

Udara di Istana Lumina dingin dan lembap, membawa aroma samar dupa dari Kuil Matahari—bau tembaga dan melati kering yang selalu mengingatkan Elias akan tugas dan takdirnya yang berat. Dari jendelanya yang berbentuk lengkung, Elias Vancroft, Putra Mahkota berusia dua puluh tahun, menatap ke hamparan Kerajaan Aethel yang bermandikan cahaya fajar. Ini adalah pemandangan yang seharusnya memberinya kedamaian; negeri yang makmur, dilindungi oleh Cahaya suci yang disahkan oleh para Priest. Namun, yang ia rasakan hanyalah beban dingin yang menekan di ulu hatinya, beban rahasia yang ia bawa sendirian.
Tepat di bawah kulitnya, tersembunyi jauh di dalam inti sihirnya, berdenyutlah sesuatu yang lain—bukan Cahaya yang murni dan bersih, melainkan Bayangan. Kekuatan terlarang. Sihir Bayangan.
Sudah lima tahun ia berhasil menyembunyikannya, sejak manifestasi pertama yang mengerikan terjadi di tengah pelajaran meditasi Cahaya. Ketika semua rekannya menghasilkan kilauan keemasan yang lembut, dari tangannya merayap kabut ungu gelap yang terasa seperti es yang membakar. High Lord Cassian, Kepala Kuil dan mentor sihirnya, segera menyadari anomali itu. Cassian, yang memiliki aura ketenangan layaknya batu granit, telah menatap Elias dengan tatapan yang nyaris tidak terdeteksi terkejut sebelum cepat-cepat menutupi kejadian itu. "Pangeran," bisik Cassian saat itu, suaranya sedingin angin pegunungan, "Kau tidak boleh memberi tahu siapapun tentang ini. Jika dunia tahu, mereka akan melihatmu sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. Kita akan melatihnya secara rahasia, dan kau harus menguasai Bayangan agar Cahaya tetap terlihat di luarmu." Sejak saat itu, setiap malam, Elias menyelinap ke ruang rahasia di bawah menara utara untuk berlatih dengan Cassian. Pelatihan Bayangan adalah sebuah kontradiksi yang menyiksa; ia diajari untuk memanggil kekuatan yang menurut kitab suci Kuil adalah kejahatan murni, demi menjaga citra suci yang sama yang ia harus wakili.
Pagi ini, bebannya terasa lebih berat dari biasanya. Ayahnya, Raja Theron, sudah dua hari tidak terlihat sejak ia pergi untuk pertemuan mendesak dengan para Tetua Perbatasan. Kamar Raja disegel, dijaga oleh Pengawal Kuil dengan baju besi perak, bukan Pengawal Kerajaan biasa. Sebuah anomali yang mencolok.
Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Itu adalah Lyra Alaris, sarjana muda dari Kuil, sekaligus teman masa kecilnya yang paling tepercaya. Lyra, dengan rambut cokelat madu dan mata hijau cerdasnya, masuk membawa nampan sarapan—teh hangat yang wangi dan roti manis.
"Kau terlihat seperti tidak tidur selama berminggu-minggu, Elias," kata Lyra, menempatkan nampan itu di meja marmer. Lyra selalu memiliki cara untuk melihat melampaui façade Pangeran. "Bukan karena sihir terlarang lagi, kan?"
Elias memaksakan senyum tipis. "Bukan. Ini Ayah. Cassian terus berkata ini hanya masalah keamanan di Perbatasan, tetapi... aku merasakan sesuatu yang salah. Raja Theron tidak pernah menghilang begitu saja."
Lyra duduk di tepi sofa, aura kehangatan mengalir dari dirinya. Lyra adalah satu-satunya orang di luar Cassian yang tahu sedikit tentang rahasia Bayangannya—ia mengira itu hanya kelemahan sihir, bukan afinitas sejati. Elias menjaganya dengan hati-hati dari kebenaran penuh. "Cassian adalah Kepala Kuil, Elias. Kepercayaannya adalah yang kita butuhkan sekarang. Dia akan memastikan keamanan kerajaan, dan juga keamananmu."
Lyra benar. Kepercayaan Cassian adalah fondasi terakhir yang tersisa. Setelah ibunya meninggal, Cassianlah yang membimbingnya, mengajarkannya sihir Cahaya, dan kemudian, sihir Bayangan terlarang demi kelangsungan hidupnya.
"Aku akan mengunjungi Cassian lagi," kata Elias, mengenakan jubah beludru biru tua yang disulam dengan benang emas. Lambang Aethel—singa yang berdiri tegak—terasa berat di dadanya. "Aku harus tahu apa yang terjadi."
