Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Midnight Circus: Absolute Zero

Midnight Circus: Absolute Zero

Extra7 | Bersambung
Jumlah kata
53.2K
Popular
100
Subscribe
3
Novel / Midnight Circus: Absolute Zero
Midnight Circus: Absolute Zero

Midnight Circus: Absolute Zero

Extra7| Bersambung
Jumlah Kata
53.2K
Popular
100
Subscribe
3
Sinopsis
18+FantasiIsekaiKerajaanZero To HeroSi Genius
Judul: Midnight Circus: Absolute Zero Satu malam jahanam mengubah segalanya bagi Aiden. Desa Eidenberg yang damai luluh lantak oleh Dungeon Outbreak, merenggut masa kecilnya dan sosok yang paling ia cintai. Di tengah puing-puing kehancuran, Aiden mewarisi "Sirkuit Sihir" dari ibunya dan sebuah sumpah darah: ia akan memburu dalang di balik bencana ini, Kultus Mata Merah.
Bab 1: Hujan di Tanah Debu

Matahari menggantung tinggi di langit Lembah Sulvara, bagaikan mata raksasa yang tak kenal lelah menatap hamparan tanah di bawahnya. Di sini, Desa Eidenberg, panas bukanlah sekedar suhu. Ia adalah entitas fisik yang menekan pundak, mengeringkan kerongkongan, dan mengubah tanah menjadi debu halus yang menyelimuti segalanya.

"Aiden, tolong ambilkan ember yang di sana, Nak."

Suara lembut itu memecah keheningan siang yang terik. Aiden, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun dengan rambut cokelat acak-acakan dan mata biru cerah, segera menegakkan punggungnya. Ia menyeka keringat yang membanjiri dahinya dengan punggung tangan yang kotor oleh tanah.

"Siap, Bu!" seru Aiden penuh semangat.

Ia berlari kecil melintasi alur-alur tanah kering yang membelah ladang jagung kecil milik keluarga mereka. Di ujung ladang, seorang wanita berdiri dengan anggun, seolah panasnya matahari tidak berani menyentuh kulitnya.

Itu adalah Rihanna, ibunya. Wanita yang paling cantik di seluruh desa, setidaknya menurut Aiden dan ayahnya.

Di dekat kaki Rihanna, seorang gadis sedang duduk berjongkok. Gadis Itu Silvie, adik Aiden.

Rambutnya berwarna biru muda, warisan genetik ibunya yang kuat. Diikat rapi agar tidak mengganggu lehernya yang berkeringat. Mata kuning cerahnya yang seperti topaz, menatap intens ke arah tanah yang retak.

Ia tidak sedang bermain kotor-kotoran. Di tangannya, ia memegang ranting kecil. Mencoba membalikkan seekor kumbang tanah yang terbalik dan kepanasan.

"Kak Aiden, lihat," panggil Silvie tanpa menoleh, suaranya terdengar prihatin namun kritis. "Kumbang ini bersembunyi di balik bayangan daun jagung. Serangga ini tahu kalau dia tetap di tanah terbuka, cangkangnya akan terpanggang."

Aiden tersenyum kecil sambil meletakkan ember kayu di dekat ibunya. Ia menyeka keringat dan mendekati adiknya.

"Itu namanya insting bertahan hidup, Silvie. Makhluk sekecil itu pun tahu bahayanya matahari Eidenberg," jawab Aiden.

Silvie mendongak, menatap kakaknya dengan serius. "Kalau begitu, kita beruntung punya Ibu, kan? Kalau tidak ada hujan buatan Ibu, mungkin kita juga harus sembunyi di bawah daun seperti kumbang ini."

"Benar sekali," sahut Aiden sambil mengacak puncak kepala adiknya gemas. "Makanya, jangan lupa berterima kasih nanti."

Rihanna tertawa kecil mendengar percakapan cerdas kedua anaknya. Suaranya terdengar seperti lonceng angin di tengah gurun.

"Anak-anak Ibu pintar sekali. Sekarang, mundur sedikit ya. Kasihan kumbang dan jagung-jagungnya sudah kehausan.”

