Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Saintess yang menyentuh luka Sang Iblis

Saintess yang menyentuh luka Sang Iblis

maila.nee | Bersambung
Jumlah kata
24.6K
Popular
100
Subscribe
3
Novel / Saintess yang menyentuh luka Sang Iblis
Saintess yang menyentuh luka Sang Iblis

Saintess yang menyentuh luka Sang Iblis

maila.nee| Bersambung
Jumlah Kata
24.6K
Popular
100
Subscribe
3
Sinopsis
18+PerkotaanAksiKriminalPembunuhan21+
Tahun 1990, di sebuah daerah pegunungan terpencil yang dikepung hutan angker dan jalan setapak berbatu, nama Kael Rivenhart menjadi momok paling menakutkan. Ia bandit paling bengis di utara—seorang pembantai yang tumbuh dalam kekerasan, tidak mengenal belas kasih, dan hidup sebagai iblis bagi siapapun yang menghalangi jalannya. Namun ketika sebuah pembantaian besar berakhir kacau, Kael terluka parah dan kabur menuju desa sunyi yang bahkan tidak tercatat di peta. Di tengah badai malam, Kael pingsan di depan Gereja St. Mirielle, tempat seorang gadis suci bernama Saintess Althea Mireille melayani. Althea dikenal penduduk sebagai mukjizat hidup—ia lembut, penuh kasih, dan bisa menyembuhkan luka dengan cara yang tidak dapat dijelaskan. Namun di balik senyum dan cahaya sucinya, ia menyembunyikan kesedihan dan rahasia yang tak seorang pun tahu. Ketika Althea menemukan Kael hampir mati, ia tidak mengusirnya, tidak melapor pada penjaga desa, bahkan tidak takut. Ia membawanya masuk, merawat lukanya, dan menyentuhnya dengan tangan bersih yang tak seharusnya menyentuh iblis seperti Kael. Bagi Kael, belas kasih itu adalah penghinaan. Bagi Althea, itu adalah panggilan hatinya. Bagi pembaca, itu adalah awal dari hubungan tak sehat yang makin mengikat. Saat Kael pulih, ia mulai menyadari bahwa biara tempat Althea tinggal bukan sekadar rumah orang suci. Ada lorong-lorong terlarang, suara doa yang terdengar seperti kutukan, serta hilangnya beberapa biarawati yang tidak pernah dibicarakan. Pendeta-pendeta tua di gereja tampak lebih seperti penjaga rahasia kelam daripada pemimpin rohani. Dan Althea—yang disembah sebagai saintess—ternyata adalah tawanan tak terlihat. Kekuatan sucinya dimanfaatkan dalam ritual gelap yang dibenarkan atas nama “pembersihan dosa.” Ia tidak pernah benar-benar bebas. Kael yang awalnya hanya ingin pulih dan pergi, mulai merasakan sesuatu yang tidak ia inginkan: keterikatan. Obsesinya pada Althea tumbuh dari ketertarikan menjadi kebutuhan. Sementara Althea, yang seharusnya takut pada pria sekejam Kael, justru merasakan bahwa Kael adalah satu-satunya yang tidak memanfaatkan kekuatannya. Ketika gereja memutuskan bahwa Althea harus “diserahkan” untuk ritual terakhir—ritual yang akan menghabisi hidupnya—Kael menjadi satu-satunya harapan gadis suci itu. Namun menyelamatkan Althea berarti menghancurkan gereja yang menguasai seluruh desa. Dan jika Kael melakukannya, dunia luar tidak akan hanya memburunya sebagai pembantai… tapi sebagai iblis yang menantang institusi suci. Di tengah lorong gelap, suara doa palsu, dan konspirasi yang menusuk hingga ke inti kekuasaan, Kael dan Althea terseret ke dalam perjuangan yang memadukan: ketakutan, obsesi, kesucian yang tercemar, serta keinginan untuk bebas, bahkan jika kebebasan itu harus dibayar dengan darah. Pada akhirnya, hanya satu hal yang pasti: cahaya dan kegelapan tidak pernah lahir untuk menyatu… tetapi keduanya tak bisa sepenuhnya saling meninggalkan.
Bab 1 - Luka yang disembunyikan malam

Hujan turun seperti jarum-jarum dingin yang menusuk tanah berdebu, menenggelamkan suara langkah kuda yang telah lelah. Di tengah gelapnya malam tahun 1990 itu, tidak ada lampu jalan, tidak ada mobil patroli, tidak ada suara mesin—hanya hembusan angin yang menyapu hutan pinus dan derap langkah binatang liar yang mengintai.

Kael Rivenhart menarik tali kekang kudanya dengan susah payah. Darah menetes dari sisi tubuhnya, menodai mantel hitam yang sudah menjadi tanda kebengisan dirinya. Luka tembak di pinggangnya masih mengucurkan panas yang menyiksa. Dia telah melakukan banyak hal dalam hidupnya—menjarah, membantai, memeras, menghancurkan—tapi malam ini, dunia seolah membalas semuanya sekaligus.