Ia meninggalkan kamarnya, melewati lorong-lorong batu yang dihiasi patung-patung Malaikat Cahaya. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas kaca rapuh.
Cassian menunggu di Ruang Meditasi Kuil, sebuah ruangan melingkar dengan dinding kristal yang membiaskan cahaya matahari menjadi spektrum pelangi yang menenangkan. Pria paruh baya itu berdiri tegak, tangannya yang terlipat rapi di balik punggungnya. Janggutnya yang rapi berwarna putih keperakan, kontras dengan matanya yang gelap dan tajam.
"Pangeran Elias," sambut Cassian, suaranya tenang. "Kau datang mencari kejelasan."
"Aku butuh kebenaran, High Lord," balas Elias, tanpa basa-basi. "Ayah sudah hilang. Kamarnya disegel. Ada apa dengan Tetua Perbatasan? Aku adalah Putra Mahkota, aku berhak tahu apa yang mengancam Aethel."
Cassian menoleh, menatap Elias lurus-lurus. Cahaya dari kristal-kristal itu memandikan Cassian dalam aura kesucian yang hampir menyilaukan. "Pangeran, aku telah melindungi reputasimu selama bertahun-tahun. Kau tahu betapa berbahayanya jika ada yang mencurigaimu—terutama saat Kerajaan sedang rentan." Cassian menarik napas dalam. "Aku tidak bisa lagi menyembunyikannya. Raja Theron... dia tidak akan kembali."
Dunia Elias runtuh. Kata-kata itu, diucapkan dengan ketenangan yang mengerikan, terasa seperti bilah es yang menembus jantungnya. "Apa... apa maksudmu? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya?"
"Kami menemukannya tadi malam," lanjut Cassian, tanpa ekspresi. "Di sebuah situs ritual kuno, di luar pengawasan Kuil. Ada indikasi penggunaan sihir yang sangat gelap. Sihir Bayangan, Elias. Sihir yang identik dengan apa yang kau sembunyikan."
Elias tersentak mundur. "Tidak! Aku tidak pernah menyakiti Ayah! Aku bahkan tidak pernah menggunakan kekuatan itu kecuali untuk latihan rahasia denganmu! Itu adalah kebohongan!"
"Tenang, Pangeran," ujar Cassian, mendekat perlahan. "Aku tahu kau tidak melakukannya. Aku tahu kau tidak memiliki kendali penuh atas kekuatan itu, dan kau tidak memiliki motif. Tetapi, sayangnya, bukti yang ditemukan Kuil akan mengarah kepadamu." Cassian memegang pundak Elias. "Seseorang di antara Tetua yang tahu kau menyembunyikan Bayangan pasti melakukan pembunuhan itu dan membingkaimu. Mereka menginginkan keruntuhan garis keturunan Vancroft. Kau harus segera bertindak."
"Bertindak bagaimana?" Suara Elias bergetar, antara kesedihan mendalam atas ayahnya dan ketakutan akan tuduhan pengkhianatan.
"Kau harus melaksanakan ritual Penobatan dan Pemurnian sihir sekarang juga," desak Cassian. "Dengan Raja tiada, kau harus naik takhta hari ini. Jika Penobatan itu sukses—jika kau mampu memancarkan Cahaya murni yang dibutuhkan—itu akan menghapus semua keraguan di mata para Lord dan Kuil. Kita akan menunda penyelidikan sampai kau aman di atas takhta."
Ritual Penobatan dan Pemurnian adalah ujian sihir tertinggi; di depan seluruh dewan, raja baru harus menunjukkan Cahaya yang kuat dan murni yang mampu menghalau sedikit pun kegelapan. Jika ia gagal, ia akan dianggap najis dan tidak layak—atau lebih buruk, dicurigai sebagai pengguna Bayangan.
Elias tahu ia tidak bisa menghasilkan Cahaya murni. Tidak setelah lima tahun menekan dan secara rahasia melatih Bayangan. Kekuatan terlarang itu kini terlalu dalam di tulangnya.
"Aku... aku tidak bisa," bisik Elias, merasa mual.
"Kau harus," tegas Cassian, tatapan matanya mengeras. "Atau mereka akan menemukan Raja tewas, dan kecurigaan akan langsung tertuju pada putra tunggalnya yang terkenal memiliki masalah sihir. Kau tidak punya pilihan. Percayalah padaku, Pangeran. Aku satu-satunya yang masih percaya padamu."
