Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
SULUK TEBING MERAH

SULUK TEBING MERAH

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
30.9K
Popular
100
Subscribe
6
Novel / SULUK TEBING MERAH
SULUK TEBING MERAH

SULUK TEBING MERAH

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
30.9K
Popular
100
Subscribe
6
Sinopsis
HorrorHorrorMisteriDunia GaibDukun
setelah bertahun-tahun merantau, Setro Aji kembali ke kampung halamannya didesa Getarokso. Ia hanya berniat mengurus pemakaman ayahnya Detrino Aji kusumo, seorang dalang yang dihormati namun penuh misteri. Tapi malam pertama ia tiba, gamelan tanpa pemain berbunyi dari pendopo rumah tua. Lebih buruk lagi, gamelannya memainkan gendhing yang menurut tradisi, hanya boleh dibunyikan ketika seorang dalang bersiap membuka pintu antara dunia manusia dan alam lakon. Desa itu tak lagi sama. Warga-warganya bicara dengan penuh rahasia, waktu seolah berputar lewat jalan yang tak teratur, dan setiap orang yang Setro temui punya cara mereka sendiri untuk mengingat, atau melupakan ayahnya. Larangan kuno mulai dibisikkan kepadanya: jangan pernah menyeberang ke Tebing Merah saat bulan mati. Tapi Tebing Merah itu tidak ada di peta. Tidak ada pula dalam dokumen pemerintah, atau ingatan logis siapa pun. Namun Setro bersumpah ia pernah ke sana waktu kecil… saat ia melupakan sesuatu yang besar. Sebuah naskah wayang peninggalan ayahnya ditemukan. Isinya tak pernah dipentaskan. Lakonnya tak pernah tercatat. Namun entah bagaimana tokoh-tokoh dalam naskah itu mulai muncul di kehidupan Setro. Tanpa wajah. Tanpa suara. Hanya menonton dari balik kelir dunia ini. Ketika seorang pemuda desa hilang, tapi tetap terlihat berjalan di sekitar kampung seperti tidak pernah mati, Setro sadar ini bukan sekedar misteri, ini adalah lakon yang sedang menulis balik dirinya. Perlahan Setro menyadari bahwa kematian ayahnya bukan akhir, melainkan undangan. Ia sedang dipanggil untuk menjadi dalang terakhir, dalam wajahnya, waktu yang tersisa, dan lakon yang belum diselesaikan sejak ratusan tahun lalu. Kini ia harus memilih: meneruskan lakon leluhur yang membuat manusia menjadi boneka… atau memutus tradisi dan menghadapi harga yang bahkan sejarah pun tak sanggup menanggung. Tapi satu hal pasti. Di Tebing Merah, semua cerita berakhir sama. Dan tidak semua orang boleh menjadi penontonnya.
Bab 1: Nada Pertama dari Lakon Terlarang

Hujan pertama musim itu turun tanpa mengeluarkan suara. Rintiknya jatuh pelan, namun tanah basah tidak mengeluarkan aroma apa pun. Udara hanya membawa wangi dupa yang seperti tidak pernah padam, meski pendopo rumah tua itu telah kosong selama empat puluh hari.

Setro berdiri di depan gapura kayu yang sudah dipenuhi jamur hijau. Papan nama keluarga masih tergantung di atasnya, tapi tulisannya mulai menghilang dimakan lumut:

Keluarga Aji Kusumo – Dalang & Penjaga Lakon.

Hanya itu. Tidak ada tanggal lahir. Tidak ada gelar. Tidak ada nama lain selain ayahnya.

Semua yang ada di desa Getarokso tampak seperti sengaja dibiarkan tinggal di waktu yang salah. Rumput tak dipotong. Pagar bambu melengkung seperti tulang lama yang tidak sempat dikubur. Jalan tanahnya penuh lubang, namun anehnya, tidak berlumpur meski hujan tak berhenti sejak Setro tiba sore tadi.

Seolah tanah di desa ini menolak basah.

“Sampeyan pulang juga, Tró…” seseorang memanggil pelan.

Seorang lelaki tua muncul dari balik pohon sawo. Bajunya kebesaran, matanya cekung, dan tubuhnya sedikit membungkuk seperti sedang menyembunyikan sesuatu di punggungnya. Setro mengenal wajah itu, meski butuh beberapa detik untuk mengingat nama.

“Pak Wiryono?”

Lelaki itu tersenyum, tapi wajahnya tidak ikut tersenyum.

“Kau sekarang sudah mirip bapakmu,” katanya. “Kalau hanya dari garis wajah, orang bisa salah mengira, Detrino masih hidup dan baru ganti baju.”

