

Nama lengkapnya Dana Erlang Wijaya. Dari luar, ia seperti sosok pangeran dalam komik shoujo Jepang: wajahnya halus, mata teduh, hidung mancung, kulit bersih tanpa noda. Bahkan seragam putih abu-abu yang baru dibelinya semalam itu seperti melekat sempurna di tubuh tingginya.
Namun, semua itu tak berarti apa-apa baginya.
Dana selalu menganggap dirinya hanya orang biasa. Bahkan ia lebih sering menunduk dan memilih jalan pintas agar tidak banyak dilihat orang. Sejak SMP, dia sudah terbiasa menjadi "cupu"—murid pendiam yang lebih sering duduk di pojok, menekuni buku, atau sekadar mendengarkan musik dari earphone murahan.
Kini, hari pertama masuk SMA.
SMA Karya Mahardika.
Bagi sebagian orang, mendengar nama itu saja sudah cukup membuat kening berkerut. Sekolah tersebut bukan sekolah impian, melainkan tempat pembuangan: anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah lain, anak-anak nakal yang penuh masalah, bahkan ada yang kabarnya berurusan dengan polisi.
Di kota Jayabaya, Karya Mahardika lebih dikenal sebagai "neraka pelajar".
Dana melangkah masuk ke gerbang besi yang berkarat, ditemani tatapan para senior yang sudah menunggu di depan. Hari itu adalah OSPEK—hari di mana wajah polos para murid baru akan diubah menjadi sasaran intimidasi. Baru melangkah masuk pun Dana sudah terkena semprotan dari kakak seniornya “HEH AYO CEPET KUMPUL DI LAPANGAN, SUDAH MAU DIMULAI ITU” kata kakak senior laki-laki dengan nada sompral dan pakaian yang acak-acakan. “Eh iya baik kak” kata si Dana dengan mengangguk lugu.
Sesampainya di lapangan, Dana dan murid-murid baru lainnya lngsung disuruh berbaris sesuai dengan kelas masing-masing. Tapi saat Dana mau berkumpul ke barisannya, tiba-tiba
“HEI, KAMU YANG TAMPAN ITU! BERDIRI!” teriak salah satu kakak senior. Seluruh murid baru menoleh. Tatapan mereka langsung tertuju pada Dana.
Namun, di balik kegelisahannya, ada satu hal yang belum ia sadari.
Wajah tampan yang selama ini tak ia pedulikan, justru akan menjadi pemantik api yang membuat kehidupannya di SMA Karya Mahardika berbeda dari semua orang.
Sebenarnya, keberadaan Dana di SMA Karya Mahardika bukanlah karena ia bodoh atau gagal total dalam akademik. Tidak. Dana adalah murid dengan kecerdasan rata-rata, tidak menonjol, tapi juga tidak bisa dianggap lemah. Nilainya selalu cukup stabil.
Waktu pengumuman kelulusan SMP dan penerimaan siswa baru SMA, Dana sempat mendapatkan kabar membahagiakan: namanya lolos masuk ke SMA 4 Jayabaya, salah satu sekolah top di kota itu. Bahkan ia menjadi siswa terakhir yang berhasil menembus batas ranking penerimaan.
Momen itu tak pernah ia lupakan.
Malam ketika hasil pengumuman ditempel di papan sekolah, Dana berdiri lama menatap namanya di daftar penerimaan. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Bukan air mata kesedihan, melainkan haru. Seorang anak yang tidak pernah merasa istimewa, bisa berdiri di gerbang sebuah sekolah ternama. Itu adalah kebanggaan yang ia simpan rapat-rapat di hatinya.
Namun, kebahagiaan itu ternyata hanya sementara.
Sebulan sebelum tahun ajaran baru dimulai, sebuah surat datang. Surat itu berkop resmi dari SMA 4 Jayabaya.
Isinya singkat:
Dana Erlang Wijaya dinyatakan tidak jadi diterima.
Hanya begitu. Tanpa penjelasan.
Dana panik, hatinya hancur. Ia berlari ke sekolah, menemui guru-guru, bahkan mencoba menghadap pihak panitia penerimaan.
“Kenapa, Bu? Kenapa saya tiba-tiba dicabut? Apa ada nilai saya yang salah hitung?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya mulai memerah menahan tangis.
