauan, namun tampak tak tersentuh. Seorang lelaki jangkung dengan baju zirah emas lengkap yang berkilauan, seolah menolak untuk dinodai oleh lumpur dan darah. Matanya biru tajam, sedingin es. Dia memegang pedang panjang yang bersih tanpa noda. Dia pasti seorang komandan. Mungkin Panglima Swarnapati sendiri, sang Panglima Kanaka.

Lelaki itu menatap Arjuna, lalu ke mayat Ren di kakinya. Ada sedikit cemoohan di wajahnya.

"Tunduk atau mati," kata lelaki Kanaka itu, suaranya tenang namun bergema menembus kekacauan. "Di dunia ini hanya ada dua pilihan itu."

Kemarahan Arjuna yang buta berubah menjadi fokus yang dingin dan mematikan. "Bajingan ..." desis Arjuna.

Dia mengangkat pedangnya yang penuh bekas luka.

Dia menerjang dengan amukan murni. Pedangnya yang tua mengayun ke arah leher sang panglima. Lelaki itu tidak bergerak mundur. Dia hanya mengangkat pedang emasnya yang tanpa cela.

Suara yang dihasilkan terdengar sangat tajam, suara baja superior bertemu dengan logam yang lelah. Getaran itu hampir melepaskan pedang dari tangan Arjuna.

Ia menyerang lagi dengan tebasan horizontal yang putus asa. Namun dengan mudah dihindari. Lagi, tusukan ke dada. Dibelokkan dengan gerakan pergelangan tangan yang malas.

Arjuna cepat, didorong oleh amarah dan trauma. Tapi komandan ini adalah sesuatu yang lain. Dia disiplin dan sempurna. Setiap gerakan Arjuna yang putus asa dipatahkan dengan efisiensi yang menghina.

"Kamu bertarung dengan kemarahan," kata komandan itu, suaranya datar. "Itu sebabnya Raktapura selalu kalah."

"Diam!" Arjuna meraung dan mengayunkan pedangnya dengan sisa tenaga, serangan membelah dari atas kepala.

Kali ini, komandan itu menangkisnya dengan keras.

KRAK!

Pedang tua Arjuna, pedang peninggalan ayahnya, retak di dekat gagangnya. Bilahnya terpelanting ke udara, berputar, sebelum jatuh tertancap di lumpur darah.

Arjuna membeku. Dia menatap gagang yang patah di tangannya. Kekosongan yang dingin melandanya. Amarahnya menguap, digantikan oleh kengerian.

Komandan itu menendang dada Arjuna dengan lutut berlapis baja. Tulang rusuknya terasa retak. Dia terlempar ke belakang, jatuh terjerembap di lumpur di samping mayat Ren.

Dia mencoba bangkit, menggapai belati di pinggangnya. Tapi pedang emas itu sudah ada di sana. Bilahnya yang berkilauan menunjuk tepat ke jantungnya, diam dan tak terhindarkan.

"Lelaki sepertimu," kata komandan itu. "Kamu tidak pantas mati dengan cepat."

Dia menggeser ujung pedangnya sedikit dan mendorongnya.

Rasa sakit yang tajam dan dingin menembus perut Arjuna. Menusuk dalam, merobek organ-organnya. Arjuna tersentak. Napasnya tercekat. Dia melihat ke bawah. Pedang itu tertancap di tubuhnya.

Komandan itu tidak melepaskan pedangnya, membiarkannya tertanam di sana sebagai penghinaan terakhir.

Arjuna Prawirabumi roboh. Dia jatuh telentang di lumpur.

Dia bisa merasakan kehangatan darahnya sendiri mengalir keluar, bercampur dengan darah temannya yang mulai mendingin. Medan perang menjadi sunyi. Suara jeritan dan dentang pedang memudar, digantikan oleh dengungan di telinganya.

Dia menatap tangannya yang gemetar, berlumuran darahnya, darah Ren, darah musuh. Dia batuk. Darah kental menyembur dari bibirnya. Kedinginan merayap masuk. Kegelapan menyelimuti pandangannya.

Arjuna Prawirabumi tewas.

Dunia hening.

Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Hanya kekosongan total. Dia merasakan jiwanya ditarik ke dalam jurang yang tak terduga.

Lalu, sebuah sensasi baru mengalir di nadinya. Energi yang gelap, dingin, dan kuat. Rasanya seperti es cair yang membakar dari dalam.

Sebuah suara, tanpa asal, bergema di dalam ketiadaan itu. Suara itu kuno, netral, dan menakutkan.

[SISTEM REGRESI DARAH DIAKTIFKAN]

[NAMA SISTEM: PAMURBA GETIH]

[MENDETEKSI KEMATIAN PERTAMA PENGGUNA]

[MEMULAI REGRESI ...]

Arjuna merasakan tarikan yang luar biasa. Kekosongan itu runtuh ke dalam dirinya, dan energi gelap itu meledak, mengklaim setiap sel tubuhnya yang mati.

Lanjut membaca
Lanjut membaca