Setro hanya membalas dengan anggukan. Ia tidak ingin bicara terlalu banyak. Belum. Ada hal-hal yang ia sendiri belum siap dengar, setelah bertahun-tahun menjauh dari tempat ini. Tempat yang dulu terasa seperti rumah, kini terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai.

Pak Wiryono menatap pendopo lama yang gelap di belakang Setro.

“Sebelum mati, bapakmu bilang… rumah ini nggak boleh ditinggalkan sendirian. Katanya, kalau sampai kosong lebih dari satu malam, akan ada yang pulang.”

“Siapa?” tanya Setro.

Pak Wiryono hanya menunduk, lalu tersenyum dengan bibir mengerut, seolah sedang berbicara dalam bahasa yang tidak boleh didengar telinga manusia.

“Yang menunggu lakon ditutup.”

---

Setro membuka pintu rumah. Engselnya berderit panjang, seperti menjerit bukan karena karat, melainkan karena sesuatu di baliknya tidak ingin ia masuk.

Seluruh ruangan gelap. Hanya lampu minyak di sudut ruangan yang masih menyala, padahal tidak ada yang menyalakannya. Setro mencoba membujuk hatinya dengan logika: mungkin ada tetangga yang masuk untuk menjaga rumah selama masa tahlilan.

Tapi logika itu runtuh ketika ia melihat lantai kayu di ruang tengah.

Debunya tidak terganggu. Tidak ada jejak kaki. Tidak ada tanda kehidupan.

Namun lampu menyala. Dan bau dupa seperti baru dipasang.

Ia berjalan menuju pendopo belakang—tempat ayahnya selalu mementaskan wayang. Ruang itu lebih luas dari rumah utama, sebagian besar dipenuhi gamelan yang ditata rapi. Tidak ada seorang pun yang pernah berani mengubah letaknya. Tidak selama Detrino hidup. Tidak setelah ia mati.

Saat Setro melangkah masuk, hujan tiba-tiba berhenti—seketika, tanpa suara. Udara menjadi sangat sunyi, bahkan suara napasnya sendiri terdengar asing.

Kemudian terdengar…

Ding… deng… deng…

Satu kenong bergetar.

Tidak ada yang menyentuhnya.

Setro terpaku. Jantungnya seakan berhenti berfungsi. Suara itu diikuti nada balungan yang pelan namun tepat, seperti dipukul oleh tangan yang tidak terlihat. Gamelan itu memainkan gendhing lembut… namun sangat kelam.

Gendhing yang hanya ia dengar sekali dalam hidupnya.

Gendhing: Retak Gaib.

Gendhing yang menurut tradisi, hanya boleh dimainkan untuk membuka pintu ke alam lakon. Sebuah ritual yang hanya boleh dilakukan oleh seorang dalang… sebelum memanggil tokoh wayang dari dunia lain agar menyeberang ke dunia nyata.

Detrino pernah berkata kepadanya ketika ia masih kecil:

> “Kalau kau mendengar gendhing itu dimainkan tanpa dalang, jangan lari. Tapi juga jangan menonton. Karena itu berarti dunia sedang kehilangan batasnya.”

Dan kini, gendhing itu dimainkan

di rumah ini.

tanpa dalang.

tanpa pemain.

tanpa manusia.

Setro mundur perlahan, tapi matanya menangkap sesuatu di karpet tempat wayang biasa dipasang. Sebuah kayon tergeletak, tapi bukan kayon biasa.

Kayon itu terbuat dari kulit yang warnanya terlalu gelap untuk kulit kerbau. Hampir hitam. Bentuk pohonnya penuh akar seperti urat hidup, dan di bagian tengahnya… ada wajah manusia.

Wajah yang tidak selesai dibentuk.

Wajah tanpa mata.

Tanpa hidung.

Hanya mulut yang terbuka, seperti sedang hendak memanggil nama.

Dan meskipun tidak mungkin, Setro yakin mulut itu bergerak.

Ia melangkah mundur, tapi punggungnya menabrak sesuatu yang dingin.

Ketika ia menoleh, tubuhnya seketika kehilangan tenaga.

Seseorang berdiri di belakangnya. Atau sesuatu yang menyerupai seseorang.

Bukan manusia.

Tinggi. Terbungkus kain hitam panjang. Wajahnya kering seperti kayu terbakar. Bola matanya besar, hitam, dan kosong, seperti mata wayang yang tidak pernah dipahat selesai. Wajah itu tidak hidup, namun mengawasinya.

Di kepalanya… menempel topeng wayang besar, topeng raksasa.

Topeng Batara Kala.