Namun jawaban yang ia terima selalu sama:
“Maaf, Nak. Itu sudah keputusan. Kami tidak bisa memberi pernyataan lebih lanjut.”
Seolah ada tembok besar yang menghalangi kebenaran untuk sampai padanya.
Belakangan, lewat bisikan teman ayahnya, Dana mengetahui rahasia pahit itu.
Ada seorang anak pejabat berpengaruh yang mendadak membutuhkan kursi di SMA 4 Jayabaya.
Dan kursi itu diambil dari namanya.
Namanya yang berada di peringkat paling bawah penerimaan itulah yang paling mudah untuk digeser.
Seolah dunia runtuh, Dana hanya bisa terdiam. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia hanyalah anak biasa, tak punya kuasa, tak punya kekuatan.
Lebih menyakitkan lagi, karena kabar mendadak itu datang hanya sebulan sebelum tahun ajaran baru dimulai, hampir semua SMA negeri dan swasta ternama di Jayabaya sudah penuh, bahkan sekolah menengah dengan kualitas menengah pun sudah menutup pendaftaran.
Dan dari semua pilihan yang tersisa, hanya satu sekolah yang masih mau menerima murid baru:
SMA Karya Mahardika.
Sekolah dengan reputasi buruk. Sekolah buangan. Sekolah yang disebut banyak orang sebagai “neraka pelajar”
Sebenarnya Dana sudah izin kepada orang tuanya agar berhenti dulu untuk sekolah selama 1 tahun dan mencoba lagi untuk tahun ajaran baru tahun depan. Tapi orang tuanya tidak memperbolehkan itu karena orang tuanya dahulu juga lulus dari situ. Orang tuanya menjelaskan bahwa SMA itu standart kurikulumnya sama saja dengan sekolah lain bahkan dulu SMA itu menjadi salah satu SMA top di kota Jayabaya. Akhirnya dengan berat hati Dana akan masuk ke SMA Karya Mahardika tersebut. Namun, di balik segala luka itu, Dana belum tahu bahwa justru SMA inilah yang akan mengubah hidupnya.
Berlanjut di lapangan SMA Karya Mahardika berubah menjadi arena gladiator. Semua siswa baru dikumpulkan, berdiri tegak di bawah matahari yang sudah mulai terik. Seragam putih abu-abu mereka tampak kusut, sebagian besar wajah pucat karena ketegangan.
Di depan, para senior berdiri berjejer. Rambut mereka macam-macam: ada yang pirang kuning menyala, merah menyala seperti cabai, bahkan ada yang dicat setengah pirang setengah hitam. Mereka seperti kawanan predator yang siap mengincar mangsa.
Suara peluit keras terdengar.
“DUDUK SEMUA!” teriak seorang senior bertubuh besar, wajahnya penuh bekas jerawat, suaranya menggelegar seperti komando militer.
Serentak semua murid baru menjatuhkan diri ke lantai semen panas.
Dana ikut duduk, menunduk, berusaha tidak mencolok. Namun, entah kenapa justru dialah yang dipanggil lagi.
“Eh, yang tampan itu! Berdiri kau!” suara seorang senior perempuan tiba-tiba menusuk ke telinganya.
Dana mengangkat wajah perlahan. Senior itu cantik, tapi wajahnya penuh make up tebal. Senyumannya sinis.
“Cepat! Jangan lambat-lambat kayak kura-kura!” sambung seorang senior laki-laki di sampingnya.
Dana berdiri. Semua mata tertuju padanya. Seolah wajah tampannya menjadi dosa di sekolah ini.
“Nama kamu siapa?” tanya si senior perempuan dengan nada menginterogasi.
“Dana Erlang Wijaya,” jawabnya pelan.
“Wih, namanya keren banget, ya! Cocok nih buat artis sinetron. Hei, teman-teman, kita panggil dia artis aja, gimana?” seru senior itu.
Tawa meledak di kalangan para senior. Bahkan beberapa murid baru ikut terkekeh, mungkin takut tidak dianggap kompak.
Dana hanya diam. Ia tak berniat melawan, tak berniat meladeni. Baginya, semua ini hanya formalitas ospek, hanya harus dijalani.
Tapi ketenangannya justru membuat seorang senior lain panas.
Cowok berambut cepak, bertubuh kekar seperti preman pasar, melangkah maju. Namanya Raga, terkenal sebagai pentolan angkatan atas, brutal dan suka cari gara-gara.