Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Mahkota Bayangan

Mahkota Bayangan

Cahaya Petang | Bersambung
Jumlah kata
43.4K
Popular
100
Subscribe
2
Novel / Mahkota Bayangan
Mahkota Bayangan

Mahkota Bayangan

Cahaya Petang| Bersambung
Jumlah Kata
43.4K
Popular
100
Subscribe
2
Sinopsis
PerkotaanAksiMafiaMiliarderPertualangan
Di jantung Kota Astara, sebuah metropolis yang kemewahannya menyembunyikan sisi gelap yang kejam, Arjuna Dirgantara adalah nama yang pernah digumamkan dengan rasa takut sekaligus hormat di kancah "lima keluarga" yang mengendalikan seluruh shadow economy. Setelah insiden tragis yang merenggut segalanya, Arjuna memilih hidup dalam pengasingan, mengubur identitas lamanya sebagai "Si Pedang Malam", seorang eksekutor tak tertandingi. Namun, ketika sebuah konsorsium asing misterius, "The Syndicate", mulai mengancam keseimbangan rapuh antara lima keluarga, memicu perang yang lebih besar dari sebelumnya, Arjuna tidak bisa lagi bersembunyi. Adiknya, Kirana, yang ia pikir telah aman, kini menjadi pion dalam permainan mematikan ini, terpaksa berpihak pada salah satu keluarga. Dengan warisan ayahnya, Bara Dirgantara, seorang pemimpin legendaris yang meninggalkan jejak kekacauan dan misteri, Arjuna harus kembali mengangkat pedang. Ia tak hanya harus menyelamatkan adiknya, tetapi juga mengungkap kebenaran di balik masa lalu keluarganya dan menghentikan perang yang akan meluluhlantakkan Astara. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi tentang merebut kembali Mahkota Bayangan yang dulu ia buang, dan menegakkan keadilan dengan caranya sendiri.
Panggilan Dari Kedalaman

5.986 Hari

Angka itu, 5.986 hari, bukan dihitung dari kelahirannya atau hari pernikahannya. Itu adalah jumlah hari sejak Arjuna Dirgantara terakhir kali menginjakkan kaki di Kota Astara, sejak ia terakhir kali mengucapkan nama ayahnya di depan publik, dan sejak ia membuang gelar "Si Pedang Malam" ke dalam palung sunyi.

Di atas sebuah bukit terpencil di jantung Pulau Seribu Kabut—pulau fiksi yang terlupakan di peta Indonesia—Arjuna menemukan ketenangan yang ia cari. Ia bukan lagi seorang eksekutor, bukan lagi pewaris kekacauan, melainkan hanya Juna, seorang pengrajin kayu yang hidup dari menjual ukiran topeng dan kapal miniatur di pasar desa.

Pagi itu, udara dingin dari puncak bukit menusuk kulit, berpadu dengan aroma kopi robusta lokal yang diseduh di atas tungku. Juna duduk di beranda gubuk kayunya, tangannya yang kekar sibuk mengampelas sepotong kayu jati. Cahaya matahari pagi membiaskan siluet gunung yang diselimuti kabut, menciptakan pemandangan yang—lima tahun lalu—akan ia anggap sebagai ketenangan yang memuakkan. Hari ini, itu adalah nafas.

Satu-satunya teman setianya adalah Gema, seekor anjing Kintamani tua yang setia menjaga ambang pintu. Gema tahu ritme hidup Juna; jam 05.00 pagi bangun, 05.30 kopi, 06.00 mengukir. Rutinitas itu adalah benteng yang ia bangun untuk menahan kenangan dan penyesalan.

Namun, ketenangan, layaknya pasir yang digenggam, selalu punya cara untuk terlepas.

Tepat pukul 07.00, sebuah drone pengantar paket melayang turun dan mendarat perlahan di halaman depan gubuk Juna. Di Pulau Seribu Kabut, ini adalah pemandangan aneh. Juna segera tahu, bentengnya telah ditembus. Ia menghentikan kegiatan mengampelasnya, matanya yang tajam dan gelap menatap bungkusan itu dengan sorot mata yang sudah lama tidak ia gunakan. Mata Si Pedang Malam.

"Kau kenal baunya, Gem?" gumam Juna, tanpa mengalihkan pandangan dari paket tersebut. Gema hanya mendengus, bulu di tengkuknya sedikit berdiri. Anjing tua itu tahu, ada bau bahaya yang dibawa angin dari kota.

Paket itu berbentuk kotak kayu kecil, dibungkus dengan kain sutra cokelat tua. Di atasnya, tersemat sebuah kartu nama dari kertas daur ulang tebal dengan logo cap burung elang dan tulisan tinta emas yang mewah: Anindita Prawira, Prawira & Associates.