Makhluk pemakan waktu.

Penjaga lakon yang belum selesai.

Setro tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Sosok itu tidak menatapnya, tapi seolah menunggu. Seperti menguji apakah ia akan bertahan… atau menyerah.

Gendhing terus berbunyi.

Dan di tengah gendhing itu, Setro mendengar sesuatu.

Bukan suara gamelan.

Bukan suara hujan.

Sebuah suara serak… sangat pelan…

“Kowe bali, Setro Aji…”

“Wis wayahe ndelok sing sejatine.”

(Kau pulang, Setro Aji… kini waktunya melihat yang sebenarnya.)

Gendhing berhenti mendadak.

Sosok itu lenyap.

Lampu padam.

Namun bau dupa masih menyala.

Dan di tempat sosok itu berdiri…

sebuah wayang telah tertancap ke lantai.

Wayang berwujud seorang lelaki muda, dengan wajah yang sama persis seperti Setro.

---

Esok paginya, orang-orang desa berkerumun di depan rumahnya.

Mereka tidak menanyakan kabarnya.

Tidak menanyakan perjalanannya.

Tidak memberi ucapan belasungkawa.

Mereka hanya bertanya satu hal:

> “Apa semalam kau menyeberang?”

Setro tidak menjawab.

Mereka menatapnya seperti seseorang yang baru pulang dari tempat yang tidak boleh dikunjungi manusia.

Orang-orang itu membentuk lingkaran, bisik-bisik seperti berbagi dosa.

“Kalau dia sudah mendengar gendhing itu… berarti rumah itu tidak kosong lagi…”

“Lakon belum ditutup…”

“Detrino pasti sengaja memanggil dia pulang…”

Pak Wiryono berdiri paling belakang. Tidak bicara. Hanya memandang Setro seperti seseorang yang sedang menyaksikan naskah yang sudah ia hafal, namun berharap akhir cerita berubah.

Ketika Setro kembali masuk ke rumah, ia menemukan meja kayu di ruang tengah yang semalam kosong, kini terisi sesuatu:

Sebuah naskah wayang lusuh.

Kulit sampulnya hitam kelam.

Di tengahnya tertulis dengan tinta merah:

SULUK TEBING MERAH

— Lakon Terakhir Detrino Aji Kusumo —

Halaman pertama tidak berisi dialog wayang.

Bukan tokoh wayang.

Melainkan sebuah nama.

“Setro Aji, Dalang.”

Dan di bawahnya tertulis kalimat yang membuat darahnya berhenti mengalir:

> “Bila lakon ini tidak ditutup, dunia akan tetap terbuka. Dan semua yang mati… akan terus menonton.”

---

Belum sampai tengah hari, seorang pemuda desa bernama Wasis dikabarkan hilang. Tapi anehnya… malamnya orang-orang melihatnya berjalan di tepi sawah, mengenakan baju yang sama seperti sebelum ia hilang.

Ia tidak menjawab ketika dipanggil.

Ia tidak menoleh.

Ia tidak bernafas.

Dan jejak kakinya tidak meninggalkan bekas di lumpur.

Warga desa bilang itu bukan Wasis.

Itu penonton dari alam lakon.

Dan mereka mulai bertanya-tanya, kapan lakon terakhir akan dimainkan.

Dan siapa yang akan memegang kelirnya.

---

Di malam ketiga, Setro bermimpi.

Ia berdiri di tepi jurang. Jurang itu bukan tanah biasa. Merah. Seperti tanah yang terbuat dari darah kering. Bulan tidak muncul di langit. Tidak ada bintang.

Tebing itu sepi.

tapi ia tahu ia pernah ke sana.

Dan seseorang berdiri di seberang tebing.

Bukan manusia.

Bukan wayang.

Namun membawa wajah ayahnya.

Wajah yang mengikis perlahan menjadi kayu.

Satu-satunya suara yang terdengar adalah gendhing retak gaib.

Dibunyikan tanpa pemain.

Tepat sebelum ia terbangun, suara ayahnya berbisik dari balik kelir hitam:

> “Jangan datang ke Tebing Merah pada bulan mati, kecuali kau siap menjadi dalang terakhir.”

Setro terbangun dengan keringat dingin.

Dan di luar rumah…

gamelan itu berbunyi lagi.

Tanpa pemain.

Tanpa jeda.

Seolah sedang memanggilnya untuk duduk di balik kelir.

Semenjak ia pulang ke Getarokso,

Setro sadar:

Ia bukan sedang kembali ke rumah.

Ia sedang memasuki lakon.

Lakon ini sudah menunggunya jauh sebelum ia dilahirkan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca