

Di sudut kamar, seorang anak laki-laki berusia lima tahun tengah meringkuk ketakutan. Menelungkup kan kepalanya di antara lipatan tangan, tubuhnya bergetar; terdengar suara isak tangis yang samar.
Angin berhembus kencang, membuat jendela kamar terbuka lebar; hujan lebat di luar saling bersahutan dengan suara guntur. Bersamaan dengan itu, dari kegelapan, makhluk halus datang, kian mendekat seolah melihat mangsa. Cahaya kilat yang masuk ke dalam kamar tersebut, menerangi ruangan, hingga tampak sesosok makhluk dengan tubuh berwarna hitam, tidak berkaki, terus menggeliat, berjalan mendekat. Lidahnya yang persis seperti ular menjulur keluar, berusaha menjangkau anak kecil itu.
"J-jangan mendekat! Pergi!!" Tubuhnya makin bergetar kala mendengar derit langkah mendekat.
Suara desis begitu dekat dengan telinganya; dia menegang, air mata mengalir deras tanpa suara. Tangannya mencengkram telinga dengan kuat, menghalau apa pun yang ingin menjangkau nya.
"Ssstt ... aromanya sangat harum. Kemarilah, Nak!" ujarnya sambil terkekeh kecil.
"Tidak! Pergi!!" teriaknya sambil melempar apa pun yang ada di dekatnya.
Bau anyir menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya. Tangan kurus berwarna hitam terulur, mencekik leher anak itu dengan kuat. Kuku-kuku menancap, menembus kulit lehernya. Rasa perih yang menusuk membuatnya membuka mata.
Matanya terbelalak ketika melihat wujud makhluk di depannya. Tangan kecilnya mencoba melepaskan cengkraman itu, tapi tidak bisa. Tenggorokannya tercekat, nafasnya tersendat. "L-lepaskan!"
Brakk!!
Makhluk itu geram dengan perilaku anak tersebut dan melemparkannya ke tembok. Kepalanya terbentur dengan keras; cairan kental merembes dari belakang kepala. Dia berusaha bangkit dengan mencekram kaki kursi, tetapi tidak bisa.
Pandangannya mulai mengabur; terakhir kali yang dilihatnya adalah ketika makhluk itu membuka mulut dengan lebar sampai ke telinga, hendak memakannya.
"TIDAK!!"
Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal, jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Keringat membanjiri tubuh; tangannya mengusap wajahnya yang tampak gusar. "Lagi-lagi mimpi itu!"
Ctakk!
Belum sempat menenangkan diri, sebuah penggaris sepanjang 20 cm tampak menggebrak mejanya. Dia mendongak; wajah Bu Ranti memerah, menatapnya dengan geram. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana; ekspresinya kaku di kala melihat sang guru sudah siap melayangkan penggaris itu untuk kedua kalinya.
"HARSA! MAU KE MANA KAMU? HARSA KEMBALI!!" teriak Bu Ranti saat Harsa tiba-tiba berlari ke luar kelas sambil membawa tasnya.
"AMPUN BU! SAYA IZIN PULANG YA," teriak Harsa sambil terkekeh kecil.
Di balik suara keduanya yang saling bersahutan dengan lantang, para murid dengan serempak menutup telinga mereka masing-masing sambil menikmati pertunjukan.
"Sudah biasa," batin mereka.
Harsa menyampirkan tasnya di bahu kanan; berjalan di lorong yang sepi. Langkahnya membawanya ke arah belakang sekolah. Dia memanjat tembok tinggi itu dengan mudah; saat mendarat, tampak dua orang laki-laki berpakaian seragam lengkap kepolisian sedang memperhatikan dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dia tidak menghiraukan kedua orang itu dan langsung melenggang pergi menuju ke warung yang ada di seberang jalan untuk mengambil motornya. Namun, langkahnya terhenti di kala salah seorang petugas menahan tangannya.
"Tunggu, Nak!" Harsa melepaskan genggaman itu, lalu berbalik menatap polisi itu dengan satu alis terangkat.
"Harsa kami butuh bantuanmu." Tanpa menjawab, Harsa terus berjalan untuk pulang.
"Nak, kalau kamu mau membantu kami akan ada bayaran untuk itu." Dengan semangat, Harsa langsung berbalik dan mengambil uang di tangan polisi tersebut.
Dia tersenyum lebar, "oke, kalian butuh bantuan apa?"
"Kami sedang menyelidiki satu kasus pembunuhan yang sudah berlangsung selama setahun. Akan tetapi, kami belum berhasil menemukan petunjuk apa pun mengenai korban maupun pelaku," jelas seorang polisi bernama Hanif.
***
Laki-laki berparas tampan dengan tinggi 173 cm itu memandangi rumah mewah berlantai tiga dengan rumit. Tampak police line masih membentang mengelilingi rumah; banyak daun-daun kering berserakan, entah sudah berapa lama tempat ini tidak dibersihkan.