Aiden segera menarik tangan Silvie untuk mundur beberapa langkah. Ini adalah momen favoritnya. Momen di mana logika dunia yang keras dan kering dipatahkan oleh keajaiban.

Rihanna menarik napas dalam-dalam. Ekspresi wajahnya berubah, dari seorang ibu rumah tangga yang lembut. Menjadi sesuatu yang lebih agung, lebih berwibawa. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit tanpa awan. Mana berwarna biru tipis mulai berpendar di sekeliling tubuhnya, membuat udara yang panas bergetar.

Bibir Rihanna bergerak, melantunkan kata-kata yang bukan berasal dari bahasa umum kerajaan ini. Itu adalah True Language, bahasa kuno yang menjadi kunci untuk memerintah elemen alam.

"Wasser des Himmels, höre meinen Ruf..." (Air dari surga, dengarkan panggilanku...)

Suara Rihanna bergema, tidak keras, namun memiliki resonansi yang aneh.

"Sammle dich aus dem Nichts und tränke diese durstige Erde. REGNE!" (Berkumpullah dari ketiadaan dan basahi bumi yang haus ini. HUJAN!)

Seketika, keajaiban terjadi.

Langit di atas ladang jagung mereka yang tadinya biru polos, tiba-tiba memunculkan gumpalan awan kelabu. Awan itu berputar, memadat, dan dalam hitungan detik, tetesan air mulai jatuh.

Tes... Tes... Hiss…

Suara air yang menyentuh tanah panas terdengar mendesis nikmat. Hujan buatan itu turun, tidak deras seperti badai, melainkan lembut dan menyegarkan. Tanaman jagung yang tadinya layu dan menunduk. Seolah menegakkan kembali batang mereka, meminum anugerah yang diberikan oleh sang penyihir.

"Wahhh... Hujan!" Silvie berlarian di bawah rintik air, merentangkan tangannya, tertawa kegirangan saat bajunya mulai basah.

Aiden berdiri mematung, matanya tak lepas dari ibunya. Rasa kagum membuncah di dadanya. Di Lembah Sulvara yang gersang ini, di mana air lebih berharga daripada emas. Ibunya bisa memanggil kehidupan dari udara kosong.

"Hebat..." gumam Aiden. "Suatu hari nanti... aku juga ingin bisa melakukan itu."

Eidenberg bukanlah surga tropis yang subur, meskipun letaknya di garis khatulistiwa. Lembah Sulvara terkurung oleh Pegunungan Kalkath yang menjulang tinggi, menghalangi awan hujan alami untuk masuk. Ditambah lagi, akses menuju desa ini sangat sulit karena harus melewati Hutan Greenwood.

Kondisi geografis yang terisolasi dan keras ini membuat penduduk Eidenberg menjadi orang-orang yang tangguh. Mayoritas dari mereka adalah petani jagung atau kentang yang berjuang melawan alam.

Namun, sekitar sepuluh persen penduduk memilih jalan lain: jalan pedang. Mereka menjadi Mercenary atau tentara bayaran, menjual kekuatan mereka di luar lembah demi mengirimkan uang kembali ke desa.

Di tengah kerasnya kehidupan itu, Rihanna adalah oase. Para tetangga yang lewat di jalan setapak berhenti sejenak, tersenyum hormat melihat hujan lokal yang turun di ladang keluarga Aiden.

"Nyonya Rihanna sedang menyiram lagi," bisik seorang petani tua pada cucunya.

"Lihatlah, Nak. Bersyukurlah kita punya dia. Tanpa sihirnya, sumur desa mungkin sudah kering tahun lalu."

Bagi penduduk desa, Rihanna bukan sekadar tetangga yang ramah. Dia adalah Dewi Pertanian tak bermahkota.

Satu-satunya Penyihir Air di wilayah ini yang dengan sukarela membagi mana-nya untuk membantu mengairi ladang-ladang tetangga saat kemarau panjang melanda.

Setelah ritual penyiraman selesai, awan buatan itu perlahan memudar. Rihanna menurunkan tangannya, napasnya sedikit terengah. Menggunakan sihir skala besar untuk memanggil hujan, meskipun hanya di area kecil, tetap menguras tenaga.