Angin dingin membawa aroma tanah basah, bercampur bau besi dari darahnya sendiri.

“Sialan…,” Kael mengumpat pelan. Nafasnya berat. Setiap gerakan membuat luka berdenyut seperti dipukul dari dalam.

Ia tidak tahu sudah melewati berapa desa, berapa sungai, atau berapa banyak jejak yang ia tinggalkan. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia harus bertahan hidup. Tidak ada cara lain. Ia tidak pernah menjadi orang yang hidup demi orang lain—hidupnya selalu tentang bertahan, memukul, dan tidak mati.

Tapi malam ini, tubuhnya mulai menyerah.

Ia merosot dari kudanya, jatuh berlutut di tanah. Sesaat, pandangannya kabur. Hujan mengguyur rambut hitamnya, menempelkan helainya ke wajahnya. Ia menahan rasa sakit, menggertakkan gigi, namun lututnya goyah.

“Bangun…” gumamnya pada dirinya sendiri.

Namun tubuhnya tidak mematuhi.

Dengan tangan penuh lumpur, Kael berusaha bangkit. Tapi dunia berputar, langit seolah jatuh ke tanah, dan suara gemuruh badai membuat kepalanya berdenyut.

Lalu ia melihat sesuatu di kejauhan.

Sebuah bangunan besar, tegap, gelap, berdiri melawan badai seperti makhluk tua yang menolak mati. Lampu-lampu kecil dari celah jendela berpendar redup, terhalang tirai tebal. Salib besar berdiri di puncaknya, tampak seperti bayangan raksasa di tengah hujan.

Gereja.

Kael hampir tertawa karena ironi. Tempat yang paling membenci dirinya, tempat yang mengajarkan belas kasih yang tidak pernah ia dapat, tempat yang menjadi simbol sesuatu yang ia anggap lelucon besar.

Tapi itu satu-satunya tempat yang terlihat.

Ia menyeret langkahnya, lututnya hampir tidak berfungsi. Setiap langkah seperti berjalan di atas pisau. Hujan terus menampar wajahnya, mencuci darah di pipinya.

Ketika akhirnya ia sampai di depan pintu besar gereja itu, ia mengangkat tangan untuk mengetuk—lalu tubuhnya menyerah. Ia jatuh ke tanah dengan suara berat. Pandangannya gelap. Napasnya tercekat.

Sebelum kesadaran hilang, ia melihat terang yang aneh.

Bukan dari lampu.

Bukan dari kilat.

Melainkan… dari seseorang yang muncul di ambang pintu.

Seseorang yang memakai kerudung putih, dengan wajah lembut dan mata bening.

Seseorang yang tampak seperti cahaya di tengah kegelapan paling pekat.

---

Suara hujan menjadi samar ketika Kael membuka matanya lagi. Ia merasakan sesuatu yang asing: kehangatan. Aroma herbal. Dan… kelembutan yang nyaris tidak pernah ia rasakan.

Tubuhnya berbaring di atas kasur sederhana, dengan selimut wol tipis menutupi dada telanjangnya. Luka di pinggangnya masih sakit, tapi rasa sakit itu berubah menjadi denyut yang terukur, bukan lagi ledakan liar seperti sebelumnya.

Ruangan itu kecil—hanya diterangi cahaya lilin di sudut meja. Dinding batu berwarna abu-abu basah, dipenuhi bayangan bergoyang. Tidak ada dekorasi mewah. Tidak ada emas. Hanya kesunyian yang terasa suci.

Ia mencoba bangun, tapi tangan seseorang mendorongnya perlahan.

“Jangan bergerak, berbaring saja.”

Suara itu lembut, bening, namun tegas. Suara yang membuat Kael mengernyit, seolah telinganya tidak terbiasa mendengar nada seperti itu.

Matanya fokus.

Dan di sanalah ia melihat perempuan itu.

Seorang gadis muda berkerudung putih, wajahnya temaram di bawah cahaya lilin. Mata birunya memancarkan ketenangan, dan tangan kecilnya bergerak hati-hati merawat luka di tubuh Kael dengan kain basah.

Ia pernah melihat banyak wajah. Wajah ketakutan, wajah benci, wajah marah. Tapi ia belum pernah melihat wajah seperti ini—wajah yang tidak menilai, tidak takut, tidak menghakimi.

Hanya… ada kesedihan halus di mata itu.

Kesedihan yang seolah ia bawa sejak lahir.

“Siapa kau?” Kael bertanya dengan nada keras, suara serak namun tetap penuh ancaman.

Gadis itu mengangkat wajahnya. Ia tersenyum kecil, hampir seperti senyum yang tidak seharusnya ia berikan pada orang yang sedang ditemukannya sekarat di pintu.

“Aku Saintess Althea,” jawabnya pelan. “Kau pingsan di depan gereja. Jadi… aku membawamu masuk.”

Kael tertawa pendek, pahit.

“Kau bodoh atau apa? Tidak tahu siapa aku?”