Terjebak di antara kematian ayahnya dan kebutuhan untuk menyelamatkan Kerajaan dari kehancuran politik, Elias mengangguk lemah. Ia harus melakukannya.
Ritual Penobatan ditetapkan hanya dalam beberapa jam. Berita tentang kematian Raja menyebar seperti api, mengubah suasana berkabung istana menjadi histeria dan bisikan panik. Ketika Elias melangkah ke podium marmer di Aula Penobatan, mengenakan jubah baru yang terasa seperti kain kafan, ia melihat ratusan pasang mata menatapnya. Para Lord, para Lady, dan yang paling penting, para Priest dari Kuil, yang dipimpin oleh Cassian.
Lyra berdiri di antara para sarjana, matanya dipenuhi kecemasan dan keyakinan yang tulus. Lyra memberinya anggukan penyemangat, yang hanya memperburuk rasa bersalah Elias karena merahasiakan kebenaran darinya.
Cassian memulai ritual dengan lantunan kuno Kuil Matahari. Ruangan itu dipenuhi energi Cahaya yang menindas. Langkah demi langkah, ia membimbing Elias ke tengah ruangan, di mana sebuah altar batu berisi Mahkota Emas Aethel yang berkilauan.
"Putra Mahkota Elias Vancroft," suara Cassian menggema di Aula. "Kau telah dipanggil untuk membuktikan layak tidaknya dirimu memimpin Aethel. Berikan jiwamu kepada Cahaya, dan biarkan kebenaranmu menjadi perisai bagi Kerajaan."
Elias mengulurkan tangan ke atas altar. Ini adalah saatnya. Ia menutup mata, mencoba mengerahkan setiap ons kekuatan sihir Cahaya yang ia miliki. Ia mencoba mengingat semua pelajaran Cassian tentang kemurnian dan pengabdian.
Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan yang familiar. Kemudian, kehangatan itu berubah menjadi dingin yang menjalar, dan Cahaya keemasan yang seharusnya muncul dari tangannya terhenti.
Sebaliknya, ada getaran. Getaran yang bukan dari Cahaya.
Di hadapan seluruh dewan, alih-alih pancaran emas suci, dari tangan Elias mulai mengalir kabut tipis berwarna ungu gelap—Bayangan.
Kepala Priest di barisan depan terkesiap. Bisikan panik menyebar di antara para Lord. Bayangan itu kecil, hanya seperti asap tipis, tetapi kehadirannya di tengah Ritual Pemurnian adalah pengkhianatan yang paling jelas.
"Tidak!" seru Elias dalam hati, mengerahkan seluruh kemauan untuk menekan kegelapan itu.
Tetapi Bayangan itu merespons tekanan, bukannya menghilang. Kekuatan terlarang itu, yang selama ini ia latih secara rahasia, kini meledak keluar dari kendali. Kabut ungu itu menyelimuti kedua tangannya, menghalangi cahaya emas Mahkota di altar.
Tiba-tiba, Cassian melompat maju. Wajahnya dipenuhi kengerian yang meyakinkan. "Pengkhianatan! Sihir Terlarang! Pangeran Elias, kau menajiskan Ritual ini!"
Elias merasa dikhianati dan bingung. Mengapa Cassian, mentor rahasianya, malah mengungkapnya?
"High Lord Cassian!" teriak Elias. "Kau tahu ini bukan aku!"
"Pengawal!" Cassian berteriak, mengabaikan Elias sepenuhnya. "Tangkap Pengkhianat ini! Dia telah membunuh Raja dan mencoba mengambil alih tahta dengan Sihir Gelap!"
Pengawal Kuil bergegas maju, pedang mereka terhunus. Dalam kepanikan dan kemarahan, naluri Elias mengambil alih. Bayangan di tangannya merespons ketakutan dan kemarahannya. Kabut ungu itu berputar menjadi pusaran energi, memukul mundur Pengawal yang paling dekat.
Lyra berteriak, namanya tercampur dengan seruan ketakutan para Lord yang berlarian mencari perlindungan.
Elias tahu ia sudah tamat. Ia dicap. Ia adalah pengkhianat. Ia adalah pembunuh Raja.
Dengan Bayangan melilit di sekelilingnya, dan suara teriakan kemarahan Cassian yang menggema di telinganya, Elias menatap Mahkota Emas itu sekali lagi, sebelum ia berbalik dan melompat keluar dari jendela besar Aula Penobatan, meninggalkan Istana Lumina dan masa lalunya.
Ia jatuh ke dalam Kabut Terlarang. Perjalanan panjang dan penuh bahaya baru saja dimulai.