Dia masuk ke dalam rumah tersebut, menaikki satu per satu anak tangga menuju lantai tiga. Matanya memindai setiap sudut rumah ini, mencoba mencari peluang dari ketiadaan. Namun, baru sampai di lantai ke dua, sesosok makhluk anak kecil dengan pakaian khas Negara Belanda mengintip dari balik pintu di salah satu kamar.
Pada awalnya, Harsa tidak menghiraukan makhluk tersebut, tetapi anak itu terus mengikutinya. Tanpa berbalik, dia berkata, "Mengapa kau terus mengikutiku? Jika ada yang ingin dikatakan, bicaralah!"
Tiba-tiba anak kecil itu sudah berada tepat di depan wajahnya; Harsa dengan refleks menutup matanya. Dia terkejut melihat mata dengan darah mengalir dan senyum mengerikan dari anak itu membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
"Cari apa?" tanya anak itu menggunakan logat Bahasa Indonesia yang aneh.
Harsa mundur beberapa langkah; dia mengangkat satu alisnya. "Aku tidak ingin mengganggu siapa pun; aku hanya ingin mencari bukti agar bisa menemukan jasad pemilik rumah ini," jelas Harsa.
Seolah mengerti apa yang Harsa katakan, raut wajah waspada anak itu menghilang, digantikan dengan kesedihan dan air mata. "Alstublieft, vind mijn broer! Ze hebben hem vermoord! Mijn broer heeft pijn."
Anak laki-laki itu berbicara menggunakan Bahasa Belanda. Ketika mendengar dialek asing tersebut, Harsa sempat merasa cemas, takut tidak mengerti apa yang diucapkan olehnya. Namun, keberuntungan masih memihak kepadanya. Hobi membaca banyak buku ternyata bisa menolong di saat-saat seperti ini.
Anak itu meminta tolong kepadanya; dia berkata jika sang kakak laki-laki telah dibunuh oleh seseorang. "Mungkinkah orang yang aku cari adalah Kakaknya?" gumamnya.
"Goed, is dit je broer?" Anak itu mengangguk ketika Harsa menunjukkan potret seorang laki-laki berusia 21 tahun dalam sebuah map.
"Klopt, dat is mijn broer," jawabnya dengan mata memerah, menahan tangis.
Harsa merasa bersimpati ketika melihat anak itu bersedih. "Weet je waar zijn lichaam nu is?" tanyanya, mencoba mencari tahu, apakah anak itu tahu di mana jasad korban.
"Ze hebben het lichaam van mijn broer achter die muur begraven." Anak itu menunjuk ke sebuah dinding kamar di lantai dua.
Alangkah terkejutnya dirinya ketika anak itu mengatakan jika jasad sang kakak dikuburan di balik dinding kamar tersebut. Dia melangkah maju, mendobrak pintu yang terkunci dengan kekuatan penuh.
Brakk!
Setelah mencoba untuk ketiga kalinya pintu tersebut terbuka lebar. Bau amis menusuk indra penciumannya. Untuk dirinya yang sudah berinteraksi dengan makhluk halus selama bertahun-tahun, tentu tidak asing dengan bau familier seperti ini.
Harsa mengetuk satu per satu sisi dinding, mencoba membandingkan satu sama lain. Tepat di ketukan ketiga, tembok yang mengarah ke arah timur memiliki gema suara yang berbeda.
"Ketemu!" serunya.
Harsa dengan cepat menghubungi Hanif dan Doni, kedua petugas kepolisian yang sebelumnya datang meminta tolong kepadanya. Meminta mereka untuk membawa beberapa alat, karena jasad korban telah ditemukan.
Satu jam berlalu; suara sirene polisi datang dengan semarak. Delapan orang polisi datang menghampiri Harsa; setelah beberapa penjelasan, mereka mulai melakukan pembongkaran. Ketika lapisan semen itu terkikis, semua orang terkejut.
Tampak kerangka manusia tersusun tidak beraturan di sana. Pemandangan itu jelas bukan sesuatu yang baik; anak kecil tadi menatap nanar tulang-belulang tersebut. Harsa tidak pandai menghibur orang; dia hanya bisa memberikan sedikit elusan di kepala anak kecil itu.
Setelah evakuasi korban sudah selesai dilakukan, Harsa bergegas pulang. Namun, lagi-lagi Hanif menahan kepergiannya. "Anda butuh bantuan, Tuan?" tanyanya sambil memutar bola matanya malas.
"Tidak ada, terima kasih sudah membantu kami. Bagaimana dengan pelakunya, apakah kau sudah menemukannya juga?" tanya Hanif.
"Aku tidak punya waktu untuk itu; sudah ya aku ingin pulang. Pekerjaan ku sudah menunggu." Kali ini Doni yang menahan tangan Harsa.
"Apa lagi?"
"Nak, bergabunglah dengan kami sebagai detektif. Kemampuan mu sangat disayangkan bila tidak digunakan dengan baik. Lagi pula, dengan begini, kau bisa menolong banyak orang, bukan?" bujuk Doni.
"Tidak! Terima kasih," ucapnya dengan tegas, lalu melenggang pergi meninggalkan kedua petugas polisi itu dengan kecewaan.