Althea menatapnya dengan tenang. “Aku tahu.”

Kael terdiam untuk sepersekian detik. Althea melanjutkan tanpa gentar:

“Wajahmu tersebar di banyak wilayah utara. Kael Rivenhart, bandit paling berbahaya yang pernah dicari penjaga perbatasan. Pembantai dari Redwater. Penghancur pos dagang Estenhal…”

Nada suaranya tidak bergetar, meski mulutnya menyebut hal-hal mengerikan itu. Ia tetap sibuk dengan kegiatan nya tanpa menatap Kael sedikit pun.

Kael tergerak untuk bangkit, ingin memperlihatkan ancaman, tetapi Althea menahan dadanya dengan tangan lembut.

“Kau kehilangan banyak darah. Jika kau memaksakan diri, kau bisa mati sebelum matahari terbit.”

Kael memandangi tangan kecil yang menyentuhnya. Tidak ada keraguan. Tidak ada gentar. Tidak ada jijik.

Ia membenci itu.

Dan entah kenapa, ia tidak bisa mengusirnya.

“Kenapa kau menolongku?” Kael mendesis. “Aku bisa membunuhmu dengan mudah.”

Althea menurunkan tangannya perlahan. “Karena kau terluka.”

“Itu bukan jawaban.”

Ia menatap Kael lama, lalu berkata pelan:

“Karena aku melihat seseorang yang kesakitan… bukan seorang iblis.”

Kata-kata itu menampar sesuatu di dalam Kael.

Bagian yang ia kubur.

Bagian yang seharusnya tidak pernah disentuh siapa pun.

Kael mendelik. “Kau tidak tahu apa-apa tentang aku.”

“Aku tahu kau manusia,” jawabnya lembut. “Dan semua manusia pantas diselamatkan.”

Kael mendengus tajam. “Itu kebohongan orang suci. Dunia tidak seperti itu.”

“Tapi aku bukan orang suci yang kau pikir.” Mata Althea meredup. “Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan.”

Kael memperhatikan gadis itu lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Kelembutan itu bukan kelemahan. Itu… luka.

“Berapa lama aku sudah di sini?” Kael bertanya.

“Setengah malam,” jawab Althea sambil memeriksa perban. “Kau demam, tapi tubuhmu kuat.”

Ketika ia menyentuh kulit Kael, lelaki itu mengencangkan rahangnya. Ia tidak pernah nyaman dengan sentuhan orang lain. Entah kenapa, sentuhan Althea terasa seperti mengingatkan tubuhnya bahwa ia bukan hanya alat penghancur.

Dan itu mengganggu.

“Ada yang mengejarmu?” Althea bertanya hati-hati.

Kael tidak menjawab. Ia menatap lilin yang berkedip-kedip.

Althea menghela nafas, seolah sudah menduga. “Kalau begitu… kau aman di sini untuk sementara.”

Kael menatapnya tajam. “Tidak ada tempat yang aman untukku.”

“Setidaknya biarkan aku mencoba,” kata Althea lagi, dengan suara yang sangat lembut sehingga membuat Kael marah tanpa sebab.

Ia benci kelembutan itu.

Ia benci bagaimana kelembutan itu menembus pertahanan dirinya.

“Terserah…” gumam Kael akhirnya. “Tapi jangan pikir aku berutang apapun padamu.”

Althea tersenyum kecil. “Aku tidak mengharapkan balasan.”

Kael menoleh, frustasi. “Kau terlalu baik untuk dunia ini.”

Althea menggeleng. “Tidak, Kael. Aku hanya berusaha tetap hidup… dengan caraku.”

Nada suaranya berubah—lebih gelap, lebih menyakitkan. Seolah kata-kata itu mengandung sejarah panjang penderitaan yang tidak ia sampaikan.

Kael menatap gadis itu, dan untuk pertama kalinya… ia melihat ketakutan di balik lembutnya mata itu. Ketakutan yang bukan berasal dari dirinya.

Ia membuka mulut untuk bertanya, tapi suara langkah-langkah berat terdengar di lorong gereja. Althea langsung berdiri, merapikan kerudungnya.

“Diamlah,” katanya pelan. “Dan jangan bersuara.”

Kael mengernyit. “Siapa itu?”

Althea menjawab lirih, “Seseorang yang tidak boleh tahu bahwa kau ada di sini.”

Kael menegang. Tangan Althea menyentuh bahunya sebentar—sentuhan singkat, tapi cukup untuk menunjukkan ketakutan yang nyaris tidak terlihat.

“Percayalah padaku… untuk malam ini saja.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kael Rivenhart—sosok bengis yang menjadi mimpi buruk banyak orang—tidak tahu apakah ia harus merasa curiga…

atau terguncang oleh cahaya kecil yang baru saja menenangkannya.

Cahaya yang mungkin akan menghancurkannya.

Atau mungkin… menyelamatkannya.

---

BAB 1 selesai.

Lanjut membaca
Lanjut membaca