"Ibu tidak apa-apa?" Aiden dengan sigap menyodorkan handuk kecil.

"Hanya sedikit lelah, Nak. Terima kasih," Rihanna menyeka wajahnya, lalu tersenyum cerah. "Nah, pekerjaan hari ini selesai. Kalian boleh bermain."

"Hore!" teriak Silvie.

Aiden tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah memastikan ibunya masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Ia segera berlari menuju pusat desa. Namun, tujuannya bukan lapangan tempat anak-anak lain bermain kelereng atau kejar-kejaran.

Kaki kecilnya membawanya ke sebuah rumah batu yang terletak di ujung jalan, rumah yang sedikit lebih besar dan lebih kokoh dibanding rumah kayu penduduk lainnya.

Itu adalah rumah Tetua Bran.

"Tetua! Saya datang!" seru Aiden sambil mengetuk pintu kayu ek yang tebal.

Pintu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan kacamata baca yang melorot di hidungnya. Bran lebih muda dari ayah Aiden, sekitar dua puluh tujuh tahun (27). Namun, aura kecendekiawanannya membuatnya tampak lebih tua dan bijaksana.

"Ah, Aiden. Si Pencari Ilmu," sapa Bran ramah, membuka pintu lebar-lebar. Aroma kertas tua dan tinta langsung menyergap hidung Aiden, aroma favoritnya.

"Masuklah. Aku baru saja menemukan buku tua tentang sejarah Kerajaan Verindale yang mungkin kau suka."

Aiden masuk dengan mata berbinar. Rumah Bran adalah perpustakaan tidak resmi desa ini. Dinding-dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang sampai ke langit-langit. Bagi Aiden, tempat ini adalah jendela dunia. Dari buku-buku inilah ia tahu bahwa dunia tidak hanya seluas ladang jagung Eidenberg.

"Tetua, tadi Ibu menggunakan mantra hujan lagi," cerita Aiden antusias sambil duduk di kursi baca favoritnya. "Bahasa yang Ibu gunakan... itu True Language, kan?"

Bran tersenyum, menuangkan teh herbal untuk bocah itu. "Benar sekali, Aiden. Kau punya ingatan yang tajam.”

“Kalau begitu guru, bisakah kita memulai latihan?” Tanya Aiden penuh harap.

“Baiklah, coba lihat sudah seberapa mahir kau menggunakan true language.”

“O Wind, atme langsam aus."

Lalu sepo angin berhembus perlahan, merubah suhu di ruangan itu sedikit sejuk.

“Sempurna, kau hanya tinggal banyak menghafal kosa kata dari buku.”

Aiden menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Melahap informasi tentang monster, geografi benua, dan berlatih sihir. Ia baru pulang ketika matahari mulai condong ke barat, mengubah langit Lembah Sulvara menjadi kanvas jingga dan ungu yang memukau.

Saat Aiden berjalan pulang, ia melihat asap mengepul dari cerobong asap rumahnya. Perutnya berbunyi. Bau masakan ibunya, sup ayam dan roti panggang sudah terbayang di lidahnya.

"Aku pulang!" seru Aiden saat membuka pintu rumah.

"Selamat datang kembali, Kakak!" Sapa Silvie yang terlihat membantu Rihanna.

"Cuci tanganmu, Aiden. Makan malam sebentar lagi siap," seru Rihanna dari dapur.

Suasana rumah terasa hangat dan damai. Kehidupan mereka memang sederhana. Tidak ada lampu kristal mewah atau perabot emas, tapi ada kebahagiaan yang cukup.

Ayah Aiden, Felix, bekerja keras sebagai tentara bayaran (mercenary) di luar sana untuk memastikan "cukup" itu tetap ada. Felix biasanya pulang setiap dua atau tiga bulan sekali, membawa cerita petualangan dan oleh-oleh dari kota besar.

"Bu, apa Ayah akan pulang bulan ini?" tanya Aiden sambil membantu menata piring di meja makan.

Rihanna berhenti mengaduk supnya sejenak. Senyum misterius tersungging di bibirnya. "Entahlah. Ayahmu suka memberi kejutan, kan?"

Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, terdengar suara ketukan di pintu depan.

Bukan ketukan tamu yang ragu-ragu, melainkan ketukan berirama yang tegas dan familiar. Tiga kali cepat, dua kali lambat.

Mata Aiden dan Silvie membelalak bersamaan.

"Ayah!" jerit Silvie.

Mereka berdua berlari ke arah pintu, berebut siapa yang paling cepat memutar gagang pintu. Pintu terbuka lebar.

Di ambang pintu, berdiri sosok pria tegap yang menghalangi cahaya senja. Kulitnya cokelat sawo matang, terbakar oleh matahari perjalanan. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, dan rambut pirangnya yang pendek diikat rapi di belakang tengkuknya. Mata birunya yang hangat, sumber warna mata Aiden berbinar saat melihat kedua anaknya.

"Felix!" Rihanna muncul dari dapur, wajahnya berseri-seri.

"Ayah pulang!" seru Aiden dan Silvie,

melompat memeluk pinggang pria itu.

Felix tertawa lepas, suara baritonnya memenuhi ruangan kecil itu. Ia berjongkok, merentangkan tangan kanannya untuk memeluk kedua buah hatinya erat-erat. Aroma debu jalanan, logam, dan keringat yang familiar menguar darinya.

"Jagoan-jagoan Ayah sudah besar, ya," kata Felix, mencium puncak kepala Silvie lalu mengacak rambut Aiden. "Maaf Ayah terlambat. Hutan agak rewel belakangan ini."

"Kami rindu Ayah!" kata Silvie manja.

"Ayah juga merindukan kalian. Dan tentu saja..." Felix berdiri, menatap istrinya dengan tatapan penuh cinta. Ia melangkah mendekati Rihanna, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku pulang, Sayang."

"Selamat datang di rumah, Suamiku," bisik Rihanna.

Aiden tersenyum lebar melihat pemandangan itu. Keluarga mereka lengkap. Semuanya terasa sempurna.

Namun, senyum Aiden perlahan memudar saat matanya turun ke bawah. Ia melihat sesuatu yang janggal. Felix hanya memeluk mereka dengan tangan kanannya tadi. Tangan kirinya... tergantung kaku di sisi tubuhnya.

Lengan kiri ayahnya yang biasanya kekar dan kuat itu kini dibalut tebal oleh perban putih yang terlihat baru diganti. Namun, meski tebal, ada rembesan noda merah tua yang mengering di beberapa bagian perban itu. Bau anyir darah yang samar tercium di antara aroma debu.

"Ayah?" panggil Aiden, suaranya berubah khawatir. "Tangan Ayah... kenapa?"

Felix tersentak sedikit, seolah baru sadar ia gagal menyembunyikan lukanya. Ia segera menarik tangan kirinya ke belakang punggung, lalu memaksakan seulas senyum lebar yang tidak mencapai matanya.

"Ah, ini?" Felix tertawa, tapi tawanya terdengar sedikit kering. "Hanya goresan kecil saat bekerja, Aiden. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seorang mercenary pasti punya satu atau dua luka, kan? Ayo, Ayah lapar sekali! Baunya Ibu masak sup ayam spesial, ya?"

Felix melangkah cepat menuju meja makan, berusaha mengalihkan topik. Rihanna menatap punggung suaminya dengan tatapan cemas yang mendalam, tapi ia memilih diam di depan anak-anak.

Aiden berdiri mematung di dekat pintu yang masih terbuka. Angin malam mulai masuk, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

Firasatnya mengatakan itu bukan sekadar "goresan kecil". Ayahnya adalah Mercenary berpengalaman. Luka yang sampai harus diperban setebal itu... pasti disebabkan oleh sesuatu yang berbahaya.

Mata Aiden menatap kegelapan di luar rumah, ke arah Hutan Eldrath yang membentang di timur. Untuk pertama kalinya, malam di Desa Eidenberg tidak terasa damai. Ada misteri yang dibawa pulang oleh ayahnya, dan Aiden merasa, kehidupan tenangnya akan segera berubah.

Lanjut membaca
Lanjut membaca