Juna mengenali nama itu. Anindita Prawira, salah satu dari lima penguasa bayangan di Astara, wanita paling cerdik dan manipulator di kancah keuangan gelap, yang kini memimpin Keluarga Prawira. Wanita itu adalah sekutu yang paling berbahaya, yang kini mengiriminya pesan ke pelosok dunia.

Dengan gerakan yang cepat namun teratur, Juna mengambil sebilah pisau kecil dari balik pinggangnya—senjata yang ia sembunyikan di mana pun ia pergi, bahkan di tempat pengasingan—dan memotong kain sutra itu. Di dalamnya, ada dua benda: sebuah flash drive hitam polos dan sebuah jam tangan analog klasik.

Jam tangan itu... Jantung Juna berdesir cepat. Itu adalah jam tangan edisi terbatas, model yang sama persis yang ia hadiahkan kepada adiknya, Kirana Dirgantara, pada ulang tahunnya yang ke-20. Dial-nya pecah, dan jarum jamnya berhenti tepat di angka 03.15.

Juna tahu, ini bukan hadiah. Ini adalah pesan.

Ia segera mencolokkan flash drive itu ke laptop bututnya. Layar langsung menampilkan file video yang terproteksi. Juna mengetikkan kata kunci yang hanya diketahui oleh dirinya dan Kirana: LUKA BARAKU.

Video itu dimulai. Bukan rekaman Kirana, melainkan rekaman CCTV buram dari sebuah gudang tua di Pelabuhan Astara. Rekaman itu memperlihatkan Kirana, yang kini tampak lebih kurus dan kelelahan, sedang berdebat sengit dengan seorang pria bertubuh besar dan berotot—salah satu enforcer dari Keluarga Wijaya, penguasa jalur logistik.

Debat itu berubah menjadi kekerasan. Pria itu menarik Kirana dengan kasar, mencoba merebut sebuah dokumen dari tangannya. Kirana melawan, wajahnya tegang dan matanya penuh ketakutan, tapi juga perlawanan. Adegan berakhir saat Kirana dipukul keras, dan video itu tiba-tiba terputus, diiringi bunyi desis dan layar hitam.

Juna mengepalkan tangannya di atas meja. Rasa damai yang ia rawat selama 5.986 hari hancur berkeping-keping dalam sepuluh detik.

Pesan kedua muncul di layar laptopnya: sebuah file teks tanpa judul.

"Si Pedang Malam,

Kirana tidak mati. Belum.

Ia kini berada dalam perlindungan (sebagai 'tahanan' yang berguna) Keluarga Suryanegara, bersembunyi di balik jubah ambisi Dara. Tapi perlindungan itu hanya sementara, sebuah tawar-menawar yang rapuh.

Tiga hari. Astara akan dikoyak. The Syndicate datang dan mereka tidak meminta izin, mereka mengambil.

Aku butuh kau. Astara butuh kau. Jika kau ingin adikmu selamat, datanglah.

Titik koordinat menyusul. Waktu terus berjalan, Arjuna.

– A.P."

Arjuna bangkit dari kursinya. Ia memandang ke luar, ke arah kabut yang perlahan mulai naik, menenggelamkan pepohonan.

Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Janji yang ia buat pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi berlumuran darah, harus dilanggar demi janji yang lebih suci: menyelamatkan satu-satunya keluarga yang tersisa.

Ia berjalan ke sudut ruangan, menarik sebuah karung goni tua yang selama ini hanya berisi serpihan kayu. Di bawah karung itu, tersembunyi sebuah koper aluminium yang usang. Juna membuka koper itu. Di dalamnya, tersimpan rapi: serangkaian pisau lempar ringan, sebuah set kunci master untuk membobol kunci elektronik, dan selembar kain hitam yang pernah menjadi topengnya.

Tangan Juna menyentuh kain hitam itu. Rasa dingin menjalar dari kain ke seluruh lengannya. Di luar gubuk, Gema berdiri, menatap Juna dengan mata sedih namun mengerti.

"Maaf, Gem," ujar Juna, suaranya serak. "Pahlawan tua ini harus pergi. Rumah harus dibangun ulang, dan aku harus mulai dengan membakar sarang laba-laba itu sampai ke akarnya."

Ia mengenakan jaket kulit tebalnya, mengikat sheath pisaunya ke paha, dan memasukkan koper aluminium itu ke ranselnya. Ia bukan lagi Juna, pengrajin kayu.

Ia adalah Arjuna Dirgantara, Si Pedang Malam, yang kembali dari pengasingan setelah 5.986 hari.

Dan ia datang untuk mengambil kembali apa yang jadi miliknya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca