

Hujan turun seperti jarum-jarum kecil yang menusuk kulit, jatuh tanpa henti dari langit kelabu. Kota itu tampak seperti dilukis dalam satu warna: abu-abu. Bahkan gedung-gedung tinggi yang biasanya menjulang gagah kini terlihat suram, seolah tertunduk bersama langit.
Arden Varello berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip, jas hitamnya basah, tetapi ia tidak bergerak. Di tangannya terdapat sebuah amplop cokelat lusuh yang sejak dua hari lalu mengubah hidupnya. Amplop itu tidak tebal, tetapi beratnya terasa seperti beban dari seluruh dunia.
Ia tidak seharusnya membuka amplop itu.
Ia tahu itu.
Namun rasa penasaran lebih kuat daripada rasa takutnya.
Isinya hanya satu foto dan satu kertas kecil berisi alamat. Foto yang sudah memudar itu memperlihatkan seorang pria tinggi dengan tatapan tajam, berdiri di depan sebuah bangunan terbengkalai. Arden mengenal wajah itu. Terlalu mengenal, bahkan.
Itu ayahnya.
Ayah yang ia kira sudah mati sejak dua puluh tiga tahun lalu.
Ayah yang menjadi alasan ia dibesarkan oleh panti sosial dan bukan keluarga.
Ayah yang meninggalkannya begitu saja sebelum Arden mengerti arti sebuah pengkhianatan.
Namun kini, foto itu seperti suara dari masa lalu yang memanggil dengan kejam.
Arden mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan degup jantung yang tak mau jinak. Hujan terus mengalir di wajahnya, entah itu air langit atau air yang muncul dari matanya sendiri.
Sudah lama ia tidak mengingat ayahnya… dan ia berusaha keras untuk tidak pernah mengingatnya.
Namun kini, masa lalu menuntut agar pintu itu dibuka kembali.
Lampu jalan berkedip sekali lagi, lalu mati sepenuhnya. Gelap menelan sebagian sudut kota. Arden mendongak sedikit, mengamati kemungkinan sumber keganjilan itu. Sejak dia menerima amplop itu, kota ini seolah berubah. Cahaya redup, suara tidak lagi terdengar sama, dan langkah orang-orang tampak tergesa seolah mereka tahu sesuatu yang ia belum tahu.
Arden melangkah keluar dari area yang gelap dan menyeberang jalan menuju gedung kecil yang tampak seperti rumah makan tua. Di balik jendela berembun, ia melihat seorang pria bertubuh besar yang sudah menunggunya.
Holt.
Rekan kerja sekaligus orang yang paling bisa dipercaya olehnya. Jika ada seseorang di kota ini yang akan turun ke neraka bersamanya, itu adalah Holt.
Arden masuk, dan suara lonceng kecil berdenting.
“Akhirnya datang juga,” gumam Holt tanpa menoleh. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi. “Kau terlihat seperti habis disiram mobil pemadam kebakaran.”
“Anggap saja begitu.” Arden duduk di depannya. Ia meletakkan amplop di meja.
Holt melirik amplop itu dan matanya berubah serius. “Itu yang mengubah jadwalmu mendadak dua hari ini?”
Arden mengangguk pelan.
Holt mengambil amplop itu, tapi tidak langsung membukanya. “Kenapa kau terlihat seperti orang yang sedang diikuti bayangan?”
“Karena aku memang merasa diikuti.”
Holt membeku sesaat. “Sejak kapan?”
Arden menghela napas pendek. “Sejak amplop itu datang.”
Holt menatapnya lebih dalam, kali ini benar-benar fokus. “Kau bilang ini dari orang misterius yang tidak kau kenal?”
Arden tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, lalu berkata pelan, “Lebih dari itu. Foto di dalamnya… itu ayahku.”
Cangkir kopi Holt hampir jatuh. “Astaga… Arden… bukankah”
“Dia sudah mati,” Arden menyelesaikan kalimat itu sendiri. “Ya. Itu yang aku pikir selama ini.”
Keduanya saling menatap. Tidak ada yang berkata apa pun selama beberapa detik, hingga Holt akhirnya membuka amplop dan melihat isinya.
“Kau yakin ini ayahmu?” tanya Holt tanpa mengalihkan pandangan.
“Seratus persen.”
“Alamat ini…” Holt menunjuk ke tulisan kecil di kertas. “Ini… gudang tua di distrik utara.”
Arden sudah tahu itu. Sama seperti ia tahu bahwa seseorang sengaja meninggalkan petunjuk itu untuknya. Dan siapa pun orang itu, mereka tahu siapa Arden sebenarnya. Mereka tahu masa lalu yang ia simpan rapat-rapat.
“Seseorang ingin aku pergi ke sana,” kata Arden pelan.
“Lalu apa rencanamu?”
Arden mengusap wajahnya yang masih basah. “Aku harus tahu kebenarannya.”
“Arden, jika ayahmu benar-benar hidup… kenapa dia tidak muncul selama dua puluh tiga tahun? Dan sekarang ada seseorang yang mengirimkan foto ini? Ini perangkap.”
“Aku tahu.”
“Dan kau tetap akan pergi?”
Arden menatap Holt dengan tatapan yang tajam namun dingin. “Jika masa laluku ingin menonjokku, aku tidak akan diam. Aku akan menonjok balik.”
Holt menghela napas panjang, lalu menyerah. “Baik. Aku ikut.”
Arden menggeleng. “Tidak. Ini urusan pribadiku.”
“Urusan pribadi yang bisa membuatmu mati?” Holt memutar matanya. “Tidak mungkin aku membiarkanmu pergi sendirian.”
Arden hampir tersenyum, tapi segera hilang. Ada ketegangan yang tak bisa dia jelaskan. Seperti ada tangan tak terlihat yang memegang napasnya, menunggu ia mengambil keputusan salah.
“Aku hanya ingin tahu,” Arden berkata lirih. “Jika dia masih hidup… kenapa dia meninggalkanku?”
Holt menatapnya lama. “Dan jika jawabannya lebih buruk dari yang kau bayangkan?”
“Kebenaran tetap lebih baik daripada kebohongan yang menyelamatkan,” jawab Arden.
Mereka berdua meninggalkan rumah makan. Hujan mulai mereda, namun udara dingin masih menusuk.
“Mobilmu di mana?” tanya Holt.
“Di ujung blok.”
Saat mereka melangkah melalui trotoar yang licin, Arden tiba-tiba berhenti. Napasnya tercekat. Ada suara kecil, mendesis. Bukan suara air. Bukan angin. Lebih seperti gesekan lembut antara logam dan sesuatu yang basah.
Holt menyadarinya. “Apa itu?”
Arden menoleh perlahan.
Di seberang jalan, berdiri seorang pria berjas gelap. Tidak bergerak. Tidak bernafas. Atau setidaknya, tidak terlihat.
Yang paling menyita perhatian bukanlah wajahnya, wajah itu tersembunyi oleh topi hitam.
Tapi simbol kecil di dada kanannya.
Simbol berbentuk lingkaran dengan dua garis melengkung seperti sayap patah.
Arden membeku.
Simbol itu tidak asing.
Simbol itu juga ada di foto lama ayahnya ketika ia masih kecil, disembunyikan di balik saku jas.
Simbol itu juga muncul di dokumen rahasia yang pernah Arden temukan dalam tugas lapangan.
Simbol itu… milik kelompok yang tidak pernah disebut namanya dengan suara keras.
Kelompok yang hanya bergerak di balik layar.
Kelompok yang selalu muncul dalam tragedi besar yang tidak pernah dijelaskan polisi.
Kelompok yang menurut rumor… menentukan nasib seseorang.
Dan seseorang berniat membiarkan Arden melihat simbol itu dengan sangat jelas.
Pria berjas hitam itu mengangguk sekali. Gerakan lambat, nyaris tidak terlihat. Lalu ia melangkah mundur… dan menghilang seperti bayangan yang ditelan gelap.
Holt bersumpah keras. “Kau tidak bilang kalau ini ada hubungannya dengan mereka!”
“Aku tidak tahu,” kata Arden. Suaranya rendah namun bergetar. “Tapi sekarang aku tahu satu hal…”
Holt menatapnya, menunggu.
Arden menelan ludah. “Ayahku… terlibat dengan kelompok itu.”
Holt menatap langit yang kembali kelabu. “Arden, yang kau hadapi bukan sekadar masa lalu. Ini…” Ia menghela napas berat. “Ini bisa mengubah hidupmu. Atau mengakhirinya.”
Arden memejamkan mata sejenak.
“Aku tidak akan lari,” katanya.
“Selama ini, nasib selalu menentukan hidupku. Sekarang giliran aku yang menentukan nasibku sendiri.”
Holt menepuk pundaknya. “Kalau begitu, kita mulai dari gudang itu?”
Arden membuka mata. Tatapannya berubah, tidak lagi bimbang, tetapi penuh tekad yang keras.
“Ya,” katanya.
“Kita mulai dari sana. Dan kita lihat sejauh apa takdir berani menantangku.”
Tanpa menoleh lagi ke belakang, mereka berjalan menuju mobil.
Tidak ada yang menyadari bahwa dari atap bangunan, seseorang memantau mereka melalui lensa hitam.
Seseorang yang mencatat setiap langkah Arden, setiap detik perubahan ekspresinya, setiap keputusan yang ia buat.
Seseorang yang bergumam pelan melalui alat komunikasi kecil di telinganya.
“Target telah memulai langkah pertama.
Fase satu berhasil.”